Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Tragedi Kanjuruhan dalam Perspektif HAM
11 Oktober 2022 13:03 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Doni Boy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya Pancasila sebagai dasar pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat. Baik yang menyangkut mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan manusia dengan manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila yang terdapat pada Pancasila. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia. Materi Undang-Undang ini tentu saja harus disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (yang telah diamandemen), masalah mengenai Hak Asasi Manusia dicantumkan secara khusus dalam bab XA pasal 28A sampai dengan 28J yang merupakan hasil amandemen kedua tahun 2009 Pemerintah dalam hal untuk melaksanakan amanah yang telah diamanatkan melalui TAP MPR tersebut di atas, dibentuklah Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pada tanggal 23 September 1999 telah disahkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur beberapa hal penting yang menyangkut Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Dalam tragedi kasus di Stadion Kanjuruhan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menduga ada unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat dalam Tragedi Kanjuruhan, Malang. Dalam kejadian itu Polisi melakukan semprotan gas air mata yang mengarah ke kerumunan penonton. Dalam hal ini bukan untuk mengamankan penonton, melainkan melukai.
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 23 November 2000 di tetapkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1999. Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dalam hal ini adalah kejahatan genosida yaitu penghancuran atau pemusnahan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok. Menciptakan kondisi kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mengenai kelahiran dalam kelompok tersebut. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu perbuatan yang dilaksanakan sebagai bagian dari serangan yang meluas ataupun sistematik yang diketahuinya bahwa akibat serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa pembunuhan, pemusnahan, pembudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin maupun alasan lain yang telah diakui secara Universal sebagai hal yang dilarang oleh hukum internasional, penghilangan orang secara paksa kejahatan apartheid.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi tersebut telah mendorong munculnya suatu usulan untuk membantu pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat di Aceh. Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usulan kepada Presiden Republik Indonesia untuk membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc telah disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Keberadaannya secara hukum “menjawab” bahwa Indonesia mau dan mampu dengan sungguh-sungguh mengadili pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, seperti yang diamanatkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan berbagai intrumen internasional serta Pradilan Pidana Internasional. Ada keistimewaan Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia yang menganut asas “retroaktif”, yaitu mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, yang dilakukan sebelum Undang-Undang nomor 26 Tahun 2000, hal ini dimungkinkan dengan usul Dewan Perwakilan Rakyat dan keputusan Presiden. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang retroaktif ini dinamakan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia mulai digelar untuk pertama kalinya pada tanggal 14 Maret 2002 yang mengadili perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di Timor-Timur pasca jejak pendapat, yang akan disusul dengan kasus terhadap pelanggaran berat Hak Asasi Manusia lain di tanah air. Terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang dilakukan sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dilakukan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) permanen.
Penerapan peradilan Hak Asasi Manusia (HAM) bersifat ad hoc sesuatu yang baru dalam peradilan di Indonesia, yang tidak saja mendapat perhatian di tanah air bahkan sampai mancanegara. Demi kredibilitas dan jati diri yang berwibawa dan adil dari peradilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Banyak pakar dan ilmuwan yang mendalami instrumen Hak Asasi Manusia Internasional, termasuk implementasinya dalam dunia peradilan Hak Asasi Manusia ad hoc di Indonesia yang sangat berharga.
ADVERTISEMENT
Menurut Indriyanto Seno Adji : Secara ketat sistem hukum pidana Indonesia yang konkordansi dengan Belanda memberikan “legality principle” sebagai salah satu pilar utama bagi setiap negara yang mengakui dan menghargai suatu “supremacy of law”, juga mengingatkan beberapa hal dalam penerapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dalam peradilan Hak Asasi Manusia, yaitu bagi hakim peradilan HAM ad hoc adalah harapan agan hakim ad hoc diberi kebebasan untuk menentukan suatu “dissenting opinion” sebagai cermin akuntabilitas terhadap publik tentunya dengan tidak mengadakan penyimpangan distrem dari KUHAP, sikap objektif harus tercermin dari hakim ad hoc yang jauh dari kontaminasi politik.
Dalam Tragedi Kanjuruhan bermula saat polisi menembakkan gas air mata kepada para penonton sepak bola. Polisi mengeklaim gas air mata itu ditembakkan karena para pendukung Arema kecewa dengan kekalahan timnya. Gas air mata itu ditembakkan tidak hanya kepada para suporter di lapangan, tetapi penembakan juga diarahkan ke penonton di tribun sehingga membuat massa panik. Penonton pun berlarian dan berdesak-desakan menuju pintu keluar.
ADVERTISEMENT
Menurut Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai bahwa terdapat potensi Tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Setidaknya, dalam tragedi yang terjadi pada Sabtu (1/10/2022), ada upaya sistematis dari aparat bersenjata yang berujung pada jatuhnya korban secara masif.
Upaya sistematis untuk membungkam para saksi Tragedi Kanjuruhan terjadi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang, dalam kesempatan yang sama, mengakui bahwa para korban selamat Tragedi Kanjuruhan kini sangat rentan atas teror dan intimidasi. Unsur pelanggaran HAM berat dianggap semakin nyata apabila tindakan represif aparat bersenjata di Stadion tersebut atas komando atasan. Untuk mengetahui lebih lanjut perlu adanya identifikasi apakah ada komando sehingga memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Konteks pelanggaran HAM kuat sekali, sehingga perlu diusut tuntas agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Menurut Julius menilai tembakan gas air mata yang dilontarkan aparat memenuhi unsur kesengajaan, sehingga patut diselidiki apakah terdapat komando di baliknya. Penggunaan kekuatan yang berlebihan itu membuat para suporter tunggang-langgang mencari selamat, sehingga menimbulkan overkapasitas di pintu-pintu keluar yang tak semuanya terbuka dalam keadaan sesak napas dan berdesakan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Andriganto Seno Adji, Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc yang Objektif, Kompas, 2-2-2002
Seodjono Dirjdjosisworo, (2002), Pengadilan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Penulis
Doni Boy Faisal Panjaitan, S.H., Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (Kampus Jakarta. Konsentrasi Hukum Litigasi)