Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jejak Kaki Nelson (4)
11 Februari 2019 0:40 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
Tulisan dari Donny Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Susah bagi Nelson untuk membungkam pikirannya sendiri yang meraja lela. Bahkan dalam tidurpun seakan otaknya tak berhenti bekerja keras bagai mesin pabrik yang tak pernah berhenti. Pikiran yang selalu melalang buana hanya dari sebuah warna, hanya dari setitik bau, hanya dari sekelebat suara. Pikirannya yang selalu menghubungkan terus menerus tanpa henti.
ADVERTISEMENT
Sekarang pikiran Nelson berkecamuk di permasalahan umum sosial yaitu kekuasaan dan pengaruh. Nelson sangat ngeri melihat manusia-manusia yang diketahuinya ingin sekali naik dan bertengger dipuncak. Heran dan mengaga dalam pikirannya, bahwa kekuasaan dan pengaruh, memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit. Bahkan seringkali pengorbanan itu harus menyakiti selain dirinya, menyakiti musuhnya, bahkan menyakiti keluarga dan suadaranya.
Nelson tidak paham dengan itu semua, dan dengan cepat ia simpulkan bahwa ketakutan lah yang menjadikan manusia yang ia tau itu mengejar kekuasaan. Manusia-manusia itu takut jika ia tak berkuasa, maka ia akan ditindas, maka golongannya akan punah. Bahkan, bisa jadi, iya, bisa jadi, mereka takut akan masuk neraka dan takut tidak masuk surga. Juga takut keluarga dan saudara mereka tak masuk surga dam terjerumus ke neraka.
ADVERTISEMENT
Pikiran lain datang bagaikan angin. Bisakah penguasa dan orang di pucuk kekuasaan itu suci? Apakah bisa orang suci menjadi pemimpin dan penguasa tertinggi? Nelson masih percaya dengan kemurnian dan kesucian. Tidak ada manusia akil baligh yang suci, yang ada manusia yang berusaha sebisa mungkin kembali suci. Nelson masih yakin dengan metode menghancurkan nafsu diri sendiri, membuang jauh-jauh keuntungan yang bakal manusia dapatkan, dan mendahulukan bekerja untuk kebahagiaan orang banya. Nelson masih yakin metode-metode itu bisa menjadikan ia seorang pemimpin besar, seorang yang berada di pucuk kekusaan, padahal ia tak berharap berkuasa, tetapi alam, lingkungan, manusia, seakan membopongnya keatas untuk menjadi penguasa dan penanggung jawab tertinggi.
Bisakah Nelson menjadi pemimpin yang sesuai takdirnya? Nelson masih sangat takut untuk menjadi pemimpin. Ah ndak usah jauh-jauh. Dekat dengan orang lain saja Nelson masih takut. Nelson masih takut untuk berbuat salah, eh padahal Nelson tak berniat berbuat kesalahan. Mbok ya gini, harusnya kan kalau kita tak pernah berniat melakukan kesalahan, tetapi yang kita lakukan dimata orang lain salah, kita bisa dengan kepala tegak berkata;
ADVERTISEMENT
“Saya tak punya tendensi apapun terhadap apa yang Saya kerjakan dan usahakan. Dengan segala kalkulasi yang Saya lakukan ternyata berakibat kesalahan dan merugikan banyak pihak. Dengan segala hormat lakukan apa yang anda berhak lakukan, wajib lakukan. Dengan kepala tegak Nelson akan terima semua konsekuensi itu. Tanpa protes”
Ah toh ya gampang sekarang berkata, kalau berada pada kondisi itu apa bisa dilakukan dan diucapakan? Bisa sih, harusnya.
Nelson tak 100 persen menyalahkan keadaan. Dengan segala keterbatasnnya, dan pemberian khusus dari Tuhannya yaitu pemberian “never ending thinking”, dia menganggap bahwa semua ini tempaan untuk menjadikannya lebih dewasa. Umur tak pernah tau, tetapi kalau kita jadikan Muhammad SAW. patokannya, berarti umur hidupnya tinggal setengah. Sudah separuh umur dia jalanin di kehidupan ini.
ADVERTISEMENT