Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
#JusticeforAU dan Penyelesaian Tindak Pidana oleh Pelaku di Bawah Umur
10 April 2019 10:13 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari DNT LAWYERS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Memulihkan Korban atau Menghukum Pelaku?
ADVERTISEMENT
Seiring perkembangan zaman, tindak pidana yang terjadi bukan hanya dilakukan oleh perorangan yang sudah dewasa atau cakap hukum, melainkan juga dilakukan oleh anak di bawah umur. Bukan hanya pencurian dan narkotika, bahkan kasus kekerasan pun saat ini marak dilakukan oleh anak di bawah umur.
ADVERTISEMENT
Berkaca dari kasus kekerasan yang baru saja terjadi terhadap seorang anak di bawah umur berinisial AU di Pontianak, tagar #justiceforAU menjadi viral di kalangan media sosial. Lantas, bagaimana hukuman tindak pidana oleh pelaku anak berdasarkan ketentuan yang berlaku? Apakah disamakan dengan orang dewasa?
Penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur, pada prinsipnya, mengacu pada Undang-Undang (UU) No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). UU SPPA mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, serta menghargai partisipasi anak.
Pasal 1 angka 2 UU SPPA membagi 3 (tiga) definisi anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum, yang selanjutnya disebut anak, adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Ketentuan mengenai penyelesaian perkara oleh pelaku anak, berdasarkan pada ketentuan UU SPPA:
a. Pasal 5
Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), yang wajib dilakukan melalui upaya diversi.
b. Pasal 1 angka 6
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
c. Pasal 1 angka 7
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Pasal 7 menyatakan bahwa diversi dilakukan dalam hal tindak pidana, yang dilakukan dengan ancaman pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Restorative Justice memformulasikan keadilan menjadi rumusan para pihak, yaitu korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Rumusan yang dimaksud adalah mempertemukan maksud penyelesaian perkara oleh korban dan pelaku, sehingga tercipta win-win solution. Boleh jadi, penyelesaian terbaik yang dikehendaki oleh korban bukanlah pemidanaan.
Kelemahan yang dikhawatirkan dari penerapan Restorative Justice ini adalah dapat menjadi sumber penyalahgunaan wewenang (diskresi) dari para penegak hukum. Restorative Justice dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak di luar persidangan (melalui diversi) menekankan pada perbaikan akibat yang terjadi, yang disebabkan tindak pidana, dengan memberdayakan proses pemulihan dan kepentingan semua yang terlibat baik pelaku dan korban, maupun masyarakat.
Model penyelesaian perkara di luar proses persidangan pengadilan merupakan suatu metode yang diharapkan dapat dilakukan untuk melindungi kejiwaan seorang anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak, dengan tujuan dan tetap memperhatikan (Pasal 6 UU SPPA):
ADVERTISEMENT
Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, di mana fasilitator yang ditunjuk Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada:
ADVERTISEMENT
Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan atau dapat melakukan pertemuan terpisah. Berdasarkan Pasal 11 UU SPPA, hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk antara lain:
Apabila kesepakatan tercapai, maka setiap pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan diversi wajib menerbitkan penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan perkara. Jika tidak terjadi kesepakatan dalam diversi atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, proses peradilan pidana anak akan dilanjutkan. Selanjutnya, ketentuan Pasal 71 UU SPPA menyebutkan mengenai ketentuan pemidanaan anak yang dapat berupa:
ADVERTISEMENT
(1) Pidana pokok bagi anak, terdiri atas:
a. Pidana peringatan;
b. Pidana dengan syarat
c. Pembinaan di luar lembaga;
d. Pelayanan masyarakat; atau
e. Pengawasan.
f. Pelatihan kerja;
g. Pembinaan dalam lembaga; dan
h. Penjara.
(2) Pidana tambahan, terdiri atas:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.
Bila masih ada yang ingin ditanyakan atau dikonsultasikan terkait masalah ini, atau Anda perlu pendampingan atau bantuan hukum, segera hubungi kami di (021) 6329 683 atau e-mail info@dntlawyers.com atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers (www.dntlawyers.com).
Terima kasih, semoga bermanfaat.
Penulis : Hesti Zahrona Nurul Rohmah (Universitas Gadjah Mada), Intern Student di DNT Lawyers
ADVERTISEMENT