Konten dari Pengguna

Trik Terakhir Trump

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
7 November 2020 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dodi Ambardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Joe Biden. Kredit foto: Kevin Lamarque/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Joe Biden. Kredit foto: Kevin Lamarque/REUTERS
ADVERTISEMENT
Angin politik sedang memberi harapan Joe Biden untuk memenangi Pemilu Presiden 2020 ini. Zona larangan terbang di radius rumah Biden di Wilmington, Delaware, juga telah ditetapkan. Itu adalah antisipasi tata keamanan untuk seorang president-elect—pemenang pemilu presiden tetapi belum resmi dilantik.
ADVERTISEMENT
Sementara, Trump sebagai inkumben sedang bersiap untuk menyengketakan hasil pemilu dan berencana melakukan upaya hukum agar meraih jabatan presiden yang kedua.
Sejauh mana Donald Trump memiliki peluang keberhasilan dalam memenangi pertempuran di pengadilan kelak jika memang terjadi?
Memang, ada dua rute untuk menjadi presiden di Amerika Serikat: Rute umum melalui pemilu dan rute hukum melalui The Supreme Court atau Mahkamah Agung. Dan sepanjang sejarah politik Amerika, rute hukum itu hanya tertempuh dua kali. Peristiwa pertama terjadi tahun 1876 ketika lima hakim agung membikin keputusan memenangkan Rutherford Hayes atas rivalnya Samuel Tilden.
Peristiwa kedua terjadi di tahun 2000, ketika Mahkamah Agung secara tidak langsung memenangkan George W. Bush atas Al Gore dengan pembatalan keputusan Pengadilan Tinggi Florida yang memerintahkan penghitungan ulang. Dengan keputusan mahkamah itu, Bush unggul di Florida sebanyak 578 suara populer dan menyapu semua electoral college di sana.
ADVERTISEMENT
Kini, Trump telah memberikan indikasi bahwa dia akan memperkarakan hasil pemilu.
Indikasi paling gamblang berasal dari Trump sendiri. Pada akhir Oktober dia menyatakan akan membawa persengketaan pemilu ke pengadilan. Indikasi lainnya, dia memerintahkan para penasihatnya mendatangi berbagai swing states untuk memperkarakan berbagai pelanggaran pemilu. Menambah bobot strategi hukumnya, Trump menyiapkan banyak lawyers untuk menjalankan misi kemenangan. Dan tak lupa, dia meminta anak-anaknya untuk memobilisasi dukungan para senator Partai Republik untuk menyokong upaya hukum Trump.
Donald Trump. Kredit foto: Carlos Barria/REUTERS
Semua strategi itu diarahkan untuk mengangkat perkara tuduhan pelanggaran pemilu di pengadilan tingkat negara bagian dan pengadilan tingkat federal di Mahkamah Agung. Untuk sementara, strategi itu lebih terlihat bobot politiknya ketimbang bobot hukumnya.
Celah harapan yang dilihat Trump sebagian bertumpu pada sebuah narasi konspirasi politik. Konspirasi itu bukan dibangun rivalnya, Joe Biden, tetapi justru Trump sendirilah yang membangun narasi konspiratif itu. Trump meyakini bahwa Mahkamah Agung akan berada di pihaknya jika persengketaan itu sampai ke meja mahkamah.
ADVERTISEMENT
Keyakinan Trump berbasis komposisi hakim agung yang menguntungkannya. Dari sembilan hakim agung, enam di antaranya memiliki pandangan konservatif—tiga sisanya liberal. Enam hakim konservatif itulah yang dihitung Trump akan memberinya kemenangan.
Ditambah lagi, Trump tampak yakin bahwa Hakim Agung terakhir, Amy Barrett, yang dinominasikannya akan merasa berutang budi kepada Trump. Di saat yang sama, Barrett tidak secara kategoris menyatakan bahwa dia akan melakukan recuse atau me-non-aktifkan diri jika sengketa pemilu presiden itu sampai di Mahkamah Agung. Jadilah, narasi politik tersebut menjadi masuk akal dan memberikan harapan pada Trump.
Problemnya, untuk sampai ke meja Mahkamah Agung, prosesnya tidaklah gampang. Kalau pun sampai, peluang kemenangan Trump di gelanggang mahkamah juga tidak bersifat otomatis. Mari kita lihat kemungkinannya.
ADVERTISEMENT
Pertama, Trump sebagai presiden tidak bisa secara tiba-tiba membawa gepok perkaranya ke Mahkamah Agung—apalagi memerintahkan para hakim agung untuk membelanya.
Trump harus membawa perkaranya ke pengadilan level negara bagian terlebih dahulu. Sebab, begitulah cara kerja sistem hukumnya. Meskipun pemilu presiden itu adalah perhelatan federal di bawah yurisdiksi Mahkamah Agung, penyelenggaraan dan administrasi pemilu berada di level negara bagian.
Di level pengadilan tersebut, daftar tuduhan kecurangan yang diajukan Trump banyak yang terlihat lemah. Salah satu tuduhan, misalnya, menyatakan bahwa kertas suara yang diterima penyelenggara pemilu setelah hari pencoblosan tidaklah sah. Tuduhan ini tak sepenuhnya benar. Banyak negara bagian menetapkan aturan keabsahan kertas suara berdasar tanggal pengiriman pos, dan bukan kapan sampainya.
ADVERTISEMENT
Perkara lain yang diajukan berkaitan dengan tuduhan bahwa Partai Demokrat mencuri kemenangan pemilu. Tuduhan ini dialamatkan ke Partai Demokrat di Negara Bagian Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania.
Pencurian pemilu adalah istilah yang kabur, sebenarnya. Sebab, tidak seperti pencurian atau perampokan bank yang jelas bendanya berupa uang, tapi tuduhan itu merujuk pada rekayasa kecurangan yang dilakukan Partai Demokrat dalam memenangi pemilu presiden. Tapi, sementara, Trump tidak bisa menunjukkan kejernihan definisi tuduhan dan tak jelas pula pembuktiannya.
Masih banyak daftar tuduhan yang akan dijadikan basis gugatan oleh Trump. Tuduhan itu merentang dari soal kertas suara palsu, problem integritas para penyelenggara pemilu, verifikasi identitas pemilih, sampai dengan tuduhan remeh tentang jarak fisik antara saksi dan petugas penghitung kertas suara yang kurang dari tiga meter.
ADVERTISEMENT
Tanpa bukti sistematik dan meyakinkan, peluang keberhasilan upaya hukum Trump menjadi sangat kecil. Karenanya kita di sini perlu membuat asumsi bahwa Trump berhasil memenangi perkara di pengadilan negara bagian. Kalau ini terjadi, maka berdasar appellate jurisdiction, Mahkamah Agung berwenang untuk menyidangkan gugatan Trump.
Di meja Mahkamah Agung, peluang keberhasilan Trump pun akan tergantung pada tingkat kelayakan perkara. Dan kelayakan itu bersandar pada dua kriteria. Pertama, bahwa hasil keputusan sidang di level Mahkamah memang bersifat konsekuensial. Yakni bisa mengubah pemenang pemilu. Dan kemungkinan itu bisa terjadi hanya jika kriteria kedua dipenuhi, yakni selisih suara Trump-Biden harus lebih kecil dari jumlah suara yang dipersengkatan oleh Trump dan tim hukumnya. Di sini kita berbicara selisih suara electoral college—dan bukan popular votes atau suara warga pemilih. Tanpa pemenuhan syarat itu, besar kemungkinan perkara gugatan Trump tidak akan pernah disidangkan. Sebab, jika tetap disidangkan, keputusan mahkamah akan sia-sia belaka karena tidak mengubah hasil pemilu.
ADVERTISEMENT
Di titik ini, sebuah pengandaian lain kita perlukan lagi: Perkara yang diajukan Trump memenuhi standar kelayakan perkara. Ada dua isu yang perlu kita lihat. Yang pertama adalah urusan bukti; dan yang kedua adalah urusan independensi Mahkamah Agung. Kita harus menunda penimbangan bukti karena perkaranya belum masuk. Karena itu, isu independensi lembaga dan hakim agunglah yang perlu dilihat. Bisakah para hakim agung itu menjaga independensi dalam memutus perkara sengketa itu?
Konspirasi ala Trump itu akan memasuki situasi riil yang akan dihadapi para hakim agung. Jelas, isu independensi lembaga dan personal akan menjadi pertaruhan mereka. Kontroversi Trump menominasikan Amy Barrett yang konservatif untuk mengisi kursi kosong mahkamah tentu menambah tekanan terhadap Mahkamah Agung dalam menjaga citra independensinya. Citra itu membaik jika Amy Barrett melakukan recuse atau memilih non-aktif jika perkara Trump disidangkan guna menghindari konflik kepentingan. Sejauh ini Barrett justru belum memberi kejelasan, dan dia menghindar dari pertanyaan yang menempatkannya dalam situasi hipotetik itu.
ADVERTISEMENT
Isu independensi itu akan menjadi sorotan luas media yang telah melihat pola konspirasi politik Trump. Jika memang bias ke Trump itu muncul, pastilah Mahkamah Agung harus pula menimbang bukti kecurangan pemilu yang nanti disodorkan Trump dan tim hukumnya. Tanpa itu, para hakim agung hanya akan menjadi bahan cemoohan media dan publik. Situasi ini justru kelak akan memberi beban tambahan pembuktian bagi Trump dan tim hukumnya, yang pada gilirannya justru akan mempersempit peluang keberhasilannya.
Menimbang situasi dan pengandaian yang muncul dalam rute hukum yang akan ditempuh Trump, kita bisa melihat beberapa kemungkinan yang kelak akan terjadi.
Pertama, gugatan itu berhenti di pengadilan negara bagian karena bobot dan bukti hukum yang dibawa Trump lemah—sebagaimana ditengarai media selama ini. Trump lebih banyak mengeluarkan tuduhan tanpa topangan bukti, dan melemparkan klaim kecurangan tanpa fakta dan data.
ADVERTISEMENT
Kedua, jika Trump mampu mendemonstrasikan kasus kecurangan dengan data yang mencukupi, perkara itu akan menjangkau meja Mahkamah Agung. Di sini dua kemungkinan berikutnya menjadi terbuka: Perkara Trump masuk catatan administrasi tapi tidak disidangkan atau disidangkan dan pertempuran hukum benar-benar terjadi. Trump bisa menang tetapi sekaligus bisa pula kalah. Sejauh data yang tersedia, peluang keberhasilan trump di jalur hukum terlihat sangat kecil. Pertempuran di wilayah hukum yang dilakukan Trump bisa diibaratkan pendakian ke puncak gunung. Makin tinggi levelnya, makin susah mendakinya.
Namun sebuah catatan penting perlu diberikan di sini. Donald Trump mungkin akan memainkan sebuah wild card atau kartu liar. Wild card itu bernama William Barr, sang Jaksa Agung, yang selama ini berperilaku mirip anak buah Trump—bukan perilaku seorang Jaksa Agung yang independen. William Barr bisa melakukan campur tangan terhadap proses perkara persengketaan pemilu jika dia menemukan celah adanya kecurangan pemilu di negara bagian yang selisih dukungan Trump dan Biden sangat tipis.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa wawancara, Barr tidak menutup kemungkinan melakukan campur tangan. Jika ini kelak terjadi, maka Trump seperti mengendarai helikopter yang dipiloti William Barr untuk mencapai puncak gunung. Wild card itu bisa memberi Trump jabatan kepresidenan yang kedua.