Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Begini rasanya inflasi jutaan persen
19 Juli 2018 20:35 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Dody Harendro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bau kulkas kosong menjadi aroma utama setiap kali masuk berbelanja ke sejenis mini market. Berkendara terasa seperti dalam film zombie, jalan panjang sepi dan terkadang terdapat bangkai mobil sisa terbakar di pinggirnya. Dompet tidak akan terpakai, alih-alih backpack yang akan terisi penuh dengan cheque bearer, dolar Zimbabwe.
Zimbabwe mengalami puncak hiper-inflasinya pada 2008-2009. Harga barang dan jasa terus membumbung tinggi, bukan hanya dalam hitungan bulan normalnya tingkat inflasi diukur, tetapi dalam hitungan hari, bahkan jam.
ADVERTISEMENT
Asumsikan membeli bubur ayam hari ini seharga 15.000 rupiah, lalu karena akrab dengan penjual maka dapat dibayar kemudian hari. Keesokan harinya beli bubur ayam yang sama, dan dengan utang kemarin, seharusnya 30.000 sudah cukup untuk dua mangkok bubur. Namun ternyata, bubur hari ini sudah naik seharga 25.000. Ini artinya harga kemarin ditambahkan dengan harga hari ini semestinya 40.000 cukup. Tetapi ternyata juga tidak! Sang penjual akan berdalih bahwa pun jika kita membayar 50.000, belum tentu dia bisa membeli bahan-bahannya dengan harga yang sama untuk berjualan besok.
Menawar adalah sesuatu yang wajar pada pasar dengan sistem non-fixed price di seluruh dunia. Namun pada saat itu di Zimbabwe, menawar produk elektronik adalah sesuatu yang kontra produktif. Semakin lama calon pembeli menimbang-nimbang spesifikasinya, apalagi bernegosiasi dengan maksud menurunkan harga, maka semua akan percuma begitu penjual menggunakan telponnya untuk menghubungi 'konsultan keuangannya'. Keringat dingin justru akan keluar mendengarkan percakapan sang penjual, karena nilai tukar Zim dolar baru saja kembali melemah yang berarti harga barang elektronik itu pun sudah melambung tinggi.
ADVERTISEMENT
Saat itu para pengamat ekonomi menyatakan inflasi mencapai sepuluh ribu persen per bulan. Bahkan The Guardian sempat memberitakan pada 2009 total inflasi mencapai 79,6 milliar persen. Pecahan tertinggi mata uang mereka mencapai seratus trilyun, dimana kalkulator dan mesin kasir sudah tidak lagi membantu. Uniknya, proses pembayaran justru memunculkan kualitas karakter warga Zimbabwe, yaitu kejujuran, karena hitungannya hanya menggunakan ketebalan atau ketinggian tumpukan lembaran uang.
Pada triwulan akhir 2007 , nilai tukar yang ditetapkan pemerintah Zimbabwe adalah 30.000 Zim dolar per dolar AS. Di saat yang sama, harga satu plastik roti tawar adalah satu juta Zim dollar, yang berarti bahwa kita butuh hampir 34 dolar AS, seharga dengan wagyu steak di retoran mewah Jakarta. Namun, pasar penukaran uang tidak ditemukan di kios money changer, sehingga dengan absurditas nilai tukar resmi dan ketiadaan mekanisme penukaran sahnya, maka black market menjadi satu-satunya opsi. Nilai tukar pasar gelap saat itu adalah satu juta Zim dolar untuk satu dolar AS. Memasuki bulan pertama 2018, satu dolar AS sudah bernilai dua juta dolar Zimbabwe.
ADVERTISEMENT
Selain terus menerbitkan pecahan uang baru dengan nilai semakin tinggi, pemerintah juga tidak jarang melakukan pemotongan harga barang sepihak. Kepercayaan pebisnis dan investor pun lenyap tak berbekas ketika pemerintah kerap memberlakukan nilai tukar resmi untuk membeli barang dan jasa kebutuhan untuk negara. Perusahaan milik negara seperti komunikasi, air dan listrik pun merugi luar biasa karena menerapkan nilai tukar resmi dalam tagihannya. Sehingga bagi pemegang mata uang asing, kebutuhan dasar sangatlah murah. Bahkan menghubungi rekan-rekan di seluruh dunia sesering mungkin pun menjadi bukan masalah.
Tapi bayangkanlah derita penduduk setempat.
Mereka harus menunggu dan mengantri panjang ketika operasi pasar untuk roti dan susu murah. Bertahan dengan pemadaman listrik berkelanjutan, kelangkaan bahan bakar minyak, ketiadaan uang tunai dan di luar itu semua, pandemi HIV/AIDS. Rhodesia, apartheid, Zimbabwe, Mugabe, inflasi, hingga saat ini deflasi, negara landlock ini terus berusaha untuk keluar dari kesulitan yang mendera. Penderitaan yang seharusnya dapat dijadikan pelajaran bagi bangsa yang sedang menikmati kejayaan, termasuk Indonesia. Seperti, termaktub dalam Surat Ibrahim ayat 7: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu."
ADVERTISEMENT