Konten dari Pengguna
Menulis Ulang Dunia: Pendidikan Tinggi sebagai Ruang Suara Perempuan
13 Juni 2025 16:32 WIB
·
waktu baca 6 menitKiriman Pengguna
Menulis Ulang Dunia: Pendidikan Tinggi sebagai Ruang Suara Perempuan
Pendidikan tinggi bukan sekadar gelar bagi perempuan, tapi ruang untuk bersuara, berpikir kritis, dan melawan sistem yang menindas.Dira Chaerani

Tulisan dari Dira Chaerani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Itulah beberapa hal yang pernah diungkapkan orang-orang kepada saya. Mereka seperti mengabaikan apabila saya sebagai perempuan juga memiliki otonomi atas kehidupan saya sendiri dan juga kompleksitas kehidupan. Semua perempuan memiliki otonomi dan kompleksitas kehidupannya masing-masing yang ironisnya, jarang sekali divalidasi, sering dianggap aneh, dan diremehkan.
Saya, yang dapat dikatakan merupakan perempuan modern dan berkecukupan, mendapatkan ujaran-ujaran “hanya sebatas” itu, bagaimana dengan perempuan-perempuan lain yang tidak seberuntung saya dan mendapatkan penindasan tambahan karena interseksionalitasnya?
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perlu adanya keberanian dan perjuangan para perempuan untuk menyuarakan berbagai pengalaman unik mereka. Berpendidikan tinggi merupakan sebuah cara agar perempuan bisa lebih percaya diri ketika bersuara, melatih intelektualitasnya untuk mengkritisi sistem yang ada, dan dapat masuk ke dalam sistem suatu negara lalu mengubahnya menjadi lebih inklusif dan berpihak pada perempuan.
Dalam dunia yang patriarki ini, suara perempuan sering kali direndahkan dan dibantah. Perempuan dianggap rewel, baperan, banyak mau, sulit menaati aturan, dan melebih-lebihkan cerita. Padahal, mereka sedang memperjuangkan dan membela hak-haknya. Cerita-cerita perempuan sering dianggap aneh, karena saking asingnya dan tidak adanya ruang bagi cerita mereka pada masyarakat patriarkal.
Melalui pendidikan tinggi, perempuan tidak akan langsung tumbang ketika direndahkan. Ia akan tenang dan percaya diri, karena mampu menyuarakan haknya dengan lebih runut dan terstruktur yang didasari pada rasa empati dan intelektualitasnya yang semakin berkembang seiring dengan proses pendidikan yang ia jalani. Ketika hal ini berhasil dilakukan, cerita dan pengalaman perempuan yang unik-unik, akan hargai dan menjadi pengetahuan yang akan diajarkan kepada banyak orang, sehingga tidak ada lagi orang yang langsung menilai segala tindakan perempuan hanya berdasarkan hitam – putih, salah – benar, pantas – tidak pantas, ataupun dikotomi lainnya.
ADVERTISEMENT
Aturan dan sistem yang ada di tengah masyarakat sering kali merugikan perempuan. Padahal, aturan dan sistem yang sangat diagung-agungkan dan tabu untuk dikritisi itu, tidak muncul begitu saja, ada pihak-pihak yang membuat dan membakukannya. Aturan dan sistem tersebut menghegemoni kehidupan perempuan dan tidak jarang dengan cara yang menindas. Perempuan diposisikan menjadi makhluk yang pasif, pasrah, dan tidak berdaya yang akan selalu tunduk pada aturan dan sistem.
Perempuan yang berpendidikan tinggi akan mampu dan berani menggunakan intelektualitasnya untuk mengkritisi aturan dan sistem yang ada. Dengan dibekali pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang matang karena berpendidikan tinggi, suara perempuan untuk mengkritisi problematika sistem dan aturan yang menindas perempuan, akan memiliki dasar yang kuat yang dapat dipertanggungjawabkan dengan percaya diri, dan akan mendorong perempuan-perempuan lain untuk ikut bersuara. Pendidikan tinggi akan menjadi sebuah kekuatan bagi perempuan untuk tidak membiarkan dirinya terus menerus ditindas oleh sistem dan aturan yang dikonstruksi oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Perempuan yang berpendidikan tinggi lalu berkesempatan menjadi pejabat negara, seakan menjadi harapan besar demi terciptanya suatu negara yang berkeadilan gender. Dengan segala kematangan intelektual dan empatinya, ia memiliki kuasa untuk membuat hukum yang inklusif dan berpihak kepada perempuan. Produk hukum yang dibuat akan mempertimbangkan segala permasalahan kompleksitas kehidupan perempuan, sehingga tidak ada lagi hukum yang cenderung bersifat maskulin dan otoriter, yang bukannya melindungi perempuan, tetapi justru mengintimidasi dan merepresi perempuan.
Perempuan yang menjadi pejabat negara seharusnya tidak hanya menjadi representasi atau sekadar tokenisme belaka. Dengan segala tempaan melalui pendidikan tinggi ditambah dengan kewenangan yang ia miliki, perempuan semestinya juga memiliki keberanian dan pendirian teguh dalam melawan segala bentuk kekuasaan yang menindas perempuan. Hal ini merupakan sebuah upaya perjuangan yang ia lakukan sebagai perwakilan dari perempuan untuk membela dan menyuarakan kepentingannya yang sering diabaikan oleh negara.
ADVERTISEMENT
Saya tidak bisa menutup mata apabila banyak perempuan di luar sana yang hidup penuh privilege dan bahkan berhasil menjadi pejabat negara, tetapi justru tone deaf akan masalah perempuan, serta ikut melanggengkan sistem patriarki dengan segala bentuk penindasan terhadap perempuan.
Oleh karena itu, pendidikan tinggi pada perempuan tidak sebatas memperkaya perempuan akan ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup, tetapi juga mengasah rasa empati kemanusiaan antar sesama, serta meningkatkan kesadarannya pada segala bentuk ketidakadilan gender yang ia dapatkan, sekaligus peka dan paham cara menyikapi berbagai fenomena sosial yang terjadi.
Pendidikan tinggi bukan sekadar gelar sebagai prasyarat untuk menduduki berbagai jabatan tinggi, tetapi juga mencerdaskan perempuan untuk dapat menjalankan apa pun perannya dengan sebaik-baiknya, berintegritas, dan penuh kesadaran.
ADVERTISEMENT
Bagi saya sebagai perempuan, menyambung dari beberapa kutipan di awal tulisan ini, pendidikan tinggi membuat saya percaya diri untuk mempertahankan value saya, meskipun berbeda dari standar di masyarakat, dan menurut saya, semua perempuan harus sadar akan haknya untuk dapat merasa seperti ini. Pendidikan tinggi membebaskan pikiran saya untuk menemukan hal-hal apa saja yang cocok dan nyaman untuk saya. Saya mulai memberanikan diri untuk mengungkapkan berbagai isi pikiran saya mulai dari keresahan, berbagai pertanyaan yang masih mengganjal bagi diri saya, sampai dengan ide gila.
Tidak jarang dari yang saya utarakan juga relate dengan perempuan lain yang merasakan hal serupa, tetapi enggan untuk mengutarakannya. Untuk apa saya takut dan malu? Pendidikan tinggi memperkaya saya akan banyak sekali ilmu pengetahuan, melatih logika dan daya kritis saya, serta berhasil menumbuhkan rasa empati pada diri saya. Pastinya, akan ada perempuan lain yang terbantu ketika saya berani bersuara.
ADVERTISEMENT
Narasi arus utama mengatakan, perempuan membutuhkan pendidikan tinggi untuk menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, menjadi istri yang cerdas untuk berdiskusi bersama suami dalam mengatur urusan rumah tangga, dan dapat diperhitungkan di dunia kerja sama seperti laki-laki. Narasi-narasi tersebut seolah dibungkus dengan tujuan emansipasi dan pemberdayaan, tetapi justru menjadikan perempuan baru akan dihargai ketika menjalankan peran keperempuanan, yang tidak terlepas dari konstruksi sosial, dan ketika mereka mampu menyesuaikan diri dengan laki-laki.
Pendidikan tinggi seharusnya merupakan suatu bentuk penghargaan kepada perempuan, bahwa ia berhak untuk dilatih berpikir kritis, dan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk hidup sebagai individu yang merdeka dan bebas dari segala penindasan, serta berhak menggunakan otonominya dalam mendefinisikan kehidupannya.
ADVERTISEMENT