Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Persatuan
12 Januari 2022 13:08 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dita Pernita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Teringat tahun 2019 lalu setelah menempuh long distance marriage selama 8 bulan, akhirnya suami memutuskan untuk membawa saya ikut merantau ke Pulau Buru. Pulau yang asing dan jarang tersebut namanya, namun ternyata memiliki historis yang sangat menarik.
ADVERTISEMENT
Pulau Buru ternyata sempat menjadi tempat pembuangan tahanan politik. Sekitar 12.000 orang yang dituding sebagai simpatisan dan anggota PKI dibuang ke Pulau Buru, Maluku, oleh pemerintah Orde Baru secara bertahap mulai dari tahun 1969 sampai tahun 1976, tidak pernah menjalani proses pengadilan. Ratusan orang tahanan meninggal di pulau ini karena kelaparan, sakit atau pun bunuh diri akibat tekanan mental.
Namun ada hal menarik lainnya yang tersimpan dari pulau ini, Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terbaik Indonesia melahirkan Tetralogi Pulau Buru semasa menjadi tahanan di pulau ini. Tetralogi ini memiliki empat serial: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Pulau ini semakin membuat saya penasaran, seperti apa bentuknya sampai bisa melahirkan karya Bumi Manusia?
ADVERTISEMENT
Akhirnya hari itupun tiba, pada akhir bulan oktober 2019 kami memutuskan untuk berangkat ke sana. Saat di atas pesawat, saya mendapati pemandangan yang tidak biasa, hal itu membuktikan bahwa pulau ini memang spesial.
Hari itu Bandara Namniwel terasa riuh di kepala dan telinga saya, logat dan bahasa yang terasa asing cukup membuat saya kebingungan.
"Hai adik, su ada yang jemput kah? kalau belum, mari katong antar," begitu kata salah satu sopir angkutan umum yang tengah sibuk mencari penumpang. Jelas membuat saya bingung, karena saya tidak tahu maksud dan arti ucapan sopir tersebut. Tetapi untungnya suami saya mengerti dan menanggapi sopir tersebut "su ada yang jemput," jawabnya.
Jujur saja saat itu saya cukup kaget mendengar dia berbicara dengan logat bahasa Indonesia Timur, sebab sehari-hari kami lebih sering berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi ternyata dalam kurun waktu 8 bulan, dia sudah mampu beradaptasi dan berkomunikasi dengan masyarakat di pulau ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai pendatang, tentu kita perlu menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Mempelajari bahasanya, kebiasaan atau adat yang diterapkan di daerah tersebut.
Lalu saya mendapatkan pesan dari suami, katanya "kalau kamu tidak paham dengan apa yang mereka katakan, kamu cukup menjawab dengan bahasa indonesia saja. Mereka pasti mengerti"
Dan hal inilah yang selalu saya terapkan di mana pun kaki saya berpijak. Menurut saya hal ini membuktikan bahwa keberagaman bahasa tidak selalu menjadi penghambat dalam berkomunikasi. Di sinilah kita bisa melihat fungsi Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu dan ketahanan bangsa. Sebab, selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga memiliki kekuatan yang menjadi identitas suatu bangsa.