Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Disinformasi dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat
3 Agustus 2020 12:54 WIB
Tulisan dari Dodi Ambardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah koran digital kecil, Conservative Daily Post, di awal November 2016 menerbitkan sebuah breaking news yang menyatakan bahwa Presiden Barack Obama dan Hillary Clinton menjanjikan akan memberikan amnesti pada para imigran ilegal yang akan membuka kesempatan mereka untuk tetap tinggal dan bisa menjadi warga negara Amerika Serikat. Segera dalam waktu cepat berita itu meluas dengan share lebih dari lima ribu kali melalui berbagai kanal digital.
ADVERTISEMENT
Isu pengampunan atau penolakan imigran ilegal adalah isu sensitif di Amerika Serikat yang selalu menjadi salah satu pokok perdebatan kebijakan kandidat presiden untuk meraih atau menjauhkan dukungan politik pemilih. Problemnya tunggal: Breaking news dari Conservative Daily Post itu tidak benar alias palsu.
Berita itu memang diterbitkan lima hari setelah pemberian suara pemilu presiden yang berlangsung 3 November 2016 sehingga sebenarnya ia tidak memiliki dampak pada pilihan kandidat pemilih. Tampaknya penyebaran berita palsu tersebut lebih bertujuan untuk membentuk persepsi warga negara Amerika agar menerima kemenangan president-elect, Donald Trump, karena bagi banyak warga di sana kedatangan imigran dianggap sebagai mimpi buruk.
Disinformasi dan misinformasi lain banyak yang beredar sebelum hari-h pemilihan. Bahwa Paus di Roma memberikan endorsement pada Donald Trump dan Hillary Clinton sebagai tokoh kunci mafia perdagangan asusila anak di bawah umur adalah dua berita palsu yang beredar cukup luas di kalangan pemilih Amerika. Jika misinformasi atau disinformasi itu merajalela di Pemilu Presiden 2016, sejauh mana tren tersebut membelokkan hasil Pemilu Presiden 2020?
ADVERTISEMENT
Misinformasi dan disinformasi selalu menjadi problem pemilu di mana-mana. Ia menyesatkan karena ketika menjatuhkan pilihan, seorang pemilih akan bertolak dari informasi yang dimilikinya tentang karakter dan tawaran kebijakan para kandidat selama masa kampanye. Jika kualitas informasi yang diperolehnya berkualitas buruk bahkan palsu, maka dia akan memilih kandidat secara salah, yang akhirnya menurunkan kualitas pemilu dan demokrasi.
Sejumlah media di Amerika Serikat mencemaskan kemungkinan itu berulang di November mendatang. The Atlantic, misalnya, pada Februari lalu menurunkan reportase panjang berjudul “The Billion-Dollar Disinformation Campaign to Reelect the President”. Lainnya lagi, pada Mei lalu Bloomberg melacak metamorfosa disinformasi itu menuju pemilu presiden mendatang dengan judul, “How Disinformation Has Morphed for the 2020 Election”. Sementara jaringan radio publik PBS di laman situsnya memberikan data yang mencemaskan bahwa mayoritas pemilih Amerika (59%) menyatakan kesulitannya untuk mengidentifikasi informasi yang menyesatkan.
ADVERTISEMENT
McKay Coppins, wartwanan The Atlantic, yang secara khusus mengamati tren disinformasi politik dalam wawancaranya dengan jaringan radio publik NPR menunjuk langsung Brad Parscale, direktur kampanye digital Donald Trump tahun 2016 sebagai “a mastermind of dark arts of politics on social media”–dalang dari seni gelap pengelabuhan politik di media sosial.
Secara spesifik, lanjut Coppins, Parscale memanfaatkan Facebook untuk menjangkau dan membujuk pemilih dengan memakai teknik micro-targeting. Ringkasnya, pemilih Amerika dipecah ke dalam kelompok-kelompok ceruk sangat kecil yang kemudian dibidik dengan berbagai iklan politik dengan pesan-pesan spesifik yang cocok untuk masing-masing ceruk.
Untuk memahami tautan antara disinformasi dengan hasil pemilu presiden, kita perlu menjawab dua teka-teki yang bersambungan: seberapa besar kuantitas jangkauan rangkaian micro-targeting itu ke pemilih keseluruhan dan seberapa jauh pula disinformasi itu mampu membelokkan hasil Pemilu Presiden tahun 2016–dan kelak di November 2020.
ADVERTISEMENT
Namun, studi yang dilakukan oleh Watts dan Rothschild (2017) meragukan efek disinformasi itu. Setidaknya, ketika menghitung dan jangkauan iklan politik berbasis mode micro-targeting dan jumlah disinformasi yang beredar selama periode kampanye Pilpres 2016, keduanya menemukan bahwa kuantitas iklan dan jumlah fake news tersebut sangatlah kecil. Laporan The New York Times yang mengatakan bahwa 3.000 iklan politik pemilu saat itu di Facebook dengan nilai total sebesar 100 ribu dolar sesungguhnya hanya 0.1 persen saja dari keseluruhan penghasilan iklan yang diterimanya selama kuartal keempat–periode kampanye pilpres–yang sebesar 8,8 miliar dolar. Jika memang ada, dalam hitungan mereka, efek persebaran berita palsu tersebut sangat kecil.
Mirip, hitungan Buzzfeed dalam reportasenya yang mengatakan bahwa top 20 fake news yang beredar di platform Facebook mulai awal Agustus sampai hari-h pemungutan suara telah berlipat ganda menghasilkan shares, reaksi pengguna, dan komentar di platform itu yang mencapai 8,7 juta. Namun jumlah ini pun ternyata sangat kecil jika dibandingkan dengan rerata pengguna aktif bulanan Facebook yang mencapai 1,5 miliar. Pendeknya, hitungan kuantitatif yang dilakukan oleh dua periset tersebut memberikan catatan kritis terhadap efek elektoral disinformasi.
ADVERTISEMENT
Studi yang dilakukan oleh Watts dan Rothschild termuat Columbia Journalism Review edisi Desember 2017–sebuah majalah serius yang menargetkan pembaca utamanya adalah para jurnalis profesional. Pesan utama dari studi tersebut berupa kritik terhadap media yang pada Pemilu Presiden 2016 tersebut terlalu berkonsentrasi pada isu-isu yang dramatis menang-kalah dalam pemilu serta penekanan pada skandal personal ketimbang pada isu-isu substantif kebijakan. Studi itu sesungguhnya tidak mengeksplorasi lebih jauh tentang efek disinformasi pada level perilaku pemilih secara umum. Sebab itu, studi itu diberi judul “Don’t blame the election on fake news. Blame it on the media”.
Studi Watts dan Rothschild menjelaskan kemenangan Trump 2016 dengan mekanik yang spesifik yang umum dikenal dalam studi tentang agenda setting: Media-media tersebut (khususnya koran berpengaruh The New York Times) justru gagal memberikan informasi kepada pemilih tentang konsekuensi pilihan kandidat mereka terhadap kebijakan-kebijakan yang kelak diambilnya yang berkaitan dengan isu ekonomi, perpajakan, sistem jaminan kesehatan, dan imigrasi. Akibatnya, miskinnya kualitas pemberitaan dari media mainstream menolong Trump memenangkan presidensi. Tapi studi ini sesungguhnya mengidap sebuah kelemahan, sebab kedua periset itu tidak mengukur langsung efek fake news terhadap pilihan kandidat pemilih.
ADVERTISEMENT
Studi berbeda yang dilakukan oleh Tim Ohio State University, Gunther, Nisbet dan Beck di tahun 2018. Studi mereka mengukur secara langsung efek fake news terhadap pilihan kandidat pemilih melalui data survei. Tiga berita palsu yang beredar luas di platform media sosial disimulasikan untuk dilihat pengaruhnya: Kondisi kesehatan Hillary Clinton sangat buruk, Hillary Clinton pernah menjual senjata Amerika ke ISIS, dan bahwa Paus memberikan endorsement ke Donald Trump.
Temuan mereka mendemonstrasikan bahwa sebagian pemilih Obama yang termakan berita palsu tersebut berpindah pilihan ke Trump, padahal pada saat yang sama Obama telah memberikan endorsement ke Hillary Clinton yang sama-sama berasal dari Partai Demokrat. Defeksi atau migrasi sebagian pemilih Obama ini menjelaskan efek fake news atau berita palsu tersebut secara langsung pada pilihan kandidat pemilih. Temuan di level sampel ini kemudian bisa diekstrapolasi ke tingkat populasi pemilih keseluruhan, yang itu menjelaskan kemenangan Trump. Ringkasnya, studi Gunther dan kawan-kawan tersebut menempatkan kembali pentingnya memperhatikan efek fake news dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat November nanti. Terlebih lagi pada kompetisi pemilu yang berlangsung ketat.
ADVERTISEMENT
Perusahaan-perusahaan raksasa digital yang memiliki platform media sosial seperti Facebook yang memiliki Instagram dan Google yang memiliki YouTube terus-menerus mencoba memerangi luberan fake news di laman-laman mereka. Mereka menghapus dan membatalkan ribuan akun yang memroduksi dan menyebarkan berita-berita palsu, serta membelanjakan miliaran dolar untuk itu. Namun, sebagaimana dicemaskan banyak pengamat, tren beredarnya disinformasi dan/atau berita palsu tetap tinggi di platform-platform itu.
Ironisnya, seperti disampaikan oleh Bloomberg, sejak tahun 2018 kantor kepresidenan Amerika Serikat di Gedung Putih Pemerintah justru melonggarkan aturan yang bertujuan mencegah infiltrasi fake news–khususnya dari Rusia–dalam politik dalam negerinya. Lebih celaka lagi, dalam catatan The Washington Post, bahkan Trump sendiri selama masa kepresidenannya telah mengeluarkan sekitar 20 ribu pernyataan yang salah atau menyesatkan–melalui televisi atau Twitter.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, disinformasi dalam politik elektoral Pilpres Amerika bisa menghasilkan ketakterdugaan–meskipun berbagai pollster terus menunjukkan keunggulan elektoral Biden atas Trump. Pertanyaannya, jika Trump tidak sungkan untuk memakai strategi disinformasi demi kemenangannya, akankah Biden tim kampanye, dan simpatisannya menggunakan taktik yang sama? Rumusan The Atlantic menarik dikutip di sini yang ditujukan pada para perancang strategi Demokrat di sana untuk “fighting fire with fire”–melawan api dengan api?