Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Perubahan Paradigma dalam Pendidikan Anak Menuju Integrasi Kebudayaan
19 Oktober 2022 6:19 WIB
Tulisan dari DOMINIQUE CHARLOTTE ALYSSA GUNAWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Disintegrasi budaya terjadi ketika terdapat konflik dalam masyarakat yang disebabkan oleh faktor-faktor terkait sosial dan budaya. Dalam negara yang begitu luas dan kaya akan kebudayaan, tentu Indonesia tidak akan lepas dari keberadaan konflik. Lalu bagaimana kita bisa menyelaraskan pandangan dan mencapai integrasi nasional itu dalam negara yang berlimpah akan kebudayaan?
ADVERTISEMENT
Jawabannya terletak pada generasi-generasi terbaru. Saat generasi penerus bangsa dididik dan dibesarkan dalam ajaran yang menganut nilai-nilai kesatuan dan keberagaman, masa depan bangsa kita yang digenggam oleh mereka akan lebih cerah. Penghapusan perpecahan memang sebuah mimpi yang cukup idealis, tetapi bukan tidak mungkin. Masalah baru terletak pada kemunculan budaya-budaya asing yang mengikuti globalisasi.
Perlu diperhatikan bahwa otak manusia berkembang sangat pesat dalam periode perkembangan sebagai balita. Rentang usia ketika seorang anak dianggap paling reseptif terhadap informasi dari lingkungan sekitarnya adalah di bawah 8 (delapan) tahun. Pendidikan pertama yang dialami seorang anak berasal dari keluarganya, yakni orang-orang terdekatnya. Tahap pertama itu merupakan tahap yang krusial terhadap perkembangan seorang anak, membantu melatih pergerakan motor atau fisiknya, kemampuan linguistiknya, memorinya, serta tentu saja mentalnya.
ADVERTISEMENT
Kian kemari, usia ketika anak mulai diberikan gadget kian menurun. Kini bocah berusia 5 tahun pun sudah mahir mengoperasikan gawai yang diberikan oleh orang tuanya. Kenyataan ini memprihatinkan karena anak-anak dalam usia pertumbuhan pesat masih sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai macam informasi yang diterimanya, dan tanpa kemampuan untuk memilah informasi tersebut, pola pikirnya sangat rawan terusik. Maka dari itu, dibutuhkan penanaman nilai-nilai yang kuat dalam diri anak sejak dini serta pengawasan dari orang tua.
Masalah bermula ketika anak-anak mulai memiliki gadget di usia yang semakin muda. Jika pengawasan dari orang tua kurang cermat, maka dalam usia dini pun anak-anak dapat terjebak dalam candu dunia daring. Dunia maya yang memungkinkan manusia saling terkoneksi ke belahan dunia yang lain sangat berbahaya bagi anak-anak yang masih mudah dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Dunia yang bahkan dapat menghasut orang dewasa yang pendiriannya kurang mantap tentu dapat menggeser pandangan anak yang belia terhadap dunia sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Lantas mengapa para orang tua tetap memberikan kepada anak-anak mereka akses terhadap gawai yang jelas-jelas mengancam pertumbuhan mental mereka? Beberapa alasan mungkin timbul, seperti, “Karena semua orang melakukannya. Bila kami tidak mengikutinya, maka anak kami akan tertinggal,” atau, “Kami terlalu sibuk untuk selalu memperhatikan anak kami, gawai membantu menjaganya tetap tenang.” Alasan-alasan tersebut memang cukup umum ditemukan di zaman ini, zaman di mana lebih banyak pasangan suami-istri yang dua-duanya bekerja untuk mencari nafkah demi kelangsungan keluarganya.
Ketika keseimbangan antara waktu bekerja dan mengurus anak mulai timpang, orang tua mencari jalan yang paling mudah untuk tetap mengisi perhatian anak, sehingga gawai menjadi solusi dari masalah tersebut. Sayangnya, kondisi demikian mengakibatkan masalah lain yakni hambatan perkembangan sosial dan budaya anak. Seorang anak yang asyik dengan dunianya sendiri akan menelantarkan kehidupan sosialnya. Dibandingkan bertemu teman untuk bermain di luar jam sekolah, mereka lebih memilih untuk menyelami dunia maya yang lebih nyaman.
ADVERTISEMENT
Dalam jaringan internet, terutama media sosial yang berpotensi toxic, semua orang dapat mengenakan topeng dan menyembunyikan identitas asli mereka. Kondisi ini menciptakan keadaan yang membuat penggunanya kerap bertingkah semena-mena karena merasa bahwa identitasnya aman dan tak diketahui siapa pun. Bila media tersebut diakses oleh anak yang tidak diawasi atau dibimbing, potensi desensitisasi anak terhadap perilaku yang tidak seharusnya dinormalkan semakin tinggi, terlebih bila usia anak lebih muda dan lebih reseptif.
Paradigma adalah sebuah kerangka berpikir yang dipakai oleh manusia untuk mengukur sesuatu dalam sudut pandangnya. Sebenarnya, masalah dalam penurunan tingkat integrasi kebudayaan yang timbul dalam generasi muda ini juga disebabkan oleh paradigma masyarakat. Integrasi kebudayaan semakin buruk karena paradigma generasi muda sudah ditetapkan sejak dini dalam proses pertumbuhan mereka yang dimatangkan dengan bantuan gadget dan media sosial.
ADVERTISEMENT
Selain itu, paradigma generasi-generasi atas juga perlu diubah, misalnya paradigma bahwa semua generasi muda kecanduan internet. Paradigma tersebut bisa muncul karena sejak awal, itulah yang diajarkan kepada mereka. Tetapi paradigma seperti ini membuat kita tidak bisa maju, melainkan terus-menerus terjebak dalam siklus yang sama. Pada akhirnya, kesenjangan antar-generasi semakin terlihat dan kebudayaan semakin terpecah karena tidak ada pergerakan untuk menutup menjembatani jurang itu.
Sebagai kesimpulan, paradigma dalam hidup manusia tidak bisa dihindari karena itulah dasar dari edukasi yang kita terima. Paradigma dapat membatasi maupun menunjang kehidupan manusia, namun fungsinya bergantung kepada masing-masing dari kita. Meninggalkan kerangka berpikir yang telah kita anut sejak lama memang bukan hal yang mudah dilakukan. Tentu butuh perjuangan untuk mengupayakan sebuah pergeseran.
ADVERTISEMENT
Pergeseran paradigma dibutuhkan dalam hal pendidikan generasi penerus Bangsa Indonesia kita. Pola berpikir yang sekarang kita gunakan sudah terbukti berbahaya dan menghambat integrasi nasional dalam berbagai bidang. Integrasi yang terhambat akan mengancam kesatuan Negara Indonesia dengan perpecahan yang terjadi. Oleh sebab itu, kita perlu meninggalkan kerangka pikir yang merugikan pertumbuhan negara kita agar kita bisa maju bersama-sama sebagai bangsa yang utuh.
Daftar Pustaka
Budaya Indonesia. (2022, September 26). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada 11:53, September 26, 2022, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Budaya_Indonesia&oldid=21711605
Indonesia: Mental state indicates child's development, growth: BKKBN. (2022, Jun 20). Asia News Monitor. Diambil dari https://www.proquest.com/newspapers/indonesia-mental-state-indicates-childs/docview/2677625729/se-2
Jawa. (2022, Oktober 17). Di Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. Diakses pada 19:00, Oktober 17, 2022, dari https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Jawa&oldid=21808929
ADVERTISEMENT
Paradigma. 2022. Pada KBBI Daring. Diambil 18 Oktober 2022, dari Hasil Pencarian - KBBI Daring (kemdikbud.go.id)
UKEssays. (November 2018). The Impact Of Globalisation For Children. Diambil dari https://www.ukessays.com/essays/economics/the-impact-of-globalisation-for-children-economics-essay.php?vref=1
Live Update