Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Membangun dari pinggiran, menegakkan dari luar, (jangan) dirusak dari dalam!
19 Agustus 2018 16:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Dody Harendro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ia kagum melihat anak sekolah selalu riang dan bersemangat dengan sepatu dijinjing untuk menyebrang menggunakan perahu.
ADVERTISEMENT
Ia malu hati mencermati masyarakat desa yang tidak pernah mengeluh dalam keterbatasan, tidak ada sinyal internet, akses jalanan rusak, dan listrik secukupnya.
Ia bangga mengetahui bahwa nenek-nenek masih bergelut menjahit tenun untuk dijual di pasar agar ciri khas NTT khususnya Alor tetap lestari.
Ia terpana memperhatikan para ibu yang menjual dagangan antar pulau melalui gelombang besar.
Ia terkesima dengan masyarakat pelosok desa yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam percakapan sehari-hari.
Ia adalah sahabatku, lulusan pesantren Gontor dan Al-Azhar Kairo, Mesir, yang bercita-cita sama, memajukan bangsa dengan mengabdi pada negara. Setiap orang ingin ikut berkontribusi bagi negeri tercinta, lewat jalan dan caranya masing masing, Ia memilih melalui jalan sebagai penegak hukum di Mahkamah Agung. Imdad Azizi namanya, ingin menjadi seorang hakim dan siap memulai dari pinggiran tanah air, Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
Dalam pengabdiannya, tidak jarang Imdad menggunakan kapal atau ojek perahu air untuk berpindah antar pulau karena harganya yang jauh lebih murah dibanding pesawat.
Dengan cara ini, Ia menjadi lebih paham adat istiadat, budaya dan kebiasaan serta nilai-nilai luhur tradisi setempat. Ia pun semakin memahami hidup ditengah keterbatasan. Sebagai bonusnya, pemandangan alam yang luar biasa indah, dengan pantainya yang jernih, lautnya yang biru, dan pegunungan dipenuhi pohon yang asri menghilangkan semua kepenatan belajar dan bekerja.
Imdad yang biasa menghadapi bangsa Arab yg kasar, takjub mengetahui bahwa penduduk NTT sangat ramah dan saling peduli. Pengalaman ini mematahkan perspektifnya bahwa orang Timur itu keras dan pemalas. Kekhawatiran untuk mengabdi pada daerah terpencil juga seketika hilang ketika menyaksikan sejumlah guru, dokter, tentara dan polisi yang memiliki jalan hidup serupa dengannya ternyata bekerja jauh lebih keras dan berkorban jauh lebih banyak.
Jika Imdad di NTT, almarhum kakak sepupu saya, dr. Wendyansah, di Papua dan ribuan abdi negara lainnya menjadi bagian dari upaya membangun Indonesia dari pinggiran, maka diplomat membantu menegakkannya di dunia internasional.
ADVERTISEMENT
Kegiatan community service para diplomat madya ke Kota Perbatasan Belu, 14-18 Agustus 2018 menjadi upaya harmonisasi program pembangunan. Memahami budaya bangsa dan kondisi sebenarnya dari saudara setanah air menjadi modal penting sebelum bergulat dalam komunitas internasional. Namun, berbagai tantangan termasuk politik identitas yang menyulut pertikaian, menjadi musuh dalam selimut.
Salah satu tugas diplomat adalah menciptakan citra positif untuk Indonesia. Update pengetahuan, menjaga tingkah laku, membina komunikasi dan aktif bersosialisasi, serta adaptasi tanpa henti di luar negeri menjadi wujud bakti untuk bangsa.
Bentuk-bentuk diplomasi lainnya seperti Pasukan Garuda yang tergabung dalam Misi Perdamaian PBB, atlit-atlit, mahasiswa dan artis berprestasi, maupun ekspansi bisnis para pengusaha nasional berkontribusi positif terhadap cita-cita kemajuan bangsa.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, penduduk ibukota dan kota-kota besar lainnya lebih suka melakukan berbagai akrobat tidak terpuji yang semakin digaungkan melalui media massa dan media sosial.
Produksi berita bohong, saling hujat, tidak tertib di jalan, membuang sampah dan parkir sembarangan, merusak fasilitas umum, tidak mengenal tetangga, berkurangnya toleransi, erosi sopan santun dan epidemi penyakit merasa paling benar, menegasikan upaya pembangunan dari pinggiran dan penegakkan dari luar.
Kalau bukan kita lalu siapa lagi? Jangan kalah dengan Joni yang tanpa rasa takut menaklukan tiang bendera 10 meter demi berkibarnya Sang Merah Putih. Semoga semakin banyak generasi muda seperti Imdad dan Joni yang menyadari arti sebuah perjuangan, arti bagaimana bersyukur dengan keadaan, arti pengabdian dan arti mencintai alam sebaik mungkin. Jika tidak, maka hanya para turis mancanegara yang bisa mengatakan bahwa "Life is good in Indonesia".
ADVERTISEMENT