Konten dari Pengguna

Kedudukan BUMN dalam Perspektif Hukum Kepailitan di Indonesia (3)

Djamal Thalib
- Dosen FH UNPAR, Bandung. - Advokat - Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual, Indonesia (APHKI)
21 Juli 2024 12:08 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Djamal Thalib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menyambung tulisan sebelumnya, tentu saja ada alasan lain yang mendukung pandangan penulis, yaitu adanya beberapa undang-undang yang seharusnya diartikan bahwa BUMN tidak dapat dimohonkan PKPU apalagi dimohonkan pailit, seperti:
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU No.1 Tahun 2004), sebagaimana disebutkan pada BAB VIII mengenai LARANGAN PENYITAAN UANG DAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH DAN/ATAU YANG DIKUASAI NEGARA/DAERAH dalam Pasal 50 yang berbunyi:
Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
ADVERTISEMENT
PP No.12 Tahun 2004 tentang PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) yang di dalam Pasal 7 berbunyi:
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan PERSERO sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Dengan penjelasan yang berbunyi:
Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas Direksi bertanggung jawab terhadap pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugas dan tanggungjawab untuk kepentingan perseroan.
Apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya, maka ia bertanggung jawab penuh secara pribadi, dan jika hal itu menyebabkan kerugian kepada perseroan, maka atas nama perseroan, pemegang saham yang memenuhi syarat tertentu dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi tersebut.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian tersebut maka setiap anggota Direksi, kecuali dapat membuktikan sebaliknya, secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Sesuai asas kolegial, maka Direksi masing-masing secara tanggung renteng bertanggung jawab penuh atas pengurusan PERSERO.
Sebab, sifat tanggungjawab Direksi tersebut, maka masing-masing anggota Direksi perlu mengetahui konsekuensi dari kebijakan yang ditempuh dalam rangka pengurusan perusahaan. Oleh sebab itu kebijaksanaan PERSERO dalam aspek pengurusan perusahaan ditetapkan dalam rapat Direksi. Direksi bekerja dengan sistem perwakilan kolegial, tetapi masing-masing anggota Direksi berwenang mewakili PERSERO asal saja keputusan yang mengikat perusahaan mengenai hal tersebut masih berada dalam lingkup kebijaksanaan yang ditetapkan dalam rapat Direksi.
ADVERTISEMENT
Dalam hal Anggaran Dasar untuk hal-hal tertentu menentukan bahwa perusahaan dapat diwakili oleh Direktur Utama atau oleh Direktur Utama beserta seorang anggota Direksi yang lain, maka hal tersebut dimungkinkan asal saja asas perwakilan kolegial tersebut tetap dipegang teguh. Hal ini perlu karena sesungguhnya Direktur Utama sama halnya dengan anggota Direksi yang lain mempunyai wewenang dan tanggungjawab yang setara.
Adam Smith, bapak kapitalisme, mengatakan bahwa sistem ekonomi kapitalis merupakan suatu sistem yang dapat membuat sebuah kesejahteraan di dalam masyarakat. Sebab, pemerintah tidak melakukan campur tangan terhadap kebijakan ataupun mekanisme pasar yang ada.
Dari pandangan Adam Smith di atas inilah hemat penulis terjadinya kesalahpahaman memahami dan menempatkan BUMN ke dalam struktur hukum nasional. Apakah BUMN itu masuk kategori badan usaha sebagaimana yang dimaksud oleh Adam Smith (bapak kapitalisme), di mana pemerintah tidak melakukan campur tangan terhadap kebijakan ataupun mekanisme pasar yang ada dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya atau justru sebaliknya pemerintah justru perlu turut campur tangan dalam membuat kebijakan demi kesejahteraan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Pada faktanya BUMN (di dalam praktiknya), justru di dorong oleh pemerintah dengan menggelontorkan dana yang berasal dari APBN (dibaca, dana berasal dari masyarakat) dengan tujuan memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Dengan demikian, dalam pandangan penulis, seharusnya terhadap BUMN tidak dapat diajukan permohonan pailit dikarenakan BUMN itu tidak dapat dipersamakan dengan badan usaha secara umum yang dikenal masyarakat selama ini, BUMN yang ada di Indonesia ini adalah sebuah entitas atau badan usaha yang memiliki tujuan tidak semata-mata mencari keuntungan, melainkan bertujuan melaksanakan amanat konstitusi, artinya, memiliki tujuan lebih kepada mensejahterakan rakyat, bukan korporasi atau si badan usaha itu semata.
Prinsip ini sejalan dengan tujuan Indonesia bernegara sesuai bunyi Pasal 33 UUD 1945, yang memiliki falsafah Pancasila. Prinsip ini juga diikuti secara internasional, yaitu prinsip “SALUS POPULI SUPREMA LEX ESTO” atau “Keselamatan Rakyat adalah hukum tertinggi.”
ADVERTISEMENT
Beberapa aspek yang dirasakan dan menurut hemat penulis bahwa UU K & PKPU memiliki nuansa yang liberalis dan kapitalis, di antaranya:

Aspek utang dalam kegiatan usaha.

Pengertian utang dalam UU K & PKPU, berbunyi:
Dari definisi di atas, di dalam praktik banyak menimbulkan kebingungan dan sempat menimbulkan perdebatan. Apakah utang pada definisi di atas dapat diartikan sebagai utang dalam arti luas, termasuk segala kewajiban, seperti yang dimaksud di dalam Burgerlijke Wetboek Indonesia Pasal 1754 tentang pinjam meminjam?
ADVERTISEMENT
Sementara di dalam UU K & PKPU, terdapat beberapa putusan Pengadilan Niaga berpandangan bahwa utang tersebut diartikan utang uang atau yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang (utang dalam arti sempit).
Di dalam kegiatan usaha, hampir dipastikan tidak ada pengusaha yang tidak memiliki utang, apakah itu ke pihak lembaga pembiayaan (baik bank maupun non bank), atau ke perorangan, juga boleh jadi ke pihak pemasok bahan baku (apabila produk yang dihasilkan berhubungan dengan produk industri), dan lain-lain.
Di dalam hal terkait utang seperti ini, praktik bisnis, tidak dapat menghindari kemungkinan terjadinya efek domino. Sebagai misal, sebuah perusahan telah berutang ke lembaga pembiayaan, dari aspek bisnis seperti ini, pembiayaan tersebut digunakan untuk membuat produk yang akan dipasarkan, di mana market yang dituju telah siap (produknya memang dibutuhkan konsumen).
ADVERTISEMENT
Untuk hal ini biasanya lembaga pembiayaan tersebut meminta jaminan, yang mana bila tidak ada, si lembaga pembiayaannya akan menghadapi situasi yang dikenal dengan sebutan non performance loan (disingkat NPL). Tentu saja hal demikian akan menjadi perhatian Otoritas Jasa Keuangan selaku lembaga yang mengontrol lalu lintas moneter.
Apabila pembiayaan atau kreditnya dianggap tidak atau kurang baik, bahkan bermasalah, akan memengaruhi kredibilitas lembaga pembiayaan tersebut (mirip rapor sekolah). Untuk hal ini sudah terlihat produsen di atas telah memiliki satu kreditor. Selain memerlukan lembaga pembiayaan tidak jarang produsen juga membutuhkan bahan baku yang akan digunakan untuk memproduksi barang yang dihasilkan.
Perlu diingat, bahan baku tersebut oleh produsen dibutuhkan untuk membuat produk yang pasarnya sudah siap membeli. Di dalam hal demikian pun bisa jadi produsen membelinya dengan cara membayar setelah produknya berhasil terjual dan menerima pembayaran dari hasil produksinya (utang). Di sini juga melahirkan kreditor yang kedua.
ADVERTISEMENT
Tetapi, pada kenyataannya, setelah produksi sudah siap dipasarkan, tidak tertutup kemungkinan terjadi suatu keadaan, misalnya ada perubahan kondisi ekonomi di daerah itu, atau disebabkan oleh situasi tertentu yang diakibatkan oleh persoalan global, seperti harga minyak dunia yang menjadi sumber energi dan tidak menentu, atau juga mungkin akibat adanya perang, yang tidak mustahil diikuti dengan inflasi sehingga tidak dapat dipungkiri akan memengaruhi perdagangan.
Begitu pula bila bahan baku produknya berasal dari impor yang dipengaruhi oleh valuta asing yang bila dikonversi menimbulkan harga yang tidak stabil. Hal-hal demikian ini-lah yang dapat memengaruhi keadaan utang debitor. Dikatakan memiliki efek domino itu karena tidak dapat dipungkiri juga lembaga pembiayaan tersebut meminjamkan dananya ke produsen tadi berasal dari utang kepada nasabahnya, karena uang yang dipinjamkan ke produsen tadi berasal dari dana nasabah yang menempatkan dananya ke lembaga pembiayaan tadi dan sudah barang tentu harus diberikan imbalan berupa bunga.
ADVERTISEMENT
Begitu pula si pemasok bahan baku, boleh jadi ia memberikan bahan baku yang dibutuhkan itu karena (mungkin) ingin mengembangkan bisnisnya (ekspansi) ke yang lebih besar. Akibatnya produsen di atas telah memiliki dua kreditor. Sehingga dengan mendasarkan ke UU K & PKPU, keadaan demikian dapat diajukan permohonan pailit ataupun PKPU, baik atas prakarsa para kreditornya maupun inisiatif produsen itu sendiri.
Hal demikian ini juga bisa terjadi kepada lembaga pembiayaan ataupun perusahaan pemasok bahan baku tersebut. Dengan kata lain, akibat nasabah lembaga pembiayaan di atas menghadapi debitornya gagal bayar, dan bilamana yang mengalami gagal bayar lebih dari satu pihak, maka berisiko sama, dapat diajukan permohonan pailit ataupun PKPU, termasuk berlaku juga kepada perusahaan pemasok bahan baku.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, boleh jadi produsen tadi belum melaksanakan kewajibannya, yakni membayar utang kepada kreditornya, karena belum dibayar oleh konsumennya sehingga si produsen juga belum bisa membayar kepada pemasok bahan baku. Demikian rantai bisnis itu bekerja.