Konvensi Partai Republik dan Politik Ras di Amerika

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
Konten dari Pengguna
31 Agustus 2020 11:34 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dodi Ambardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berbicara melalui video selama siaran Konvensi Nasional Partai Republik 2020 secara virtual di Washington, Amerika Serikat. Foto: Republican National Convention/via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berbicara melalui video selama siaran Konvensi Nasional Partai Republik 2020 secara virtual di Washington, Amerika Serikat. Foto: Republican National Convention/via REUTERS
ADVERTISEMENT
Trump dan Partai Republik sedang berusaha keras memperbaiki citra mereka agar telihat lebih heterogen dan inklusif. Basis mereka di banyak negara bagian semakin bertumpu pada pemilih berkulit putih. Karena itu, selain berfungsi simbolik, keragaman itu diperlukan untuk membujuk warga berkulit hitam dan kulit berwarna lainnya agar berpaling ke arah mereka.
ADVERTISEMENT
Upaya itu tercermin dalam konvensi Partai Republik yang mereka selenggarakan minggu kemarin. Selain elite partai, pembicara yang mereka tampilkan di panggung mewakili berbagai warna kulit: keturunan Cina, Hispanik, Amerika-Afrika, dan Indian asli. Dari sudut kelas pun, Trump dan Partai Republik membuka ruang bagi jelata dengan menampilkan petambak lobster, seorang pemilik kedai kopi, dan seorang ibu rumah tangga biasa.
Melunturnya heterogenitas di Partai Republik sebetulnya sudah berlangsung cukup lama.
Kalau melihat sejarah panjang dua partai besar di Amerika itu, warga kulit hitam justru semula banyak yang memberikan suaranya ke Partai Republik. Sampai dengan terjadinya Perang Saudara 1861-1865, adalah para politisi Partai Republik yang melakukan penghapusan perbudakan dan membuka jalan politik bagi warga kulit hitam. Namun migrasi politik besar terjadi setelah Amerika melewati krisis ekonomi 1930-an. Proses itu terjadi setelah Presiden Franklin Roosevelt dari Partai Demokrat melakukan program restorasi ekonomi dan banyak mengakomodasi kepentingan kaum kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Peta politik Amerika pun berbalik sejak itu. Sebelum perang saudara, pendukung Partai Republik lebih banyak berdiam di wilayah utara sementara Partai Demokrat di selatan. Setelah 1930-an keduanya bertukar tempat, basis Republik bergeser ke selatan dan Demokrat ke utara. Sementara, kaum kulit hitam dan berwarna lainnya banyak yang meninggalkan rumah lama Partai Republik menuju rumah baru Partai Demokrat. Menjelang pergantian abad, Partai Republik meneruskan kecenderungan bertumpu pada kaum kulit putih dan kecenderungan itu semakin meningkat.
Citra bahwa Partai Republik lebih berbias ke kaum kulit putih itulah yang hendak diubah melalui konvensi partai yang menobatkan Trump sebagai kandidat presiden untuk Pemilu Presiden November nanti.
Tapi banyak pengamat di media meragukan. Upaya itu tak lebih dari sekadar gincu. Tampilan pembicara yang heterogen itu hanya menyentuh permukaan. Mereka tidak benar-benar merengkuh kaum kulit berwarna, namun sekadar memberi tampilan agar Trump dan Partai Republik terlihat lebih manusiawi. Berikutnya lagi, sesumbar Trump yang memberikan bantuan miliaran dolar bagi warga Indian asli baru-baru ini, sesungguhnya lebih bermotif politik sebab sebelumnya sang presiden justru menentang alokasi bantuan itu.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi persoalan, Trump telah menjadi kekuatan otonom pada dirinya. Kini dialah yang mengendalikan Partai Republik dan memiliki kecenderungan sangat kuat untuk mengedepankan politik rasialisme yang konfrontatif dan menolak cara yang akomodatif.
Presiden AS Donald Trump dan keluarganya saat penerimaan Konvensi Nasional Partai Republik dari South Lawn Gedung Putih. Foto: Doug Mills/REUTERS
Isu rasialisme yang mengakar jauh dalam sejarah politik Amerika umumnya, sebelum Trump, ditangani dengan mode rekonsiliasi dan negosiasi. Amandemen 15 yang memberikan hak suara pada warga kulit hitam tahun 1870 keluar setelah Amerika melewati perang sipil, pembunuhan Presiden Abraham Lincoln yang menghapuskan perbudakan. Amandemen itu diadopsi resmi setelah proses negosiasi antara Presiden Andrew Jackson—presiden setelah Lincoln—dengan Kongres yang diwarnai saling veto sebelum amandemen itu akhirnya putus.
Seratus tahun kemudian, milestone besar penanganan isu rasialisme di Amerika ditandai dengan diadopsinya Civil Right Act 1964—Akta Hak Sipil—yang ditandatangani oleh Presiden Lyndon Johnson.
ADVERTISEMENT
Akta atau undang-undang ini memberikan kesetaraan bagi semua warga negara Amerika dengan menghapus praktik segregasi di tempat bisnis seperti restoran, gedung bioskop, hotel, perpustakaan publik, dan sekolah negeri.
Akta ini pula yang menciptakan kesetaraan bagi semua warga untuk mengisi peluang kerja tanpa diskriminasi warna kulit atau ras. Penandatangan Akta itu, sebagaimana Amandemen 15, terlebih dahulu melalui proses panjang negosiasi ulang-alik antara Kongres dan Kantor Presiden. Selain dua milestone tersebut, banyak isu rasialisme yang memunculkan protes massa seperti kasus Rodney King di Los Angeles (1992), kasus di Cincinnati, Ohio (2001), kasus di Ferguson, Missouri (2014), dan kasus di Baltimore, Maryland (2015).
Tidak semua kasus tersebut dihadapkan pada presiden. Tetapi, ketika situasi menuntut seorang presiden untuk merespons, nada rekonsiliasi bentrok rasial tersebut selalu dikedepankan. Dan ketika respons pembentukan undang-undang, negosiasi dilakukan dan melibatkan presiden dan Kongres untuk menampung dan mencari jalan tengah kelompok ras yang bertikai.
ADVERTISEMENT
Di tangan Trump, rasialisme justru dimanfaatkannya sebagai momentum untuk merengkuh lebih dalam pendukung fanatiknya. Alih-alih mencoba melakukan rekonsiliasi, Trump mengambil langkah yang bertolak belakang dengan mayoritas para pendahulunya dalam menghadapi protes masif berbasis ras. Ketika protes sosial pecah di Minneapolis, Minnesota, karena seorang warga kulit hitam meninggal karena kebrutalan polisi yang berkulit putih di Mei lalu, Trump justru menuduh para demonstran itu sebagai pengacau yang merusak tertib hukum dan tertib sosial.
Terhadap gerakan emansipatoris “Black Lives Matters” (BLM) yang bergema lagi di protes itu, Trump justru berteriak bahwa gerakan itu adalah simbol kebencian. Dia mengabaikan konteks yang lebih luas bahwa gerakan dan protes itu adalah refleksi dari ketegangan ras yang berakar kuat di sepanjang sejarah sosial dan politik Amerika.
ADVERTISEMENT
Tampaknya, Trump meminjam taktik elektoral Richard Nixon tahun 1968 yang menggunakan slogan itu untuk menarget kelas pekerja kulit putih yang memilih ketenangan ketimbang keributan. Tujuan elektoral keduanya sama, tapi konteksnya berbeda. Komposisi pemilih di era Nixon lebih homogen berkulit putih, sedangkan di era Trump komposisinya lebih heterogen secara etnis.
Perbedaan lainnya, Nixon saat itu belum memegang jabatan presiden, sementara Trump kini sedang menjadi presiden dengan kekuasaan besar di tangannya. Perbedaan lain lagi, survei PEW Juni 2020 menemukan bahwa mayoritas masyarakat Amerika lebih bersimpati pada gerakan (BLM)—bahkan di antara warga kulit putih sendiri. Sejumlah hasil polling menunjukkan bahwa justru kaum kulit putih terdidik mulai meninggalkan Trump.
Di tengah meningkatnya polarisasi di Amerika, strategi Trump itu justru mempertajam polarisasi karena Trump membawa pemilu presiden ke arena perang kultural. Memang, itu salah satu kemungkinan plot pemilu yang bisa terjadi. Tapi bersamaan dengan itu, kemungkinan plot lain bahwa pemilu adalah kontes kualitas karakter dan leadership, adu visi tentang masa depan Amerika, atau tentang efektivitas kebijakan untuk menyelesaikan problem Amerika menjadi tenggelam.
ADVERTISEMENT
Dilihat melalui perspektif tersebut maka terlihat bahwa keragaman Trump dan Partai Republik yang dipamerkan dalam konvensi minggu kemarin ibarat jauh panggang dari api. Apa yang ditampilkan di permukaan tidak cocok dengan apa yang terjadi di lapangan.
Pilihan strategi Trump itu sendiri tak banyak mendapat tantangan dari para elite Partai Republik sendiri. Dalam rentang empat tahun itu Trump telah tampil sebagai kekuatan intimidatif di lingkaran elite partai. Pada berbagai pemilu sela yang terjadi di periode itu, hampir semua kandidat Partai Republik yang ingin merebut atau mempertahankan kursi Kongres merasa perlu untuk mendapatkan endorsement dari Trump—secara sukarela atau terpaksa—khususnya di wilayah-wilayah yang menjadi basis pendukung Trump.
Tanpa Trump, prospek keterpilihannya menyempit sehingga sebagian kandidat memilih untuk mengundurkan diri maju dalam pemilu sela jika ia tidak merasa cocok dengan karakter atau kebijakan yang diambil Trump.
ADVERTISEMENT
Cengkeraman Trump di Partai Republik lebih kentara lagi saat Kongres menyelenggarakan sidang pemakzulan Trump pada Februari lalu. Artikel pemakzulan itu lolos di level DPR yang dikuasai oleh Partai Demokrat tetapi akhirnya ditolak di level DPD atau senat. Pemungutan suara di senat mengikuti garis partai yang dikendalikan Trump di mana semua anggota senat Partai Republik bersetuju untuk menolak pemakzulan, khususnya di artikel yang kedua.
Langkah yang diambil Trump dan Partai Republik pada akhirnya adalah sebuah langkah gambling. Jika kelak Trump menang dalam pemilu presiden, Trumpisme akan terus berkibar dan masa depan Partai Republik akan tampak agak jernih. Jika Trump kalah, partai itu harus bersusah-payah untuk mencari jalan baru bagi partai pasca-Trump. Yang menjadi persoalan, jika Trump menang, kejayaan Trump dan Partai Republik tidak identik dengan kejayaan Amerika.
ADVERTISEMENT