Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Earmarking Pajak Daerah untuk Lingkungan: Solusi Pembangunan Berkelanjutan?
2 Februari 2025 12:50 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Rendi Prasetio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan di tingkat daerah. Data terkini dari Emissions Database for Global Atmospheric Research menunjukkan tren yang cukup mengkhawatirkan. Data tersebut menunjukkan emisi gas rumah kaca Indonesia telah mencapai 1200,20 juta ton CO2eq/tahun pada tahun 2023 atau meningkat 4,1% dari tahun 2022. Permasalahan lingkungan lain yang tidak kalah serius adalah pengelolaan sampah. Pada tahun 2024, data dari SIPSN menunjukkan bahwa jumlah sampah di Indonesia mencapai 25 juta ton per tahun, berdasarkan laporan dari 258 kabupaten/kota. Yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 37% sampah tersebut tidak terkelola dengan baik sehingga bisa mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat. Sementara itu, kualitas udara di berbagai kota besar terus menurun, dengan indeks kualitas udara yang sering berada pada level tidak sehat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Di tengah situasi ini, pemerintah daerah seringkali menghadapi dilema dalam mengalokasikan anggaran yang memadai untuk program lingkungan karena keterbatasan fiskal dan kompetisi dengan prioritas pembangunan lainnya seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Earmarking pajak daerah hadir sebagai solusi inovatif yang dapat menjamin ketersediaan pendanaan program lingkungan secara berkelanjutan, dengan mengalokasikan sebagian penerimaan pajak tertentu secara khusus untuk mendanai program-program lingkungan yang krusial.
ADVERTISEMENT
Earmarking Pajak sebagai Solusi Inovatif dalam Pengelolaan Lingkungan
Sistem pengelolaan pajak daerah yang berlaku saat ini secara garis besar masih menganut prinsip unification budgeting yang berarti seluruh penerimaan pajak masuk ke dalam kas daerah tanpa adanya peruntukan khusus. Hal ini tercermin dalam PP Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari UU HKPD yang membatasi earmarking pajak hanya pada empat jenis pajak, yaitu pajak kendaraan bermotor, pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas tenaga listrik, pajak rokok, dan pajak air tanah. Perlu diketahui pula bahwa dari empat jenis pajak ini, hanya satu jenis pajak yang praktik earmarkingnya diarahkan secara langsung pada aspek lingkungan, yaitu pajak air tanah. Earmarking pajak ini mewajibkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan 10% dari pendapatan pajak air tanah guna mencegah, menanggulangi, dan memulihkan aktivitas pencemaran atau kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah.
ADVERTISEMENT
Meskipun memberikan fleksibilitas dalam penganggaran, prinsip unification budgeting seringkali mengakibatkan program-program lingkungan tidak mendapatkan prioritas yang memadai dalam pembahasan anggaran tahunan. Kasus yang terjadi di Kota Surabaya dapat menjadi gambaran nyata dari situasi ini. Meskipun memiliki penerimaan pajak daerah yang cukup besar mencapai Rp 4,5 triliun pada tahun 2023 dilihat dari laporan keuangannya, alokasi untuk program lingkungan hanya sekitar 6% dari total APBD. Padahal, salah satu kota terbesar di Indonesia ini menghadapi tantangan serius terkait polusi udara dari sektor transportasi dan industri serta permasalahan pengelolaan sampah yang membutuhkan pendanaan berkelanjutan. Di sisi lain, beberapa daerah telah memulai praktik earmarking yang bergerak ke arah yang lebih baik. Daerah Kota Yogyakarta sebagai contoh telah menganggarkan seluruh penerimaan pajak air tanah pada APBD tahun 2024 untuk kegiatan konservasi air tanah. Hal tersebut juga didukung oleh pemasukan dari sumber lainnya seperti dana bagi hasil pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
Menurut Soares (2012), penerapan earmarking pajak didasari oleh teori eksternalitas yang dikembangkan oleh Arthur Cecil Pigou dalam bukunya "The Economics of Welfare". Teori ini menjelaskan bahwa aktivitas ekonomi seringkali menghasilkan dampak eksternal negatif terhadap lingkungan yang tidak tercermin dalam harga pasar. Dalam konteks perpajakan daerah, berbagai aktivitas ekonomi yang dikenai pajak seperti penggunaan bahan bakar kendaraan, kegiatan pertambangan, atau penggunaan energi listrik seringkali menimbulkan eksternalitas negatif berupa pencemaran udara, kerusakan lahan, atau peningkatan emisi karbon. Earmarking pajak hadir sebagai instrumen untuk menginternalisasi eksternalitas tersebut melalui prinsip "polluter pays principle" atau prinsip pencemar membayar (Tando dan Hindriadita, 2019). Ketika pendapatan dari pajak-pajak tersebut secara khusus dialokasikan untuk program perlindungan dan perbaikan lingkungan, tercipta mekanisme kompensasi langsung di mana pihak yang aktivitasnya berdampak pada lingkungan berkontribusi pada upaya pelestariannya. Hal ini sejalan dengan gagasan Pigou bahwa intervensi pemerintah melalui instrumen fiskal diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar akibat eksternalitas (Spash, 2021).
ADVERTISEMENT
Potensi Penerapan Earmarking pada Berbagai Jenis Pajak Daerah
Potensi penerapan earmarking pada berbagai jenis pajak daerah sangat menjanjikan untuk mendukung program lingkungan mengingat dari 17 jenis pajak daerah yang diatur di dalam UU HKPD, hanya empat jenis pajak yang memiliki peruntukan khusus dan hanya satu jenis pajak yang peruntukannya berkaitan langsung dengan aspek lingkungan. Dari banyaknya jenis pajak daerah yang ada di Indonesia, terdapat beberapa jenis pajak yang berpotensi besar untuk diterapkan skema earmarking khususnya berkaitan dengan aspek lingkungan. PBJT atas tenaga listrik yang rata-rata menyumbang 15-20% dari total pajak daerah, memiliki keterkaitan langsung dengan konsumsi energi dan dapat dialokasikan sebagian untuk program efisiensi energi serta pengembangan energi terbarukan. Sebagai ilustrasi, sebuah kota dengan penerimaan PBJT atas tenaga listrik sebesar Rp 200 miliar per tahun dapat mengamankan dana Rp 40 miliar untuk program tersebut jika menerapkan earmarking sebesar 20%. Dana ini dapat digunakan untuk mengganti lampu jalan konvensional dengan LED hemat energi, mengembangkan sistem smart lighting, atau membangun pembangkit listrik tenaga surya untuk penerangan jalan umum. PBJT Jasa Parkir juga memiliki potensi besar untuk mendanai pengembangan transportasi publik ramah lingkungan. Dengan asumsi penerimaan PBJT Jasa Parkir sebesar Rp 100 miliar per tahun dan earmarking 30%, sebuah kota dapat mengalokasikan Rp 30 miliar untuk pengembangan bus listrik, jalur sepeda, atau infrastruktur pejalan kaki.
ADVERTISEMENT
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dapat menjadi sumber pendanaan untuk program pengurangan emisi kendaraan bermotor, termasuk pengembangan stasiun pengisian kendaraan listrik dan insentif konversi kendaraan ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Penelitian oleh Sari dkk. (2019) telah membahas implementasi kebijakan earmarking pajak ini di Kota Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alokasi penerimaan PBBKB untuk aktivitas penanggulangan polusi udara belum terlalu efektif karena pelaksanaan kegiatan yang belum merata dan pemanfaatan dana alokasi belum maksimal. Sementara itu, untuk daerah yang memiliki aktivitas pertambangan, earmarking pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) dapat menjamin ketersediaan dana untuk mendanai teknologi pengawasan tambang ilegal atau penanaman vegetasi penahan erosi. Selanjutnya, pajak air permukaan memiliki potensi strategis untuk diterapkan dalam skema earmarking mengingat berjalan selaras dengan penerapan earmarking untuk pajak air tanah yang berkaitan erat dengan program-program pengelolaan sumber daya air baik air tanah maupun air permukaan. Penerimaan pajak ini dapat diarahkan untuk program-program konservasi sumber daya air seperti rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), pemeliharaan mata air, pembangunan embung untuk konservasi air, dan program penghijauan di area tangkapan air.
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Strategi Optimalisasi Earmarking Pajak Daerah
Dalam implementasinya, penerapan earmarking pajak daerah menghadapi beberapa tantangan yang perlu diantisipasi dengan baik. Tantangan pertama adalah resistensi dari birokrasi keuangan daerah yang khawatir akan kehilangan fleksibilitas dalam pengelolaan anggaran. Hal ini sering kali muncul karena kekhawatiran tidak dapat memenuhi kebutuhan pendanaan yang bersifat mendesak di sektor lain. Michael (2008) berpendapat bahwa penerapan earmarking menyebabkan penyusunan anggaran menjadi terlalu kaku dan tidak fleksibel sehingga menyulitkan regulator dalam mengalokasikan anggaran berdasarkan prioritas. Tantangan kedua adalah kebutuhan untuk melakukan penyesuaian sistem penganggaran dan penatausahaan keuangan daerah, termasuk modifikasi sistem informasi keuangan daerah untuk dapat mengakomodasi mekanisme earmarking. Ketiga, diperlukan penguatan kapasitas aparatur dalam mengelola dana earmarking secara efektif dan transparan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi. Tantangan keempat adalah potensi inefisiensi dalam penggunaan anggaran jika program yang didanai tidak dirancang dengan baik atau tidak memiliki dampak yang terukur. Meskipun demikian, semua tantangan ini dapat diatasi melalui perencanaan yang matang, penguatan kelembagaan, dan komitmen politik yang kuat dari kepala daerah dan seluruh civitas daerah.
ADVERTISEMENT
Untuk mengimplementasikan earmarking pajak daerah secara efektif, beberapa langkah strategis perlu ditempuh secara sistematis. Pertama, penyusunan regulasi daerah yang komprehensif dalam bentuk Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah yang mengatur secara detail mengenai jenis pajak yang akan di-earmark, persentase alokasi, mekanisme pengelolaan, serta sistem monitoring dan evaluasinya. Regulasi ini harus mempertimbangkan karakteristik dan kapasitas fiskal daerah, serta diselaraskan dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah. Kedua, pembentukan unit kerja khusus yang bertanggung jawab mengelola dana earmarking, dilengkapi dengan SOP yang jelas dan sistem monitoring yang ketat. Unit ini harus memiliki kapasitas teknis yang memadai dalam perencanaan program lingkungan dan manajemen keuangan. Ketiga, penetapan indikator kinerja yang SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound) untuk mengukur efektivitas penggunaan dana earmarking. Indikator ini dapat mencakup aspek output (misalnya jumlah pohon yang ditanam), outcome (pengurangan emisi CO2), dan impact (perbaikan kualitas udara). Keempat, pengembangan sistem pelaporan yang transparan dan melibatkan pengawasan publik, termasuk publikasi regular mengenai penggunaan dana dan capaian program. Persentase earmarking dapat dimulai dari angka yang konservatif, misalnya 10-20% dari penerimaan pajak tertentu, dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kapasitas daerah dan kebutuhan pendanaan program lingkungan.
ADVERTISEMENT
Earmarking pajak daerah merupakan transformasi kebijakan fiskal yang dapat memperkuat komitmen daerah terhadap pembangunan berkelanjutan. Melalui inovasi ini, pemerintah daerah tidak hanya memiliki sumber pendanaan yang pasti untuk program lingkungan, tetapi juga menunjukkan keseriusan dalam mengatasi tantangan lingkungan yang semakin kompleks. Keberhasilan implementasi earmarking akan membuka jalan bagi terciptanya kota-kota yang lebih layak huni, dengan kualitas udara yang lebih baik, pengelolaan sampah yang efektif, dan ketahanan terhadap perubahan iklim yang lebih kuat. Para pemangku kepentingan di daerah, mulai dari kepala daerah, DPRD, birokrasi, hingga masyarakat sipil dan sektor swasta, perlu berkolaborasi untuk mewujudkan inisiatif ini. Komitmen bersama dan langkah konkret yang diambil hari ini akan menentukan keberlanjutan pembangunan di daerah untuk generasi mendatang.
ADVERTISEMENT