Shoushika: Fenomena Childfree di Jepang

Raditya Disa Henintyar
Seorang Mahasiswa S1 Universitas Airlangga.
Konten dari Pengguna
3 April 2024 8:26 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raditya Disa Henintyar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Budaya Shoushika di Jepang

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kelahiran dan kematian merupakan dua hal yang tidak dapat dihindari, karena bersifat mutlak dan hanya Tuhan sajalah yang berhak memberi dan mengambilnya kembali. Di setiap kehidupan bernegara, suatu negara pasti memiliki penambahan penduduk disetiap tahunnya, termasuk Jepang. Namun, dalam beberapa dekade ini, Jepang dihadapkan dengan masalah yang berhubungan dengan kondisi Demografi. Hal ini terjadi, disebabkan karena terjadinya penurunan jumlah kelahiran dan meningkatnya populasi lansia di Jepang. Fenomena berkurangnya jumlah kelahiran di Jepang dikenal dengan nama Shoushika 「少子化」sedangkan peningkatan jumlah lansia di Jepang dikenal sebagai Koureika Shakai 「高齢化社会」. Yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Shoushika (Penurunan Jumlah Kelahiran) di Jepang. Fenomena Shoushika terjadi sejak tahun 1975 yang berasal dari huruf kanji 「少」= sedikit, 「子」= anak, dan 「化」= perubahan. Sehingga Shoushika dapat diartikan sebagai kondisi pada saat jumlah kelahiran mengalami perubahan menuju jumlah yang semakin sedikit. Pasca PD II, kelahiran di Jepang mengalami pasang surut, terlebih pada tahun 1975 dimana angka tersebut semakin lama semakin menurun dan bisa dipastikan akan menurun terus setiap tahunnya.
Sumber: National Institue of Population and Social Security Research
Grafik diatas, menunjukkan perkembangan perubahan jumlah kelahiran di Jepang dari tahun ke tahun yang mengalami pasang surut. Pada tahun 1947-1949 Jepang mengalami Baby Boom pasca Perang Dunia II, dan pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa setiap warga negara harus merencanakan perencanaan keluarga, dan sejak 1949 jumlah kelahiran semakin menurun karena meningkatnya aborsi dengan alasan meningkatkan kualitas hidup. Tahun 1971-1974 Jepang mengalami Baby Boom kedua dan masyarakat Jepang berada di puncak kemakmuran. Semenjak tahun tahun ini, terutama pada tahun 1974 jumlah kelahiran mengalami penurunan yang signifikan terkait dengan perubahan gaya hidup.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, Shoushika adalah keadaan terus menurunnya jumlah kelahiran sehingga menimbulkan hilangnya populasi dan generasi selanjutnya yang akan melanjutkan kehidupan yang akan datang dari generasi terdahulu. Sejak pertengahan 1970 an Jepang mengalami penurunan jumlah kelahiran secara stabil dan terjadi terus menerus sampai beberapa tahun terakhir ini. Penurunan jumlah kelahiran di Jepang dapat terjadi bukan tanpa alasan melainkan telah mengalami proses yang panjang. Saat ini, bisa dipastikan bahwa Jepang telah menjadi negara dengan jumlah kelahiran terhitung sangat sedikit dan diiringi dengan tingginya jumlah lansia yang semakin bertambah seiring bertambahnya tahun.
Ilustrasi keluarga Jepang. Sumber: Canva
Proses panjang tersebut terjadi karena, yang pada mulanya masyarakat petani (produksi) menjadi masyarakat industri (konsumen), sehingga anak-anak yang semula adalah salah satu sumber tenaga keluarga yang punya nilai produksi, berubah menjadi konsumen yang harus difasilitasi dengan disediakannya kesehatan dan pendidikan yang layak karena telah berubah menjadi keluarga industry bukan petani lagi. Generasi Shinjinrui (Generasi Baru) yang lahir di era 1960 an, merupakan masyarakat Jepang yang tumbuh ketika Jepang Tengah berada di periode pertumbuhan ekonomi. Para Perempuan yang lahir di era ini, punya pikiran bahwa apabila mereka melahirkan dan punya anak lalu menghabiskan uang untuk pendidikan anak merupakan suatu yang merugikan ekonomi mereka. Dengan demikian, banyak wanita yang enggan untuk memiliki anak bahkan menikah karena alasan kerugian ekonomi yang akan mereka tanggung kelak. Fenomena ini disebut sebagai Fenomena Bankonka 「晩婚化」yakni kecenderungan Perempuan Jepang untuk menunda pernikahan.
Ilustrasi pernikahan muda mudi di Jepang. Sumber: Canva
Dalam hal pernikahan di Jepang terdapat tradisi untuk memberikan hadiah berupa uang untuk kedua Pengantin, dan terdapat beberapa tingkat dan nominal yang berbeda tergantung seberapa dekat hubungannya dengan sang calon pengantin baik pria maupun wanita. Semakin dekat hubungan dengan pengantin maka semakin besar jumlah nominal hadiah yang harus diberikan kepada Pengantin. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan sedikitnya peminat generasi muda untuk menjalankan pernikahan karena ada biaya yang harus dikeluarkan baik dari pihak pengantin maupun tamu undangan. Selain itu, pernikahan tidak hanya sebatas pernikahan namun juga harus memikirkan biaya rumah tangga selanjutnya apalagi jika hendak memiliki anak maka harus dipikirkan pula masa depan untuk anak tersebut yang bisa dipastikan akan memakan banyak biaya yang harus dikeluarkan.
ADVERTISEMENT
Selain dari meningkatnya fenomena Bankonka yang bisa jadi dikaitkan dengan fenomena penurunan jumlah kelahiran di Jepang, penurunan jumlah kelahiran juga berkaitan dengan berubahan konsep anak dalam keluarga Jepang. Perubahan konsep anak ini terkait dengan perubahan keluarga dari sistem tradisonal ke keluarga modern.
Pemerintah Jepang telah merespon tantangan ini dengan berbagai kebijakan, termasuk program dukungan untuk keluarga dan insenntif fisikal bagi mereka yang memiliki anak. Namun, meskipun ada upaya ini, penurunan tingkat kelahiran di Jepang terus menjadi masalah yang kompleks. Dalam mengatasi fenomena Shoushika, pemerintah dan masyarakat perlu mempertimbangkan bagaimana mengakomodasi gaya hidup Childfree sambil tetap mempromosikan keluarga dan mendukung pertumbuhan populasi yang berkelanjutan.
Fenomena Shoushika telah menjadi isu yang mendesak bagi pemerintah dan masyarakat. Fenomena ini menimbulkan berbagai tantangan termasuk penurunan masyarakat produktif, peningkatan jumlah usia lansia yang semakin mendominasi Jepang dan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Beberapa langkah yang dilakukan oleh Pemerintah terkait Solusi ini yakni:
ADVERTISEMENT
1. Kebijakan Dukungan Keluarga: Pemerintah telah menerapkan program dukungan keluarga yang bertujuan mengurangi beban finansial bagi orang tua yang memiliki anak. Ini mencakup bantuan finansial keluarga.
2. Fleksibilitas Kerja: Fleksibilitas Kerja telah di usulkan sebagai salah satu cara membantu pasangan yang ingin memiliki anak tapi khawatir akan dampaknya terhadap karier mereka.
3. Mendorong Kehidupan Berkeluarga yang Seimbang: Menciptakan lingkungan yang mendukung kehidupan keluarga yang seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi juga merupakan kunci dalam mengatasi fenomena Shoushika.
Cara-cara diatas telah di usulkan dan diterapkan oleh Pemerintah Jepang sebagai upaya menangani tantangan sosial Shoushika ini dalam masyarakat Jepang.
Ilustrasi masyarakat pendukung Childfree. Sumber: Canva

Fenomena Shoushika bisa dibilang sebagai gerakan Childfree yang sedang booming akhir-akhir ini di sosial media. Fenomena Shoushika dan gerakan Childfree memiliki keterkaitan yang menarik dalam konteks sama-sama penurunan tingkat kelahiran. Shoushika yang secara harafiah “Masyarakat yang kurang anak” dengan gerakan Childfree yang merupakan pilihan dengan sadar untuk tidak memiliki anak, baik atas dasar pilihan pribadi maupun hal-hal lainnya. Meskipun gerakan Childfree tidak secara khusus ditujukan bagi orang Jepang, namun pilihan sadar untuk Childfree cukup menjadi alasan kenapa di Jepang terjadi fenomena Shoushika (Penurunan jumlah kelahiran). Banyak pasangan muda di Jepang yang memilih untuk tidak memiliki momongan dan hanya ingin fokus bekerja demi keberlangsungan hidup mereka. Hal inilah yang menyebabkan menurunnya jumlah usia produktif yang ada di Jepang karena sedikitnya angka kelahiran dimana seharusnya para generasi penerus didapatkan melalui kelahiran. Di Jepang, faktor-faktor seperti tekanan ekonomi yang tinggi, ketidakpastian ekonomi dan perubahan budaya telah menyebabkan banyak pasangan muda di Jepang untuk memutuskan Childfree. Meskipun gerakan Childfree dapat memberikan kebebasan terhadap individu dan kemandirian pada wanita, hal ini dapat berdampak buruk pada struktur sosial dan ekonomi di Jepang.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT