Konten dari Pengguna

Menghitung Prospek Elektoral Joe Biden

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
27 Juli 2020 10:55 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dodi Ambardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Joe Biden. Kredit foto: Reuters/Mike Blake
zoom-in-whitePerbesar
Joe Biden. Kredit foto: Reuters/Mike Blake
ADVERTISEMENT
Empat bulan menuju Pilpres 3 November 2020 di Amerika Serikat, Donald Trump tetap menguasai pemberitaan media. Tapi, sebaliknya, dalam gambaran berbagai polling, calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden yang justru terus memimpin kompetisi elektoral dengan selisih dukungan yang makin melebar.
ADVERTISEMENT
Rata-rata, selisih dukungan tersebut sampai pertengahan Juni merambah level double-digit, sekitar 10-15 persen. Rincian data polling mengabarkan bahwa di antara registered-voters atau pemilih terdaftar, Biden mengungguli Trump.
Para pemilih terdaftar ini bisa dijadikan basis penilaian kasar hasil pemilu presiden kelak, sebab merekalah yang berhak dan bisa menggunakan hak suaranya. Lebih meyakinkan lagi, data polling juga menunjukkan bahwa di antara pemilih yang kelak benar-benar berniat datang ke bilik suara, tingkat dukungan terhadap Biden juga tetap lebih tinggi dibanding Trump.
Jika penguasaan headline media memang mencerminkan rangkaian aktivitas kampanye, apakah kampanye Trump adalah sebuah kepercumaan? Sejauh mana saling promosi dan saling kritik antarkandidat kelak akan menentukan peruntungan elektoral masing-masing?
Sejumlah pengamat dan konsultan politik menganggap bahwa sosok Biden kalah kuat dibandingkan dengan Hillary Cliton untuk menjadi rival Trump. Namun, untuk jarak waktu yang sama menuju Bulan November, keunggulan dukungan Biden atas Trump justru melampaui level dukungan Clinton di tahun 2016.
ADVERTISEMENT
Usai Pemilu Presiden 2016, The New York Times melakukan sebuah riset yang membandingkan volume liputan media terhadap para kandidat presiden selama sembilan bulan periode kampanye. Dengan menggunakan data dari mediaQuandt dan SMG Delta, riset itu menemukan bahwa Trump mendapatkan jumlah liputan media, secara gratis, yang jauh melampaui para pesaingnya.
Jika disetarakan dengan rate iklan, nilai kampanye Trump saat itu mendekati 2 miliar dolar atau lebih dari dua kali lipat nilai dolar kampanye rival utamanya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Dibandingkan dengan kandidat lain yang kalah di primary atau kandidasi level partai, nilai dolar pemberitaan Trump 6 kali lebih banyak ketimbang Barnie Sanders (Partai Demokrat) maupun Ted Cruz (Partai Republik).
ADVERTISEMENT
Kualitas dan tone liputan yang positif mungkin memiliki efek yang berbeda untuk membentuk pilihan politik pemilih saat itu. Namun kenyataannya, Trump-lah yang memenangkan kontestasi presiden di tahun 2016 itu.
Dalam derajat tertentu, penguasaan peliputan media layaknya menjadi cetak-biru bagi Trump untuk memenangkan periode kedua kepresidennya. Cara Trump merebut perhatian media memiliki kemiripan di tahun 2016 dan 2020 yang kerap ditandai dengan pernyataan-pernyataan kontroversial dan menyesatkan pemilih. Yang bergeser adalah pilihan-pilihan isunya seiring perkembangan sosial-ekonomi-politik mutakhir yang terjadi di Amerika Serikat.
Di kampanye 2016, cara pandang Trump yang sexist terhadap kaum perempuan, sikap anti-Muslim dengan usulan pelarangan Muslim memasuki Amerika Serikat, dan cemoohnya terhadap para imigran dari Amerika Selatan banyak merebut perhatian media. Dan itu semua mengundang banyak kritik.
ADVERTISEMENT
Di kampanye 2020, penyikapan Trump terhadap isu rasialisme dan cara penanganannya atas meruyaknya wabah covid-19 juga merebut banyak perhatian media, dan mengundang pula banyak kritik keras dari berbagai kalangan. Tapi, tampaknya, rangkaian kontroversi itu kali ini memiliki efek elektoral yang berbeda dengan efek yang terjadi di tahun 2016.
Justru, langkah-langkah keliru yang diambil oleh Trump membuka dan memperbesar peluang elektoral Biden. Blunder fatal dilakukan oleh Trump dan timnya–khususnya yang berkaitan dengan kebijakan Trump dalam penanganan wabah COVID-19 dan penyikapannya terhadap gelombang gerakan Black Lives Matter.
Yang dilakukan Trump adalah strategi reframing terhadap dua isu yang memojokkannya itu. Pertama, Trump memindahkan fokus gerakan protes Black Lives Matter yang berpokok pada tuntutan keadilan bagi Warga Amerika keturunan Afrika ke isu law and order–keamanan dan ketertiban sosial.
ADVERTISEMENT
Protes di berbagai penjuru kota Amerika Serikat dituduhnya didalangi oleh kaum kiri-anarkis tanpa dia merasa perlu memberikan bukti, serta keinginan untuk mendiskusikan isu ketidakadilan. Belakangan, alih-alih mendengarkan dan mengakomodasi tuntutan para demonstran, Trump mengirimkan pasukan keamanan federal tanpa plakat identitas ke kota-kota yang dipimpin oleh kepala daerah dari Partai Demokrat. Dalihnya, ia ingin menegakkan law and order.
Pasukan keamanan ini kemudian menangkapi para demonstran melampaui prosedur standar. Dan langkah itu justru mengisolasi banyak pemilih untuk memberi dukungan kepadanya. Langkah Tump dianggap mirip dengan taktik para diktator memperlakukan lawan politik secara diskriminatif, ketimbang mencerminkan langkah-langkah presidensial dalam tradisi politik Amerika Serikat.
Kedua, dia juga membikin blunder reframing dalam penanganan COVID-19. Sampai Juli, Trump terus-menerus mengatakan bahwa persebaran wabah terkontrol dan warga Amerika Serikat tidak perlu mencemaskannya. Seraya memberikan jaminan yang keliru, Trump terus mendorong dibukanya kembali kegiatan ekonomi di berbagai negara bagian. Terakhir, dia mendesak agar sekolah-sekolah membuka lagi kegiatan belajar rutinnya.
ADVERTISEMENT
Dengan langkah itu Trump ingin menjangkau kelompok pemilih sub-urban–khususnya ibu-ibu–yang terbebani dengan kerepotan mengurusi anak sekolah yang terpaksa tinggal di rumah gegara ditutupnya sekolah karena alasan penyebaran COVID-19. Data polling memang menunjukkan bahwa salah satu pintu kemenangan Trump terletak pada dukungan kelompok menengah sub-urban yang ikut mengantarkannya ke kemenangan di 2016.
Presiden AS Donald Trump. Foto: Carlos Barria/REUTERS
Namun strategi ini seperti pedang bermata dua. Perhitungan Trump tampak terbalik, sebab langkah itu justru mengasingkan sebagian pendukung lamanya yang memiliki concern tinggi terhadap kecerobohan Trump dalam menangani pandemi itu. Pada akhirnya, kecerobohan Trump ikut mendefinisikan membesarnya kans elektoral Joe Biden.
Pada front lainnya, Trump tidak kunjung berhasil mendefinisikan Biden sebagai sasaran serangan kampanyenya, justru karena Biden belum melakukan banyak kampanye. Sebagaimana direkam oleh National Public Radio (NPR) sampai dengan Bulan Juni, mobilisasi dana kampanye dan pembelanjaan Trump jauh melampaui Biden. Jika dua hal ini bisa dipakai sebagai indikator aktivitas kampanye, maka intensitas kampanye Trump hampir dua kali lipat dari kampanye Biden. Artinya, keunggulan elektoral sementara Biden sampai dengan Bulan Juni tidak sepenuhnya ditentukan oleh aktivitas kampanyenya sendiri. Keunggulan itu lebih banyak ditentukan oleh kesalahan-kesalahan kampanye Trump.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, itu separo dari cerita keunggulan Biden atas Trump. Separo cerita lainnya bisa dinisbahkan pada kerja Joe Biden dan tim kampanyenya.
Sejak memenangkan kandidasi dari Partai Demokrat, sebagaimana dilaporkan The Economist, Joe Biden bekerja cepat untuk menjangkau kelompok pendukung Barnie Sanders yang menjadi salah satu pesaing Biden dalam Konvensi Partai Demokrat. Menghindari keterpecahan kelompok-kelompok pendukung dari kubu Demokrat, Tim Biden merumuskan strategi kebijakan yang bisa merangkum tuntutan pendukung Barnie Sanders yang berada pada posisi lebih kiri.
Namun, cara pandang Biden terhadap mayoritas pemilih–khususnya pendukung dan simpatisan Demokrat–yang mungkin lebih menentukan. Dalam hitungannya, jumlah pemilih moderat Amerika Serikat masih banyak. Karena itu dia tidak bergerak semakin ekstrem ke kiri mengikuti perubahan peta elektorat Amerika Serikat yang makin terpolarisasi. Ia lebih memilih mengkonsolidasikan pemilih yang berada di tengah. Ketika diwawancara Politico pada awal Juni dia menyatakan, “Faktanya, mayoritas anggota dan simpatisan Partai Demokrat bersikap moderat dalam pengertian yang tradisional.”
ADVERTISEMENT
Maka yang dilakukan Biden adalah menyorongkan isu-isu standar yang diminati pemilihnya. Kebijakan kenaikan upah minimun regional serta perlindungan terhadap serikat buruh menjadi agenda tetap yang dijualnya kepada para pemilih. Sementara, untuk menjangkau pendukung rival lainnya dalam konvensi, Senator Elizabeth Warren, ia mengusulkan agenda reformasi Undang-Undang Kebangkrutan yang meringankan para jelata dari beban utang untuk mengatasi kesulitan ekonominya. Sedangkan agenda besarnya, ia juga merangkul kelompok menengah-berpendidikan dengan isu-isu lingkungan yang progresif dengan mendorong inovasi dan produksi mobil listrik di dekade mendatang.
Kampanye Biden tidak berisik. Namun dia terus untuk melakukan konsolidasi pendukung yang moderat dan yang progresif, yang bertolak belakang dengan gaya kampanye Trump yang penuh kontroversi. Meminjam ungkapan Majalah Digital Wired, “Kandidasi Biden kokoh, tapi kampanyenya tak sekokoh kandidasinya.”
ADVERTISEMENT
Ringkasnya, kelak peruntungan elektoral Biden memang sebagian ditentukan oleh kemampuan Trump mengubah blunder kampanye dengan melakukan reframing isu-isu strategis yang menyentuh emosi kelompok-kelompok pendukungnya–meskipun itu sering menyesatkan.