Mangkatnya Ratu Elizabeth II dan Berakhirnya Sebuah Era

Dipo Alam
Aktivis dambakan adab ketika dipimpin dan memimpin
Konten dari Pengguna
14 September 2022 12:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dipo Alam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ratu Elizabeth II. Foto: Toby Melville/Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ratu Elizabeth II. Foto: Toby Melville/Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ratu Elizabeth II telah berpulang. Ia adalah pemimpin politik dengan masa kekuasaan terlama dalam sejarah modern. Kepemimpinannya yang panjang, kurang lebih 70 tahun, merentang mulai era dekolonisasi, Perang Dingin, perlombaan senjata nuklir, hingga era terkini, di mana dunia kembali ditandai oleh perpecahan, ketegangan, perang, dan turbulensi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Selama memimpin Ratu Elizabeth II telah melantik 15 perdana menteri, mulai dari Winston Churchill hingga Liz Truss, yang dilantik hari Selasa, 6 September 2022, atau dua hari sebelum ia berpulang.
Dia memimpin sebuah negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis, tetapi tercatat sebagai benteng demokrasi yang cukup stabil. Dalam pengawasannya, Inggris telah menjadi lebih beragam secara etnis dan inklusif dengan lebih banyak anggota minoritas rasial yang menerobos ke posisi kepemimpinan.
Ratu Elizabeth II adalah simbol terakhir supremasi Barat dalam Perang Dunia II yang masih bertahan hingga abad ke-21. Menariknya, kepergiannya pada hari Kamis, 8 September 2022 lalu, di usia 96 tahun, juga bisa dianggap mewakili banyak hal.
Peti mati Ratu Elizabeth II dibawa turun dari pesawat oleh Queen's Color Squadron di RAF Northolt di London, Inggris, Foto: Kirsty Wigglesworth/Pool via REUTERS
Eropa hari ini bukan lagi Eropa seperti yang kita lihat dua dekade silam. Menghadapi Rusia, para pemimpin Eropa kini terlihat seperti kebingungan. Di atas kertas, kita bahkan tidak lagi melihat ada pemimpin Barat yang memiliki visi global sebagaimana yang dimiliki oleh Vladimir Putin atau Xi Jinping.
ADVERTISEMENT
Melemahnya Pound sterling, yang selama ini dikenal sebagai mata uang terkuat di dunia, bisa juga dianggap sebagai cerminan menurunnya pengaruh Inggris dalam tatanan global sekarang ini. Sempat dipatok U$2.80 pada tahun 1952, kini Pound telah menyentuh level terendahnya dalam 37 tahun terakhir pada angka US$1.15.
Kurs terakhir ini dipercaya masih akan mencapai rekor lebih rendah lagi, karena Inggris memiliki pinjaman cukup besar untuk membayar subsidi energi yang menurut para ekonom mungkin menelan biaya 100 miliar pound atau lebih.
Dunia sepertinya memang sedang menghadapi perubahan orde. Berkaca dari kasus Ukraina, Joe Biden di Amerika Serikat, serta para pemimpin negara-negara Uni Eropa sekarang, memang sedang membawa negara-negara Barat ke tengah krisis politik serius yang membuat posisi superior mereka sebagai penguasa dunia sejak Perang Dunia II menjadi kian melemah.
ADVERTISEMENT
Bagi orang Amerika, ini juga adalah periode yang membingungkan dalam urusan internasional. Di bawah Biden, pemerintah AS telah menarik diri dari Afghanistan, tetapi di sisi lain justru bermain agresif di Ukraina dan Indo-Pasifik. Hal ini tentu akan menjadi ujian serius bagi kepemimpinan Biden.
Yang jelas, era adidaya Amerika memang sudah beranjak senja. Di Eropa Timur, tepat 30 tahun setelah jatuhnya Uni Soviet, Rusia telah menunjukkan garis politiknya yang tegas atas agresivitas NATO, yang telah membuat Amerika dan para sekutunya harus berhitung ulang secara serius atas kerugian yang telah mereka hadapi.
Di Asia, Amerika juga terlihat bingung dalam menghadapi dominasi Cina. Provokasi mengenai isu Laut Cina Selatan ternyata tidak otomatis membuat Washington bisa merangkul banyak sekutu di sini.
ADVERTISEMENT
Di Timur Tengah, peran Amerika juga tak lagi sekuat dulu. Apalagi sesudah hubungan AS merenggang dengan Arab Saudi. Di sisi lain, Iran terus memainkan inisiatif dalam politik kawasan, terutama dalam membangun aliansi strategis dengan Rusia.
Perkembangan mutakhir ini telah menciptakan persepsi internasional bahwa Amerika Serikat bukan lagi kekuatan utama dunia dalam dekade kedua abad ke-21 ini. Kebuntuan kasus Ukraina telah menunjukkan bagaimana lemahnya posisi Amerika Serikat, dan lawan-lawan mereka telah mengetahui hal ini.
Presiden Tiongkok Xi Jinping bertepuk tangan saat upacara pembukaan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China (CPPCC) di Aula Besar Rakyat di Beijing pada Jumat (4/3/2022). Foto: Matthew Walsh/AFP
Musuh-musuh Amerika Serikat mengetahui bahwa secara psikologis orang Amerika telah lelah oleh perang luar negeri dalam dua puluh tahun terakhir.
Sementara di sisi sebaliknya, Rusia di bawah Putin, serta Cina di bawah Xi Jinping, semakin menunjukkan superioritasnya sebagai kekuatan global baru. Kedua negara ini bahkan telah memiliki gerbong pengikut, baik di Afrika, Timur Tengah, Amerika Latin, maupun Asia.
ADVERTISEMENT
Akan bergabungnya 13 negara baru, seperti Iran dan Argentina, sebagai anggota BRICS, misalnya, merupakan penanda nyata bahwa peta persaingan dunia kini telah dan akan berubah. BRICS, akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (South Africa), yang terbentuk sejak 2006, sejak awal memang digadang-gadang merupakan saingan dari G7, yaitu grup yang terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris Raya, dan Amerika Serikat. Anggota BRICS adalah negara-negara emerging market berpengaruh dengan GDP mencapai 23,2 persen dari total GDP global per 2018.
Pada bulan Juni 2022 lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin secara tegas telah memproklamirkan berakhirnya “era dunia unipolar” dalam pidatonya yang cukup agresif mengecam negara-negara Barat di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg.
ADVERTISEMENT
Sejak memenangkan Perang Dingin, ujar Putin, Amerika Serikat menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi, di mana mereka telah menganggap negara lain tak ubahnya koloni. Tetapi, situasi kini telah berubah.
Jadi, mangkatnya Ratu Elizabeth II mungkin memang telah menandai berakhirnya sebuah era, bukan hanya bagi Inggris, tapi juga bagi dunia Barat secara umum.
Selamat jalan, Ratu. Winter is coming.
Jakarta, 14 September 2022