Konten dari Pengguna

Pemilu Serentak dan Presidensialisme (1): antara Ekspektasi dan Realitas

Dody Wijaya
Petugas Pemilu KPU Provinsi DKI Jakarta, Scholar Ilmu Politik Peminat Studi Kepemiluan.
30 September 2025 10:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Pemilu Serentak dan Presidensialisme (1): antara Ekspektasi dan Realitas
Sistem pemilu harus kompatibel dengan sistem pemerintahan dan sistem kepartaian
Dody Wijaya
Tulisan dari Dody Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Simulasi Surat Suara Pemilu. Foto: Budi Candra Setya/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Simulasi Surat Suara Pemilu. Foto: Budi Candra Setya/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Tulisan ini adalah bagian pertama dari serial refleksi kepemiluan yang akan saya hadirkan secara berkala di media ini. Serial ini saya maksudkan sebagai catatan pengalaman sekaligus kajian akademik, hasil dari keterlibatan saya sebagai penyelenggara pemilu di Jakarta Selatan pada 2019 dan di DKI Jakarta pada 2024, serta dari riset dan kajian yang pernah saya lakukan terkait penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Serial ini akan dibagi ke dalam empat rumpun besar: #Fondasi Pemilu, #Sistem Pemilu, #Aktor Pemilu, dan #Penegakan Hukum Pemilu. Artikel pertama ini masuk dalam rumpun Fondasi Pemilu, dengan fokus pada kompatibilitas sistem pemerintahan presidensial dengan desain pemilu serentak yang sudah dua kali kita jalani.

Ekspektasi Besar dari Pemilu Serentak

Sistem pemerintahan presidensial di era reformasi dipraktikkan beriringan dengan sistem kepartaian multipartai. Problemnya, sistem presidensial kerap dinilai tidak kompatibel jika digabungkan dengan multipartai. Scott Mainwaring (1993) dalam Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination mengingatkan ada tiga problem utama: kelumpuhan akibat eksekutif dan legislatif buntu, potensi lahirnya ideologi yang saling bertentangan, dan kesulitan membangun koalisi antarpartai yang merusak stabilitas pemerintahan.
Problem itu nyata dalam praktik Indonesia, terutama pemilu presiden langsung 2004–2014 yang digelar terpisah dari pemilu legislatif. Pemilu terpisah cenderung melahirkan parlemen tanpa mayoritas jelas, sehingga presiden terpilih sulit mengonsolidasikan dukungan politik. Karena itu, salah satu tujuan utama pemilu serentak dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 dan UU No. 7 Tahun 2017 adalah memperkuat presidensialisme.
ADVERTISEMENT
Harapannya, pilpres dan pileg yang digelar bersamaan akan menyederhanakan jumlah partai di parlemen, sekaligus menciptakan coattail effect—yakni efek ekor jas dari presiden terpilih yang ikut mendongkrak suara partai pengusung. Studi Mark Payne Jones (1994) bahkan menyebut waktu penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif adalah faktor kunci untuk menciptakan dukungan legislatif mayoritas bagi presiden.
Dengan kerangka itu, pemilu serentak 2019 dan 2024 semestinya menjadi momentum emas bagi penguatan presidensialisme Indonesia. Namun, bagaimana realitasnya?
Saya pernah menulis dalam jurnal "Pengaruh Pemilu Serentak terhadap Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia" dan buku "Ironi Pemilu Serentak" sebagian besar ekspektasi ini tidak terbukti di lapangan.
Pemilu 2019 adalah uji coba pertama keserentakan lima kotak. Secara formal, keserentakan berjalan. Presiden dan wakil presiden terpilih dengan legitimasi kuat—Jokowi-Ma’ruf memperoleh 55,5% suara. Tingkat partisipasi pemilih mencapai 81%, salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah pemilu pascareformasi. Dari sisi partisipasi, tesis keserentakan terbukti: ketika pilpres dan pileg disatukan, publik lebih bersemangat datang ke TPS.
ADVERTISEMENT
Tetapi dua tesis lainnya justru gagal. Pertama, coattail effect tidak terjadi. Jokowi yang menang telak tidak otomatis membawa PDIP sebagai partai pengusung utama ikut dominan di parlemen. PDIP memang menjadi pemenang, tetapi hanya dengan 19,3% suara DPR, jauh dari mayoritas. Koalisi partai pengusung Jokowi justru saling bersaing, dan hasil pileg tetap terfragmentasi. Kedua, penyederhanaan sistem kepartaian di parlemen tidak terjadi. Justru, ada sembilan partai yang lolos ke Senayan, jumlah yang sama dengan 2014. Fragmentasi tetap tinggi, dan parlemen tetap ramai oleh partai dengan kekuatan sedang.
Lima tahun kemudian, Pemilu 2024 menghadirkan pola serupa. Prabowo–Gibran menang dengan 58% suara, sebuah kemenangan meyakinkan yang memberi legitimasi politik sangat besar. Partisipasi pemilih bahkan lebih tinggi daripada 2019, yakni mencapai 82% menurut data resmi KPU. Angka ini menunjukkan bahwa satu-satunya tesis yang konsisten terbukti dari keserentakan adalah tingginya partisipasi pemilih.
ADVERTISEMENT
Namun, coattail effect kembali absen. Gerindra sebagai partai pengusung utama Prabowo hanya naik tipis menjadi 13,2% suara DPR, jauh dari mayoritas. Justru PDIP yang bukan pengusung utama tetap bertahan sebagai partai terbesar dengan 16,7% suara DPR. Fragmentasi pun masih terjadi, dengan delapan partai tetap bercokol di Senayan. Dengan kata lain, pemilu serentak lagi-lagi gagal menyederhanakan jumlah partai dan gagal menciptakan keselarasan antara hasil pilpres dengan hasil pileg.
Ironinya, yang justru menguat adalah fenomena koalisi besar. Hampir semua partai merapat ke pemenang pilpres. Oposisi kembali tipis, bahkan nyaris simbolis. Presidensialisme kita memang tampak stabil, tetapi itu karena kekuatan parlemen merapat ke presiden, bukan karena desain pemilu serentak berhasil menciptakan keselarasan institusional.
ADVERTISEMENT

Bukti Empiris: Partisipasi vs Fragmentasi dan Absennya Coattail Effect

Data resmi memperlihatkan dengan jelas bahwa partisipasi pemilih memang tinggi di dua pemilu serentak, sementara jumlah partai di DPR tetap gemuk.
Grafik 1. Partisipasi pemilih konsisten tinggi (81% pada 2019 dan 82% pada 2024), sementara jumlah partai di DPR tetap gemuk (9 pada 2019 dan 8 pada 2024).
Dengan kata lain, partisipasi adalah satu-satunya tesis yang terbukti.
Jika kita lihat lebih detail, data perolehan suara partai utama juga membantah tesis coattail effect.
Grafik 2. Suara PDIP hanya naik tipis dari 18,95% (2014) ke 19,3% (2019) meskipun Jokowi menang telak, sedangkan Gerindra hanya naik dari 12,6% (2019) ke 13,2% (2024) meskipun Prabowo menang besar.
Artinya, suara besar presiden tidak otomatis mengalir ke partai pengusung utama.

Putusan MK 135/2024 Bukan Panasea

Pengalaman 2019 dan 2024 akhirnya memuncak dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024, yang memutuskan pemilu serentak nasional (pilpres, DPR, DPD, DPRD) dipisahkan dari pemilu serentak daerah (pilkada). Putusan ini adalah bentuk pengakuan bahwa keserentakan total menimbulkan problem: beban teknis yang berlebihan, kompleksitas pengelolaan, dan—seperti terbukti—tidak mampu menghasilkan efek yang dijanjikan bagi penguatan presidensialisme.
ADVERTISEMENT
Putusan MK 135 memberi kita momentum untuk menata ulang. Pemilu nasional akan fokus pada isu eksekutif dan legislatif tingkat pusat, sementara pilkada punya panggung sendiri untuk isu lokal. Secara teoritis, pemisahan ini memberi ruang bagi pemilih untuk membuat pilihan lebih jernih dan bagi penyelenggara untuk bekerja lebih efektif.
Dua kali pemilu serentak telah memberi pelajaran yang tegas. Satu-satunya tesis yang benar-benar terbukti hanyalah tingginya partisipasi pemilih. Dua tesis besar lainnya—penyederhanaan partai di parlemen dan coattail effect bagi presiden dan partai pengusungnya—tidak pernah terwujud. Presiden memang lahir dengan legitimasi kuat, tetapi parlemen tetap terfragmentasi, dan koalisi besar hanya menciptakan stabilitas semu.
Putusan MK 135/2024 adalah koreksi penting, tetapi ia bukan panasea untuk seluruh problematika pemilu di Indonesia. Ke depan, perbaikan desain sistem pemilu tetap diperlukan: dari penataan besaran daerah pemilihan, pilihan apakah mempertahankan sistem proporsional terbuka yang candidate center—yang cenderung menghasilkan split-ticket voting dan coattail effect yang menyebar—atau menimbang usulan masyarakat sipil tentang sistem campuran yang berarti perubahan drastis dan radikal dari sistem kita saat ini.
ADVERTISEMENT
Dengan Putusan MK 135, kita punya momentum untuk menata ulang. Pertanyaan besar ke depan adalah bagaimana menjadikan pemilu bukan sekadar ajang partisipasi massal, melainkan instrumen yang benar-benar memperkuat presidensialisme dengan keseimbangan dan akuntabilitas yang sehat.
Topik dari evaluasi sistem pemilu ini akan menjadi pembahasan dalam serial artikel ke depan.