Westerling, Tragedi Pembantaian Massal di Sulawesi Selatan Tahun 1946-1947

Diva Adinni Al Amin
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
1 April 2022 14:50 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diva Adinni Al Amin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Westerling, Komandan pasukan pembantaian di Sulawesi Selatan pada tahun 1946-1947 (foto pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Westerling, Komandan pasukan pembantaian di Sulawesi Selatan pada tahun 1946-1947 (foto pribadi).
ADVERTISEMENT
Kekalahan Jepang terhadap sekutu menjadi sebuah pertanda berakhirnya kedudukan Jepang di Indonesia. Namun Indonesia tidak dapat menikmati kemerdekaannya karena adanya perjanjian Postdam. Perjanjian ini menyatakan bahwa pihak Sekutu memiliki wewenang untuk mengawasi Indonesia dan seluruh area yang masuk ke dalam South West Pasific Areas Command.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut merupakan peluang bagi NICA (Netherlands Indies Civil Administration) untuk kembali menduduki Indonesia dengan cara membonceng pasukan Australia. Pada saat itu Belanda berada dibawah komando Letnan Laut Brondgeest dan Letnan Komando Raymond Westerling. Pasukan NICA yang membonceng Australia mendarat pertama kali di Polonia, Medan pada tanggal 14 September 1945. Pada masa ini, NICA berusaha mengumpulkan dan mempersenjatai KNIL dengan tujuan untuk memprovokasi dan meneror rakyat Indonesia.
Pada tanggal 23 Juni 1946, Raymond Westerling dikirim ke Jawa dan membentuk pasukan khusus baret hijau yang disebut Depot Speciale Troepen (DST). Pasukan yang berkekuatan 123 orang ini kemudian dikirim ke Sulawesi Selatan untuk melakukan operasi militer dengan tujuan membersihkan para pemberontak dan gerilyawan di daerah tersebut. Aksi pembersihan ini dilakukan Belanda untuk melemahkan Republik Indonesia dan mendirikan Negara Indonesia Timur.
ADVERTISEMENT
Dalam melancarkan aksinya, Westerling menggunakan cara yang kejam. Ia melakukan pembantaian terhadap masyarakat Sulawesi Selatan yang dituduh sebagai pemberontak. Mereka tak segan membunuh para terdakwa yang baru diduga sebagai pemberontak. Aksi pembersihan ini dilakukan pada tanggal 11 Desember 1946 hingga tanggal 17 Februari 1947. Pemerintah Indonesia mengklaim ada 40 ribu penduduk Sulawesi Selatan yang menjadi korban Westerling. Namun Belanda menyebutkan 3 ribu orang yang tewas, sedangkan Westerling sendiri hanya mengaku membantai 600 orang saja.
Tahun 2012 Liesbeth Zegveld, selaku Pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) mengajukan kasus pembantaian di Sulawesi Selatan ke persidangan. Setelah 8 tahun, akhirnya di tahun 2020 hakim di Den Haag memberikan vonis kepada pemerintah Belanda untuk membayar kompensasi. Kompensasi yang harus dibayarkan sejumlah 123 euro hingga 10 ribu euro atau sekitar 2 hingga 179 juta rupiah.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 10 Maret 2020 Raja Belanda Willem-Alexander melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Pada kesempatan tersebut Willem-Alexander menyampaikan penyesalannya atas apa yang dilakukan oleh pihak Belanda pada tahun 1945-1949 dalam pidatonya di Istana Bogor.