Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Memahami Kesalahpahaman Kasus Agnez Mo vs Ari Bias (2)
23 Februari 2025 13:01 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Djamal Thalib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dengan adanya Pasal 23 ayat (5) ini, sesungguhnya dimungkinkan adanya secara komersial oleh pihak lain tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta sepanjang membayar imbalan kepada pencipta melalui (LMK).
ADVERTISEMENT
Maka dengan melihat kasus Ari Bias vs Agnes Monica (Agnez Mo) perlu diketahui, adakah pihak yang telah melaksanakan pembayaran imbalan kepada (LMK). Atau bisa timbul pertanyaan siapa yang memiliki atau bertanggung jawab melakukan pembayaran imbalan ke LMK? Pertanyaan berikutnya LMK mana yang menaungi atau telah diberi kuasa oleh Ari Bias?
Telah dikemukakan di atas pasal-pasal terkait hak cipta, ciptaan, pencipta, pelaku pertunjukan, dan lain-lain sebagaimana bunyi Pasal 1, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 23, Pasal 40 dan pasal lain yang terkait, maka dengan membaca kasus Ari Bias (Penggugat) vs. Agnes Monica (Tergugat) dan PT Aneka Bintang Gading (Turut Tergugat) jelas pencipta lagu “Bilang Saja” adalah Ari Bias (Penggugat).
Pertanyaan berikutnya, karena lagu “Bilang Saja” ciptaan Ari Bias (Penggugat), dinyanyikan oleh Agnes Monica (Tergugat) di acara yang diselenggarakan oleh PT Aneka Bintang Gading (Turut Tergugat) di 3 (tiga) lokasi, maka sudah barang tentu harus membayar royalti kepada Ari Bias (Penggugat) selaku pencipta lagu. Akan tetapi siapa yang memiliki kewajiban membayar royalti tersebut, Agnes Monica (Tergugat) atau PT Aneka Bintang Gading (Turut Tergugat)? Dari sinilah menurut pemahaman penulis sengketa antara Ari Bias (Penggugat) vs. Agnes Monica (Tergugat) dan PT Aneka Bintang Gading (Turut Tergugat) yang menimbulkan kebingungan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Berbagai spekulasi ini bermunculan. Ari Bias (Penggugat) bertahan dengan pendapatnya, bahwa ialah pencipta lagu “Bilang Saja” sehingga ia menggugat Agnes Monica untuk membayar royalti. Sedangkan Agnes Monica berpandangan, ia menyanyikan lagu tersebut atas permintaan pelaku pertunjukan, dalam hal ini PT Aneka Bintang Gading (Turut Tergugat), oleh karenanya, sebagaimana kelaziman yang berkewajiban membayar royalti kepada Ari Bias adalah penyelenggara pertunjukan yaitu PT Aneka Bintang Gading (Turut Tergugat). Lagi pula, masih menurut Agnes Monica (di beberapa media sosial), betul lagu itu ciptaan Ari Bias, akan tetapi, tidak mungkin lagu itu bisa populer bila dinyanyikan oleh artis lain dan bukan oleh Agnes Monica. Karena Agnes Monica lah yang memberikan sentuhan jiwa ditambah dengan sentuhan-sentuhan teknologi suara (sound system) yang baik. Jadi tidak bisa lagu “Bilang Saja” sepenuhnya dapat dikatakan milik Ari Bias, karena sudah ada campur tangan pihak lain.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan penulis yang mendasarkan pada argumentasi hukum, tentu saja harus diakui bahwa lagu “Bilang Saja” tersebut ciptaan Ari Bias (terbukti telah dicatatkan pada Direktur Jendral Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM), terlepas Agnes Monica dan pihak-pihak lain memberikan sentuhan teknologi maupun jiwa dari lagunya sehingga masih bisa diperdebatkan. Maka yang perlu dipertanyakan berapa nilai royalti yang harus dibayarkan kepada Ari Bias dan siapa yang berhak menentukan nilainya? Di lain pihak siapa yang berkewajiban membayar royalti, Agnes Monica selaku penyanyi atau PT Aneka Bintang Gading (Turut Tergugat) selaku penyelenggara pertunjukan?
Di dalam teori hukum secara sederhana dikenal masyarakat umum adanya hukum pidana dan hukum perdata. Hukum pidana merupakan hukum publik, yaitu hukum yang mengatur kepentingan umum, seperti hubungan hukum antara warga negara dengan negara. Sedangkan hukum perdata adalah hukum yang mengatur hukum yang mengatur hubungan antar individu atau badan hukum, sering juga disebut hukum privat.
ADVERTISEMENT
UU Hak Cipta merupakan lex specialis derogat legi generali, artinya UU Hak Cipta merupakan lex specialis dari Hukum Perdata pada umumnya. Akan tetapi walaupun UU Hak Cipta juga membicarakan tentang perjanjian (persetujuan), prinsip-prinsip umum dari suatu perjanjian tetap menggunakan hukum perdata yang selama ini digunakan di Indonesia, seperti prinsip hukum yang dikenal dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek Indonesia yang intinya mengatur tentang sah-nya suatu perjanjian, yaitu; adanya kata sepakat para pihak; kecakapan pihak-pihak yang membuat perjanjian; objeknya tertentu, dan bukan merupakan hal yang dilarang oleh undang-undang.
Dengan mengacu pada gugatan yang diajukan oleh Ari Bias selaku Penggugat melawan Agnes Monica selaku Tergugat dan PT Aneka Bintang Gading (Turut Tergugat), maka penulis meyakini para pihak telah menyepakati menyelesaikan permasalahannya menggunakan prinsip hukum perdata atau hukum privat.
ADVERTISEMENT
Karena telah merupakan kesepakatan oleh para pihak yang sekarang berselisih bahwa persoalan yang ingin diselesaikan ini adalah persoalan yang tunduk pada hukum perdata dengan fakta diajukannya gugatan ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka pertanyaannya adalah kesepakatan apa yang pernah dibuat antara Ari Bias dengan Agnes Monica dan juga PT Aneka Bintang Gading?
Di dalam hal yang berhubungan dengan sengketa perdata itu dikenal ada 2 (dua) macam, yaitu mengenai wanprestasi atau ingkar janji dan perbuatan melawan hukum.
Kriteria untuk mengukur wanprestasi menurut hukum adalah: tidak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan, melaksanakan kewajiban tetapi tidak sesuai -dengan kesepakatan, terlambat dalam memenuhi perjanjian dan melakukan hal yang dilarang dalam perjanjian.
ADVERTISEMENT
Sedangkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, adanya sebab akibat serta adanya kerugian.
Dengan memahami prinsip-prinsip hukum di atas, maka yang perlu dicari jawaban dari permasalahan yang terjadi adalah kesepakatan apa yang pernah dibuat oleh para pihak di dalam sengketa ini. Di satu pihak Penggugat merasa haknya diabaikan hingga menimbulkan kerugian, di lain pihak para pihak Agnes Monica merasa itu bukan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk membayar kerugian, begitu pula PT Aneka Bintang Gading.
Tampaknya, dari permasalahan yang ada para pihak tidak pernah membuat kesepakatan atau perjanjian. Di sini letak permasalahannya sehingga menimbulkan perdebatan yang panjang yang kemudian menimbulkan kesan seolah-olah anomali karena peraturan perundang-undangan yang ada tidak atau belum mengakomodir kepentingan para pihak. Padahal UU Hak Cipta telah mengatur tentang apa itu hak cipta, siapa itu pencipta juga siapa itu pelaku pertunjukan, bahkan pengaturan pengalihan hak cipta. Seyogyanya, manakala peraturan perundang-undangan yang ada dipahami dengan benar sengketa antara pihak-pihak di kasus ini tidak perlu terjadi.
ADVERTISEMENT
PP No.56/2021
PP. No.56 tahun 2021 ini pada intinya mengatur tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yaitu pengaturan tentang penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian Royalti Hak Cipta lagu dan/atau musik.
Lembaga Manajemen Kolektif yang selanjutnya disingkat LMK adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan Royalti.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang selanjutnya disingkat LMKN adalah lembaga bantu pemerintah non APBN yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan Undang-Undang mengenai Hak Cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi Pencipta dan pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik.
ADVERTISEMENT
Di dalam PP. No.56/2021 ini memberikan kewenangan untuk melakukan penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian Royalti Hak Cipta lagu dan/atau musik kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Kedua lembaga ini memiliki kewenangan menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta.
Membaca bunyi Pasal 3 juncto Pasal 9 PP. No.56/2021 telah diatur bahwa setiap orang dapat menggunakan secara komersial lagu dan atau musik dalam berbagai bentuk layanan publik (dalam hal ini konser musik) dengan membayar royalti kepada pencipta atau dengan cara mengajukan permohonan lisensi melalui LMKN untuk kemudian dilakukan pencatatan oleh Menteri. Apabila pencipta telah menjadi anggota suatu LMK, maka pencipta dapat mengajukan tuntutan ganti rugi melalui LMK dimana pencipta telah bergabung (Pasal 12 PP. No.56/2021). Maka bila dihubungkan dengan kasus yang terjadi antara Ari Bias dengan Agnes Monica dan juga PT Aneka Bintang Gading timbul pertanyaan siapa yang memiliki kewajiban/tanggungjawab untuk melaksanakannya dan apa alas hak-nya?
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan penulis, karena ini berkaitan dengan sedikitnya 3 (tiga) pihak, maka penting dibuat kesepakatan terlebih dahulu sebelum kegiatan dilaksanakan. Sering penulis mendengar argumentasi tentang sulitnya menghubungi pencipta. Hal tersebut hemat penulis bukan alasan yang bisa diterima, mengingat risiko yang harus ditanggung oleh pihak-pihak terkait.
Terlebih institusi-institusi seperti LMKN dan LMK yang kompetensinya telah diatur dengan jelas melalui peraturan perundang-undangan yang ada sebagaimana diatur di dalam (PERMENKUMHAM No.9/22, tentang PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 56 TAHUN 2021 TENTANG PENGELOLAAN ROYALTI HAK CIPTA LAGU DAN/ATAU MUSIK) juncto (Kepmenkumham No.HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalty Untuk Pengguna Yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu.
Kesimpulan
Belajar dari kasus antara Ari Bias vs Agnes Monica dan juga PT Aneka Bintang Gading, tampaknya terjadi kesalahpahaman di dalam memahami peraturan perundang-undangan yang terkait masing-masing kedudukan para pihak (legal standing). Persoalan perbedaan dalam menafsirkan pasal-pasal di dalam UU Hak Cipta beserta peraturan-peraturan teknis di-bawahnya dari kasus tersebut menjadikan dialektika yang cukup tajam di masyarakat terlihat hampir setiap hari muncul di media sosial.
ADVERTISEMENT
Penulis berharap melalui tulisan ini, walaupun diangkat dari kasus Ari Bias vs Agnes Monica, dapat dijadikan legacy ke depan bagi seluruh stake holder Hak Kekayaan Intelektual, khususnya memandang bidang hak cipta. Karena objek kajian dalam hak cipta tentang musik dan lagu itu bukan satu-satunya melainkan ada hak cipta lain yang cukup luas bidang yang ditangani.
Saran
Mengingat kasus Ari Bias vs Agnes Monica dan juga PT Aneka Bintang Gading telah diputus oleh pengadilan, bila ada pihak yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut tentu saja dapat menempuh upaya hukum yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan.
Mengingat bidang kajian hak cipta tentang musik dan lagu bukan satu-satunya di dalam rezim Hak Cipta. Maka agar kasus seperti di atas tidak terjadi berulang, perlu diperbanyak diseminasi di antara para pelaku seni mengenai betapa pentingnya dibuat kontrak atau perjanjian antara para pihak guna menghindari kasus-kasus serupa yang tentu banyak membuang energi dan tidak terlepas dari biaya di kemudian hari.
ADVERTISEMENT