Konten dari Pengguna
Presidensialisme Multipartai: Menimbang Ulang Keserentakan Pemilu
2 Oktober 2025 10:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Presidensialisme Multipartai: Menimbang Ulang Keserentakan Pemilu
Presidensialisme multipartai: Menimbang ulang keserentakan pemilu. Solusi sejati ada pada reformasi sistem pemilu agar stabilitas sejalan dengan akuntabilitas. #userstoryDody Wijaya
Tulisan dari Dody Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sistem pemerintahan adalah pondasi demokrasi yang selalu terkait dengan sistem pemilu. Sejak reformasi, Indonesia menegaskan diri sebagai negara dengan sistem pemerintahan presidensial: presiden dipilih langsung rakyat dengan masa jabatan tetap. Secara teori, ini memberi stabilitas eksekutif. Namun dalam praktik, presidensialisme Indonesia justru berhadapan dengan fragmentasi partai sebagai hasil sistem proporsional terbuka.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, presiden—betapa pun kuat mandatnya—tidak bisa memerintah tanpa koalisi besar. Fenomena ini yang disebut para ilmuwan politik sebagai presidensialisme multipartai: presiden kuat secara konstitusional, tetapi rapuh secara politik. Koalisi gemuk menjamin stabilitas jangka pendek, tetapi mengikis fungsi oposisi dan melemahkan kualitas demokrasi deliberatif.
Pemilu Serentak di Brasil : Sejarah dan Hasilnya
Brasil memberikan pelajaran awal tentang pemilu serentak. Pada masa transisi demokrasi pasca rezim militer (1964–1985), pemilu presiden dan legislatif awalnya digelar terpisah. Akibatnya, presiden sering tidak memiliki dukungan mayoritas di parlemen. Fenomena ini dikenal sebagai divided government di mana presiden tidak dapat menjalankan kebijakan karena parlemen dikuasai partai lain.
Belajar dari pengalaman itu, Brasil kemudian melakukan reformasi konstitusional besar melalui Konstitusi 1988. Sejak itu, Brasil menetapkan eleições gerais—pemilu serentak nasional yang mencakup presiden, kongres, senat, gubernur, dan legislatif negara bagian. Tujuannya jelas: menyelaraskan mandat eksekutif dan legislatif serta mencegah pemerintahan terbelah.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagaimana ditunjukkan David Samuels (2000) dalam jurnalnya Concurrent Elections, Discordant Results: Presidentialism, Federalism, and Governance in Brazil, pemilu serentak di Brasil tidak otomatis menyelesaikan masalah. Meskipun pemilu dilakukan bersamaan, presiden tetap tidak mendapatkan dukungan legislatif yang solid. Mengapa? Karena federalisme memberi gubernur kekuasaan sangat besar. Legislator lebih loyal kepada gubernur dibanding presiden. Yang muncul bukan presidential coattails, melainkan gubernatorial coattails. Akibatnya, kemenangan besar presiden seperti Fernando Henrique Cardoso pada 1994 dan 1998 tidak menjelma menjadi dukungan parlemen yang konsisten.
Dengan demikian, reformasi pemilu serentak di Brasil memang mengurangi kerentanan divided government, tetapi tidak berhasil menghapus akar masalah presidensialisme multipartai: lemahnya oposisi, parlemen yang tidak sinkron, dan kekuasaan lokal yang terlalu dominan.
ADVERTISEMENT
Pemilu Serentak di Indonesia: Sejarah dan Hasilnya
Indonesia baru menerapkan pemilu serentak nasional sejak 2019, menyatukan pemilihan presiden dan legislatif. Harapannya serupa dengan Brasil: efek ekor jas (coattail effect) akan memperkuat partai pengusung presiden, sehingga presiden terpilih mendapat dukungan mayoritas di parlemen.
Indonesia mengalami hal serupa Brasil. Seperti saya pernah riset dalam jurnal Pengaruh Pemilu Serentak terhadap Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia dan buku Ironi Pemilu Serentak, efek ekor jas di Indonesia sangat lemah. Pemilih terbiasa melakukan split-ticket voting, memilih presiden dari satu kubu, legislatif dari partai lain. Hasilnya, fragmentasi tetap tinggi dan presiden tetap bergantung pada koalisi besar.
Fenomena Coalitional Presidentialism ala Indonesia
Di titik inilah relevansi analisis Djayadi Hanan (2012) muncul. Dalam disertasinya Making Presidentialism Work: Legislative and Executive Interaction in Indonesian Democracy, Djayadi menunjukkan bahwa meskipun presidensialisme multipartai dianggap tidak kompatibel oleh teori klasik (Juan Linz, Scott Mainwaring), Indonesia justru relatif berhasil mempertahankan stabilitas. Rahasianya ada pada praktik yang disebut coalitional presidentialism.
ADVERTISEMENT
Ciri utamanya: Pertama, presiden coalition-minded–sejak awal, presiden sadar tidak mungkin memerintah tanpa dukungan DPR, sehingga langsung merangkul partai-partai. Kedua, koalisi super besar–hampir semua partai besar bergabung, baik pengusung maupun awalnya oposisi. Ketiga, akomodasi kekuasaan–kursi menteri, posisi birokrasi, hingga akses sumber daya negara, dibagi rata kepada partai koalisi.
Dengan formula ini, presidensialisme Indonesia memang berjalan stabil, tetapi dengan konsekuensi serius. Pertama, oposisi melemah drastis, bahkan hampir lenyap. Kedua, parlemen kehilangan daya kritis karena ikut terserap dalam koalisi. Ketiga, kualitas demokrasi deliberatif menurun karena kebijakan lebih ditentukan oleh kompromi elite daripada perdebatan substantif di DPR.
Inilah paradoks presidensialisme Indonesia: stabilitas jangka pendek tercapai, tetapi akuntabilitas jangka panjang dikorbankan.
Menimbang Ulang Pemilu Serentak dan Arah Reformasi
Brasil dan Indonesia memberi pelajaran yang sama: pemilu serentak bukan jawaban utama bagi problem presidensialisme multipartai. Keserentakan mungkin membantu legitimasi presiden, tetapi tidak mampu menghapus fragmentasi, memperkuat oposisi, atau menjadikan parlemen lebih kritis.
ADVERTISEMENT
Jika tujuan kita adalah presidensialisme yang efektif sekaligus demokratis, solusinya adalah rekayasa elektoral di luar sekadar keserentakan pemilu. Besaran daerah pemilihan (district magnitude) perlu ditinjau ulang agar tidak mendorong fragmentasi berlebihan. Format proporsional terbuka bisa dievaluasi, apakah tetap dipertahankan, diganti proporsional tertutup, atau sistem campuran. Yang tidak kalah penting, oposisi perlu diberi insentif kelembagaan agar tetap bisa menjalankan fungsi check and balance.
Tanpa reformasi yang lebih mendasar, presidensialisme Indonesia hanya akan berjalan di atas fondasi kompromi elite. Demokrasi memang tampak stabil, tetapi rapuh karena dikorbankan pada "altar koalisi gemuk". Sejarah Brasil memberi pelajaran: pemilu serentak bisa jadi jawaban manajerial, tetapi bukan solusi substantif. Jalan kita seharusnya adalah memperbaiki desain elektoral agar presidensialisme tidak hanya stabil, tapi juga efektif dan akuntabel.
ADVERTISEMENT

