Pengaruh Kepemimpinan B.J. Habibie pada Pers Masa Reformasi

Donabella Alda Keshena
Mahasiwa Jurusan Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta
Konten dari Pengguna
7 Juni 2022 13:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donabella Alda Keshena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1 (source: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:B.J._Habibie_with_presidential_decorations.jpg)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1 (source: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:B.J._Habibie_with_presidential_decorations.jpg)
ADVERTISEMENT
Sistem pers setiap negara pasti tidak dapat lepas dari siapa pemimpin yang berkuasa. Setiap kepemimpinan memiliki sistem dan caranya masing-masing dalam mengelola pers dan undang-undangnya. Menurut Oemar Seno Adji, pers dalam arti sempit memiliki makna sebagai penyiaran pikiran, gagasan, maupun berita-berita.
ADVERTISEMENT
Pers bagi masyarakat dibagi menjadi dua peranan. Peran pertama dilihat sebagai medium komunikasi dan peran kedua sebagai lembaga masyarakat serta sistem politik. Oleh sebab itu, setiap kepemimpinan pasti memiliki pengaruh terhadap pers secara utuh.
Pengertian sistem pers sendiri adalah sebuah alat yang bekerja untuk melakukan suatu tindakan untuk menuju sebuah tujuan. Apabila salah satu tujuan ada bagian yang tidak dapat menjalankan tugasnya, maka tujuan yang ingin tercapai akan terhambat atau tidak terlaksana.
Menyinggung pada masa kepemimpinan sebelum B.J. Habibie yakni masa orde baru, kebebasan pers sangatlah minim. Terdapat peraturan dan undang-undang yang mengatur kebebasan pers seperti; UU No. 11 Tahun 1966 tentang kemerdekaan pers di mana pasal 4 berisikan “....pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredeilan” namun, hal ini bertolak belakang dengan isi pasal yang lain yaitu pasal 20 ayat 1 UU No.11 Tahun 1966 dikatakan bahwa “..untuk menerbitkan pers diperlukan Surat Izin Terbit”. Hal ini menunjukkan bahwa pers sepenuhnya berada di bawah kontrol pemerintahan pusat dan diatur secara langsung. Apabila diperhatikan kembali pembatasan bukan untuk kepentingan rakyat melainkan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pada masa Reformasi banyak hal yang berubah salah satunya peraturan yang mengatur tentang pers di masa itu. Kebijakan yang menghambat dan merugikan pers dalam melakukan penyiaran akhirnya diubah. Pasal 9 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999 meniadakan keharusan pers dalam mengajukan SIUPP untuk menerbitkan suatu informasi berita. Tidak hanya itu, pasal 4 ayat 2 UU No. 1999 menghilangkan ketentuan sensor dan pembredeilan pers. Selain itu, pasal 4 ayat 2 juga terkait dengan pasal 18 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 berisikan tentang perlindungan untuk praktisi pers dengan ancaman hukum pidana dua tahun penjara atau dengan Rp. 500.000 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers.
Gambar 2 Saptohadi, Satrio Pasang Surut Kebebasan Pers di Indonesia (source: http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/85/36)
Masa reformasi merupakan titik balik kehidupan pers menuju pers yang lebih bebas dan mampu berkembang dan memungkinkan masyarakat yang profesional maupun baru dapat memiliki kesempatan untuk memiliki serta mendirikan media pers. Titik balik tersebut juga diterima baik oleh masyarakat ditandai dengan menjamurnya media pers pada saat itu yang banyak bermunculan dari yang mulanya terhitung 289 penerbitan melonjak menjadi dengan total 1687 buah pada masa itu.
ADVERTISEMENT
Media menjadi sangat kuat dan arus informasi sangat kencang karena kebebasan pers yang dimiliki setiap lembaga pers. Kedudukan pers masa itu bukan lagi menjadi pilar keempat demokrasi namun naik menjadi pilar pertama demokrasi. Bagi pemerintah kebebasan tersebut juga dapat menjadi sebuah “ancaman” karena praktik demokrasi yang dilakukan oleh pers terkadang memberikan kritik kepada pihak pemerintah maupun kelompok masyarakat tertentu. Selain itu, pihak pers dianggap kurang objektif dalam memberitakan sebuah informasi dan terlalu sensasional.
Kebebasan pers melahirkan media yang semena-mena kala itu. Menurut AJI (Aliansi Jurnalis Independen) periode 2004 telah melaporkan bahwa terdapat 32 kasus gugatan terhadap media jurnalis seperti; kasus Redaktur Harian Rakyat Mereka, jurnalis bernama Supratman mempublikasikan isi berita berupa penghinaan terhadap Presiden dan dinyatakan bersalah dengan vonis hukuman 6 bulan penjara dan masa percobaan 12 bulan. Kasus tersebut dilakukan secara sengaja terhadap presiden yang telah diatur oleh perundang-undangan pasal 134 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
ADVERTISEMENT
Semangat membara dari kehidupan pers kala itu menyebabkan adanya trial by the press yang artinya pengadilan oleh pers yakni berita atau tulisan yang disebarluaskan memiliki gambar tertuduh dalam suatu perkara pidana yang memberi kesan bersalah. Hal tersebut tentu melanggar asas praduga tak bersalah dan menyulitkan tertuduh untuk memperoleh pemeriksaan pengadilan yang bebas dan tidak berpihak. Selain trial by the press, media Indonesia juga sempat merasakan efek euphoria yang tidak memiliki self censhorship, self censhorship merupakan bentuk proses selesai atau sensor diri secara intelektual dalam diri wartawan ketika sedang dihadapkan pada pilihan untuk semua pihak. Terdapat dua faktor kelalaian tersebut seperti faktor tingkat profesionalitas, tidak melakukan pengecekan ulang, kurang mampu merangkai kata dalam berita, dan sebagainya. Faktor kedua yakni kesengajaan meski sudah mengetahui kode etik karena niat buruk dan pers justru menjadi topeng untuk perbuatan kriminal. Contoh kasus dari self censorship adalah wawancara fiktif, sumber berita tidak jelas, dan membocorkan identitas narasumber.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pers berada di keadaan di mana media kurang melihat selera dari masyarakat, media kurang ideal dalam memberikan suatu informasi, dan kurang mempertimbangkan apakah tayangan tersebut layak atau tidak untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Contohnya saat itu media baru hanya memberitakan tentang informasi mengenai politik, demokrasi, demonstrasi dan sejenisnya. Namun, tidak semua masyarakat tertarik akan berita yang terlalu serius, masyarakat juga tentu membutuhkan berita hiburan, budaya, dan lain sebagainya. Hal ini terjadi sebab Indonesia baru saja menghirup udara segar kemerdekaan dalam berdemokrasi khususnya pers, akan tetapi kurangnya self censhorsip mampu mengakibatkan media yang baru terjun ke dunia pers terseleksi dengan alami mengakibatkan banyak media yang “gulung tikar” karena tidak mampu menghidupi perusahaannya.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, pemerintahan B.J. Habibie menjadi titik balik yang ditunggu-tunggu oleh segenap pers di Indonesia kala itu. Adanya UU No. 40 Tahun 1999 merupakan peristiwa penting yang mampu mengubah kehidupan pers di Indonesia. Meskipun, pada masa itu pers masih belum mampu berada di titik seimbang dan semangat demokrasi masih terlalu membara menyebabkan banyak kasus-kasus yang dilakukan oleh pers yang kurang bertanggung jawab. Namun, apa yang dilakukan oleh B.J. Habibie dan segala peraturan perundang undangan yang ia buat sangat memberikan dampak bagi kehidupan pers hingga saat ini.