Pilpres Amerika: American Dream Versus American Nightmare?

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
Konten dari Pengguna
7 September 2020 8:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dodi Ambardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengapa banyak warga Amerika takut terhadap sosialisme?
Di musim kampanye, tak pelak, ketakutan atas sosialisme itu dieksploitasi oleh salah satu kandidat untuk meraih tujuan kembar elektoral. Pertama, anti-sosialisme dapat digunakan untuk menangguk dukungan politik pada diri-sendiri; dan kedua, sebaliknya, tuduhan sosialis dapat dimanfaatkan untuk menggerus dukungan suara terhadap lawan politiknya.
ADVERTISEMENT
Itulah satu lini tema kampanye yang ditonjolkan oleh Donald Trump, diulang dalam berbagai retorika kampanyenya, dan ditekankan lagi pada Konvensi Partai Republik lalu. Sasarannya, tentu saja lawan politiknya, pasangan Joe Biden-Kamala Harris. Di bawah Joe Biden, kata Trump, ekonomi Amerika akan berantakan, kebebasan individu terpasung, dan warga Amerika akan mengalami sebuah nightmare.
Joe Biden dan Kamala Harris. Foto: Carlos Barria/Reuters
Trump menekankan kata nightmare—mimpi malam yang buruk. Kata itu tampak sengaja dipilih untuk menyusun sebuah kontras: American Dream dan American Nightmare. Ini sebuah kontras yang handy. Trump menjanjikan revitalisasi American dream atau impian Amerika seraya menyulut rasa keterancaman pada warga Amerika bahwa Biden akan menyebarkan malapetaka di Amerika dengan sosialisme yang “dijajakannya” ke publik pemilih.
Narasi socialism is a nightmare yang digeber Trump bukanlah tanpa perhitungan. Data survei YouGov 2018, misalnya, memberikan sandaran kuantitatif kokoh: separuh dari pemilih terdaftar Amerika tidak menyukai atau sangat tidak menyukai sosialisme. YouGov merinci demografi temuannya. Semakin tua usia pemilih Amerika, semakin banyak proporsi mereka yang tak menyukainya. Proporsi ini tak jauh berbeda dengan temuan PEW Research Center dari survei 2019.
ADVERTISEMENT
Ketidaksukaan terhadap sosialisme itu bersumber dari cara pandang yang berakar dalam di sejarah sosial Amerika. Para migran Eropa yang mengaliri Amerika di abad 18 dan 19 melihat Eropa yang padat dan secara sosial kaku adalah masa silam sehingga perlu ditinggalkan. Sementara Amerika adalah tanah baru dan terbuka luas yang menjanjikan masa depan cerah. Keyakinan yang beredar di abad itu, siapapun yang datang ke Amerika dapat mengukir dan memperbaiki kesejahteraannya secara mandiri dengan cara bekerja keras. Harapan perbaikan nasib itulah yang diberi nama American dream oleh sejarawan James Adams di bukunya yang terbit tahun 1931 “Epic of America”. Impian itu merangkum dua nilai pokok yang telah merasuk dalam di benak dan hati warga Amerika sejak berdirinya negara Amerika Serikat: individualisme dan kerja keras.
ADVERTISEMENT
Nilai yang termuat dalam impian Amerika itulah yang membentuk sikap dan perilaku warga Amerika Serikat yang merayakan sistem pasar bebas seraya menolak campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi dan ekonomi mereka. Individu yang penting, bukan negara atau pemerintah. Pajak, bagi mereka, tak lain adalah penghalusan dan pelegalan perampokan harta pribadi. Sedangkan kemiskinan, menurut mereka, bersumber dari kemalasan. Impian Amerika dengan demikian adalah sebuah impian individual untuk meraih nasib baik, menjadi makmur dan kaya, bahkan menjadi orang yang super-kaya.
Frasa American dream ini terpelihara dalam imaji mayoritas warga Amerika dan selalu direvitalisasi oleh para presiden pada setiap masanya. Richard Nixon (1969-1974), misalnya, dikenang dengan ucapannya, “Impian Amerika tidak mengunjungi mereka yang malas”. Sementara, Ronald Reagan (1981-1989) mengatakan, “Impian Amerika bukanlah berarti sama-rasa-sama-rata, tapi setiap orang bebas sesuai kehendak Tuhan untuk menjadi apapun yang dia inginkan.” Lebih belakangan, Bill Clinton (1993-2001) juga menyitir frasa impian Amerika, “Jika kita mampu menurunkan biaya pendidikan tinggi, maka impian Amerika akan lebih mudah diraih.”
ADVERTISEMENT
Kita melihat aksentuasi yang berbeda dari tiga presiden tersebut. Dua presiden dari Partai Republik menekankan nilai individualisme dan nilai kerja keras, sedangkan presiden dari Partai Demokrat menambahkan elemen struktural, yakni perluasan kesempatan yang disediakan Pemerintah Amerika bagi warga Amerika untuk mendapatkan pengalaman pendidikan tinggi. Itu dilakukan melalui kebijakan pemerintah untuk memastikan keterjangkauan biaya pendidikan tinggi. Dengan kebijakan itu, impian Amerika akan diraih semakin banyak warga.
Jika kita telisik lebih dalam, tafsiran impian Amerika itu memang mengalami perkembangan dan mengikuti perjalanan sejarah sosial-politik Amerika. Gagasan kesetaraan ekonomi dan kesejahteraan kolektif juga memiliki akar dan alur sejarahnya sendiri di sana.
Barnie Sanders, politikus Partai Demokrat yang tumbuh populer di kalangan pemilih muda dan menjadi pesaing Joe Biden dalam pemilu primer di Partai Demokrat Februari-Agustus lalu, tidaklah mencomot dari langit ketika menawarkan gagasan demokrasi sosial. Dia mengikuti rute yang ditakik pendahulunya. Franklin Roosevelt mengajukan The Economic Bill of Rights di tahun 1930an, yakni undang-undang yang memberikan jaminan pekerjaan dan keamanan ekonomi bagi seluruh warga Amerika. Sanders juga menjejaki rute yang diambil Bill Clinton di dekade 1990an yang memperluas kesempatan—dan dengan demikian juga perluasan kesetaraan—bagi seluruh warga Amerika untuk mendapatkan peluang pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Barnie Sanders (dan Elizabeth Warren) pendeknya mencoba meluaskan lagi batas-batas debat publik tentang kesamaan dan kesetaraan itu dengan proposal baru yang mereka sebut wealth tax atau pajak untuk orang super-kaya. Bagi keduanya, ketimpangan di Amerika sudah sedemikian parah sehingga untuk mengatasinya perlu sebuah terobosan kebijakan yang mampu meresditribusikan kesejahteraan ekonomi secara radikal. Impian Amerika adalah untuk semua warga, bukan hanya terbatas pada kelompok tertentu saja.
Pendeknya, jika kita membuka sejarah dan wacana yang berkembang yang berkembang tentang impian Amerika, maka makna yang dilekatkan pada frasa impian Amerika tersebut sesungguhnya memiliki variasi—dan dipersengketakan.
Meminjam ungkapan yang populer di cultural studies, impian Amerika sesungguhnya adalah a contested concept—sebuah konsep yang diperebutkan maknanya oleh kelompok yang berbeda. Gagasan Barnie Sanders mungkin akan tetap berada di pinggiran Amerika dan sangat mudah tenggelam jika itu dilontarkan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Tapi kini, meminjam ungkapan John Foster, editor Monthly Review yang menulis sebuah op-ed di The Washington Post, “Sanders has brought the idea of socialism … from the margins into the center of U.S. political culture.” Intinya, Barnie Sanders menera-ulang gagasan sosialisme yang sudah lama bercokol dalam sejarah wacana Amerika dan membawanya ke tengah arena debat publik. Foster, dengan sedikit meledek kaum konservatif republikan, juga mengingatkan bahwa di antara penulis yang digemari oleh Abraham Lincoln, Presiden Partai Republik yang cemerlang, salah satunya adalah Karl Marx.
Ilustrasi warga Amerika Serikat memilih. Foto: REUTERS / Daniel Acker
Di level warga, makna sosialisme di Amerika lebih bervariasi lagi sebagaimana terekam dalam survei Gallup 2018. Sebagian warga memahami sosialisme sebagai kontrol atau pemilikan industri pokok di tangan pemerintah. Sebagian yang lain memahaminya sebagai kesetaraan ekonomi dan sosial. Sebagian lainnya lagi, sosialisme adalah pelayanan sosial dan jaminan kesehatan gratis bagi semua warga negara. Dan masih ada beberapa definisi lain.
ADVERTISEMENT
Intinya, gagasan dan perdebatan tentang kebijakan turunannya telah berkembang sedemikian kompleks di Amerika sendiri. Dan kompleksitas gagasan dan kebijakan itu masih ditambah lagi dengan tingkat penerimaan gagasan dan pecahan kebijakan yang bervariasi di antara berbagai kelompok usia pemilih. Pemilih lebih muda, misalnya, lebih reseptif terhadap gagasan sosialisme—setidaknya beberapa elemen sosialisme.
Kompleksitas penerimaan dan pilihan warga Amerika itu dirumuskan dengan jitu dalam judul analisis John Harwood di situs CNN.com: Americans love social security but fear ‘socialism’”—Warga Amerika menyukai jaminan sosial namun takut terhadap sosialisme.
Kompleksitas gagasan itu meningkat ketika beberapa elemen sosialisme yang ditawarkan di Amerika diperbandingkan dengan praktik negara lain. Dalam perbandingan, banyak tokoh politik Partai Demokrat maupun Partai Republik yang secara keliru menyitir Denmark, Swedia, dan Norwegia sebagai negara-negara sosialis.
ADVERTISEMENT
Sitiran itu dikoreksi secara langsung di media oleh Ida Auken, anggota parlemen Denmark, bahwa Denmark—sebagaimana negara Skandinavia lainnya adalah sebuah ekonomi pasar—bukan sosialisme. Sama-sama berbasis pasar, kapitalisme Amerika berbeda dengan kapitalisme kesejahteraan ala negara Skandinavia atau kapitalisme sosial ala Jerman.
Praktik kapitalisme di negara-negara Eropa itu sesungguhnya hanya mengambil beberapa elemen sosialisme, namun bangunan dasar sistem ekonominya tetaplah ekonomi pasar. Cara itu diambil untuk melunakkan kebuasan kapitalisme dan menampilkannya dalam wajah yang lebih manusiawi. Ini perdebatan yang beresonansi juga di lingkaran akademik Amerika. Gagasan sosialisme, ringkasnya, jauh lebih kompleks dibanding penggunaan yang sembrono di tangan para politisi.
Tapi sekarang Amerika sedang berada dalam musim kampanye. Ini adalah masa ketika kecanggihan gagasan, kompleksitas isu, dan kerumitan kombinasi kebijakan mengalami reduksi yang luar biasa. Maka Trump pun melakukan penyederhanaan ekstrem bahwa seolah pemilih Amerika hanya memiliki dua pilihan: American dream dan socialist nightmare. Dia mengabaikan sejarah sosial Amerika sendiri, membuang nuansa makna sosialisme, dan tidak memedulikan adanya opsi kombinasi serta moderasi kebijakan yang diminati publik Amerika.
ADVERTISEMENT
Trump juga melakukan miskarakterisasi rangkap. Selain menuduh Biden sebagai boneka sosialis tanpa pernah memberikan spesifikasi siapa dalangnya, dia juga menautkan Biden sebagai sosialis tanpa memedulikan rincian elemennya.
Pemilu presiden Amerika November nanti, saya kira, adalah hasil campuran dari semuanya: demagogi Trump, misinformasi, disinformasi, dan rasionalitas pemilih.
Donald Trump. Foto: Jonathan Ernst/REUTERS