Konten dari Pengguna

Awal Terbentuknya Polri, Dan Peran Vital Polri Dalam Menjalankan Roda Pemerintah

Mohammad Jakfar Shodiq
Mahasiswa, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surabaya
11 Oktober 2024 19:05 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Jakfar Shodiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai disclaimer, Artikel ini dibuat bukan bertujuan untuk memperjelas citra buruk polisi atau bahkan menjelek-jelekkan instansi Polri. Karena sejatinya, kepolisian harus tetap eksis dalam sistem jajaran pemerintahan untuk mempertahankan integritas Indonesia sebagai negara hukum.
sumber foto: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto: pexels.com
Dalam artikel ini mungkin akan berisi apresiasi, kritik, dan sedikit sarkasme. Yang mungkin masih bisa di pertimbangkan. Saya menautkan disclaimer di awal artikel ini karna pembahasan kali ini mungkin terkesan sedikit lebih seksi, mohon lebih bijak dalam mencerna dan menafsirkan setiap delik isi dan inti dari pembahasan ini. Pada tahun 1293, Majapahit membentuk sebuah pasukan elit pengaman kerajaan bernama Bhayangkara, yang di pimpin langsung oleh Patih Gadjah Mada. Sumber Tugas utama Pasukan Bhayangkara adalah menjaga ketentraman, ketertiban, serta menegakan peraturan yang di buat kerajaan. Pasukan elit ini juga di tugaskan sebagai pengawal pribadi raja dan orang-orang penting dalam Kerajaan. Sistem pengamanan seperti ini terbukti efektif dan efisien dalam membantu kinerja kerajaan dalam mengembangkan pemerintahan. Terbukti dengan keberhasilan Majapahit dalam mempersatukan Nusantara, dan menjadi monarki terbesar dalam sejarah Indonesia. Pada tahun 1897 Pemerintah Hindia Belanda membentuk kepolisian modern Hindia Belanda, yang menjadi cikal bakal lahirnya kepolisian negara Republik Indonesia. Pada masa itu, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan position limit untuk pribumi. Dimana anggota pribumi tidak diperbolehkan menjabat komisaris, bintara atau bahkan inspektur, karna posisi itu hanya boleh di duduki oleh kolonial. Sedangkan untuk Anggota pribumi hanya di perbolehkan menduduki posisi tertentu. Antara lain sebagai mantri polisi dan assisten wedana. Pada 29 September 1945, Presiden Soekarno melantik Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara hingga14 Desember 1959. Dan pada 1 juli 1946 Polri akhirnya dibentuk melalui Penetapan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1946. Tugas POLRI sendiri adalah: 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat 2. Menegakkan hukum di Indonesia 3. Memberikan pelayanan kepada masyarakat 4. Menjamin perlindungan pada masyarakat 5. Memberikan pengayoman pada masyarakat. Sejalan dengan judul artikel ini, kita berandai-andai saja. Bagaimana nasib sebuah Negara jika tidak memiliki instansi penegak hukum? Jawabnya, sistem pemerintahan di negara itu akan berjalan tidak stabil, karna tidak adanya sistem pengamanan lapangan yang bertanggung jawab sebagai penegak hukum. Untuk menegakkan hukum yang di rancang pemerintah secara terukur dan sistematis. Sebagaimana ban pada mobil, Setiap ban memiliki tekanannya masing-masing. Sedangkan ban pada mobil itu sendiri memang di setting pada empat titik. Secara alignment, presisi, dan selaras. Tujuannya agar beban pada mobil bisa ditopang secara bersamaan di empat titik yang berbeda, sehingga mobil bisa berputar secara simetris dan stabil. Future bagi sebuah negara adalah enigma yang bersifat abu-abu, Tergantung kinerja dan kredibilitas sistem-sistem yang ada di dalamnya. Dalam hierarki hukum perundang-undangan di Indonesia Terdiri dari 7 peraturan, yaitu: 1. Undang-undang dasar 1945 2. Ketetapan majelis per musyawaratan rakyat 3. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang 4. Peraturan pemerintah 5. Peraturan presiden 6. Peraturan provinsi 7. Serta Peraturan daerah atau kota. Dimana dalam sistem hierarki peraturan ini, kekuatan hukum yang berada dibawah, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Yang sedari awal memang di setting dan di ciptakan menjadi induk dan patokan bagi setiap hukum di Indonesia. Dalam sistem pemerintahan terdapat sebuah barisan yang harus sinkron dan searah, yaitu: 1. Orang yang merancang dan membuat hukum, 2. Orang yang Menyaring hukum yang di ciptakan 3. Orang yang harus mematuhi hukum 4. Dan orang yang menegakkan hukum. Dimana masing-masing orang yang berada dalam barisan itu, memiliki tugasnya masing-masing, namun harus tetap seiras dan saling berkesinambungan. Agar sebuah sistem hukum yang ditetapkan bisa berjalan sesuai dengan skenario yang sudah di tetapkan, dan berjalan secara efektif dan sistematis, sesuai dengan yang di harapkan. Dan disinilah peran polri di butuhkan, Sebagai barisan terdepan yang bertanggung jawab menegakkan hukum, mereka juga harus turun langsung ke lapangan agar sistem hukum yang berada di atas berjalan dengan efektif dan efisien. Sebagaimana puzzle, setiap serpihan mata puzzle adalah nyawa bagi terbentuknya sebuah gambar di dalamnya. Jika satu mata puzzle saja hilang, mustahil untuk kita bisa melihat gambaran puzzle itu secara utuh. Karna sejatinya setiap kepingan puzzle memang di setting secara berkesinambungan dan saling melengkapi. Sejalan dengan judul artikel ini, kita berandai-andai saja, apa yang akan terjadi jika Indonesia tanpa Polisi?
sumber foto: pexels.com
Jawabanya, tindak kriminal akan semakin meningkat, karna orang-orang jahat leluasa melakukan kejahatannya tanpa harus was-was dan waspada, disaat itu mereka tidak perlu takut lagi dengan bayang-bayang sirine mobil polisi. Bandar-bandar narkoba semakin memperluas jalur peredaran barang dagangannya. Di masa ini, Segala bentuk narkotika, dan obat-obatan terlarang akan menghantui orang-orang. Bahkan anak-anak di bawah umur saja, sudah harus berperang dengan adiksi karna terlanjur mengkonsumsi barang ini. Dimasa ini, para bandar bisa dengan mudah dan terang-terangan memproduksi dan mempromosikan barang dagangannya. Mereka juga akan cukup leluasa mendistribusikan, dan melakukan transaksi dengan konsumennya. Semakin luas peredaran barangnya, semakin banyak pula korban yang akan berjatuhan. Angka kecelakaan lalu-lintas akan semakin marak, karna orang-orang sudah tidak menghiraukan etika berkendara dan peraturan lalu lintas. Karna dimasa ini, mereka sudah merasa bebas dari pantauan Satlantas. Dan Pada masa itu juga, element masyarakat akan pecah menjadi dua kubu, Yaitu kubu baik dan kubu kriminal. Kubu baik yang berisi orang-orang yang resah dengan tindak kriminalitas yang semakin meningkat. Dan kubu kriminal, kubu ini berisi orang-orang yang sudah nyaman dengan kondisi ini, sehingga mereka bisa melakukan tindak kriminalitas dengan bebas. Bukan tidak mungkin perseteruan antara dua kelompok masyarakat ini berujung pada gesekan yang lebih besar dan memicu pertengkaran. karna masing-masing dari kedua kubu itu beranggapan, kubu yang lain berpotensi meresahkan dan bisa membahayakan. Kubu baik yang merasa kubu kriminal bisa membahayakan dirinya dan keluarganya. Dan kubu kriminal yang merasa kubu baik bisa sewaktu-waktu mempersulit mereka ketika melancarkan aksi kriminalnya.
ADVERTISEMENT
sumber foto: pexels.com
Di situlah titik awal hancurnya peradaban. Dan saat itu pula, manusia terpaksa harus mempraktekkan hukum rimba layaknya manusia pada zaman purba. Mereka akan saling menyakiti, menikam, atau bahkan saling membunuh. karna tidak adanya penegak hukum sebagai penengah untuk melerai mereka. Bagaimana, mengerikan bukan? Di era revolusi industri 4.0 seperti saat ini, teknologi mulai menginvasi kehidupan manusia. Gebrakan teknologi juga berkembang sangat pesat, hampir segala hal bisa diakses hanya dengan satu genggaman saja. Dan seiring berjalannya waktu, umat manusia bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi, serta dapat mempelajari berbagai macam bahasa pemrograman, serta Coding. Dan mereka yang terampil dalam dunia IT akan sangat mengerikan jika keahliannya di salahgunakan untuk menyerang sistem informasi orang lain, seperti: Mengakses sistem komputer orang lain Membobol perangkat keras dan perangkat lunak orang lain Memanipulasi data orang lain Dan berbagai tindak kejahatan di dunia digital yang biasa kita sebut dengan cybercrime dan black hat. Sebagai solusi dan pencegahan, serta untuk meminimalisir aksi kejahatan cyber, Bareskrim polri membentuk sebuah tim yang di sebut Polisi Cyber. Polisi Cyber sendiri bertugas dalam penegakan hukum di dunia digital, termasuk menangani segala bentuk kejahatan Cyber. Ironisnya, segala bentuk perjuangan polri untuk menegakkan hukum di Indonesia, harus ternodai karna kasus-kasus kriminal "oknum polisi " yang marak terdengar belakangan ini. Jika kita lihat kasus-kasus belakangan ini, mungkin sebagian dari masyarakat ada yang berkesimpulan, Polisi hanya akan menindak lanjuti setiap aduan berdasarkan dorongan dan kemuan element masyarakat saja, Bukan berdasarkan semua aduan masyarakat untuk meminta perlindungan hukum. Atau yang biasa kita kenal sebagai fenomena "No viral No justice" Saya tidak tau, apakah ini adalah strategi dan bentuk dari upaya Polri untuk membangun dan meningkatkan kepercayaan masyarakat lagi, dengan menggunakan pengaruh dunia digital. Tapi, Kalau penanganan aduan hanya diukur berdasarkan pontesi viral, bagaimana dengan aduan masyarakat yang tidak memiliki platform yang luas agar kasusnya bisa di dengar oleh banyak orang dan bisa viral? Apakah setiap aduan hanya akan ber-ending di gantung tanpa penanganan? Secara tidak langsung ini melenceng dari sila ke-5, yang dimana setiap warga negara berhak mendapatkan hak yang sama, tanpa memandang bulu dan latar belakangnya. Banyak kasus dan aduan masyarakat di tanggapi lambat, dan tidak transparan. Gonjang-ganjing perkara menggelendinding tak tentu arah, banyak kasus yang harus di bungkus karna lambannya penanganan dari pihak berwajib. Jika setiap aduan hanya berujung di gantung, lantas masyarakat harus meminta perlindungan Hukum dan melaporkan permasalahannya pada siapa? Data lembaga survei Indonesia di akhir bulan Oktober tahun lalu mencatat, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri anjlok di angka 58% setelah publik mengendus kasus Sambo. Padahal, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri pernah menyentuh angka 87% di tahun 2018 lalu.
sumber foto: pexels.com
kita patut prihatin dan sedih dengan kondisi ironi seperti ini, dimana Polri sebagai alat negara dan penegak hukum harus tetap eksis di mata masyarakat. Dimana instansi Polri juga sebagai platform untuk menampung setiap permasalahan masyarakat yang membutuhkan perlindungan hukum, harus tetap harum dan semerbak di tengah-tengah masyarakat. Tujuan artikel ini di buat memang untuk mengedukasi, atau sekadar mengingatkan masyarakat yang sedang diterpa dilematis atas kinerja Polri akhir-akhir ini. Saya berusaha menyelipkan kredit dan respect atas beberapa kinerja Polri, dan memang sedikit sarkasme atas segelintir blunder yang pernah di lakukan "oknum-oknum polisi" Dalam artikel ini saya mencoba untuk mengingatkan dan meyakinkan masyarakat, bahwa Polri adalah tokoh central demi mewujudkan Indonesia menjadi negara yang aman dan tentram. Serta saya juga ingin mengedukasi masyarakat, bahwa Peran Polri juga sangat signifikan dalam membantu jalannya sistem dan roda pemerintahan. Tugas kita sebagai masyarakat hanya perlu memberikan kredibilitas dan kepercayaan, serta membantu Polri dalam menjalankan tugasnya, agar sebuah peradaban yang selama ini kita impikan. hidup di negara aman, tentram, dan nyaman bisa terealisasikan. Kita kesampingkan setiap berita, dinamika dan kontroversi oknum polisi yang pernah terjadi. Kita semua sepakat, tidak semua orang itu jahat. Saya yakin, masih banyak polisi yang bekerja dengan baik. Tidak etis rasanya kalau kita memukul rata dan men-judge buruk semua anggota Polri, atas kesalahan yang pernah dilakukan segelintir oknum di dalamnya. Nama besar jenderal Hoegeng harus tetap harum dalam naungan instansi kepolisian. Saya yakin, masih banyak para polisi Hoegeng di luar sana, yang masih menerapkan hukum adil dalam menjalankan tugasnya. Hoegeng-Hoegeng itu lah, yang perlu di berikan respect dan kredit lebih, sebagai imbal balik dari kekonsistenannya memperjuangkan hukum adil di Indonesia. Karna sejatinya, semua orang berhak mendapatkan keadilan di tempat mereka tinggal.
ADVERTISEMENT