Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Ambruknya Toshiba
26 Desember 2023 17:38 WIB
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah berita mengejutkan terbit dari Jepang; remuknya sebuah perusahaan raksasa. Setelah 74 tahun, raksasa elektronik Toshiba hengkang dari Bursa Efek Tokyo (Tokyo Stock Exchange). Toshiba bukan lagi perusahaan publik yang terdaftar di pasar bursa.
ADVERTISEMENT
Sekarang ia menjadi perusahaan swasta yang dimiliki oleh konsorsium yang dipimpin oleh Japan Industrial Partners atau JIP, sebuah perusahaan ekuitas swasta. JIP dan mitranya membeli Toshiba pada September lalu seharga 2 triliun Yen (US$14 miliar). Pihak konsorsium menjadikan Toshiba sebagai perusahaan swasta (private).
Bagaimana ini bisa terjadi? Toshiba, sebuah perusahaan raksasa asal Jepang, sudah berusia 150 tahun. Keterpurukan Toshiba adalah kisah tentang nasib buruk, manajemen yang parah dan disrupsi eksternal. Semuanya dimulai pada 2008 lewat krisis keuangan global. Ini bisa dianggap bagian nasib buruk. Seperti kebanyakan perusahaan lain, Toshiba terpukul oleh resesi yang hebat.
Sayangnya, tidak seperti kebanyakan perusahaan yang diterpa badai krisis, Toshiba tidak mengurus dan mengatasi aspek-aspek kemunduran yang dihadapi perusahaan. Alih-alih melaporkan kerugiannya, CEO ingin menunjukkan aspek profit sehingga perusahaan terlibat dalam malpraktek akuntansi. Dan inilah profil manajemen terburuk. Bayangkan, selama 8 tahun Toshiba melebih-lebihkan keuntungan berjalan yang mencapai US$ 1,2 miliar.
ADVERTISEMENT
Setelah berlangsung sekian tahun, skandal keuangan ini akhirnya terungkap pada 2015. Kasus ini menjadi go public sehingga mengguncang kepercayaan publik kepada Toshiba. Tiga CEO berikutnya berupaya mengawasi skandal ini. Lalu apa yang terungkap dalam penyelidikan?
Ternyata ditemukan bahwa para CEO ini tidak pernah secara langsung bertanya siapa yang memanipulasi laporan keuangan. Mereka hanya menekan para bawahan, selebihnya berjalan sesuai dengan budaya perusahaan Jepang.
Hasil investigasi dan skandal pada dasarnya menggugat budaya kerja Jepang, bahwa para pekerja harus patuh kepada atasan mereka, termasuk dalam hal ini cooking the book (memaniulasi data semisalm laporan keuangan). Ini semua menegaskan buruknya tata kelola perusahaan dan kurangnya aspek perlindungan.
Cerita kebobrokan itu tidak berakhir di sana. Setelah skandal keuangan itu terungkap pada 2015, Toshiba mengatakan akan berubah dan memang seharusnya demikian. Namun nasib buruk kembali menghantam perusahaan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016, Toshiba kembali mempertaruhkan keputusannya. Anak perusahaannya di Amerika Serikat membangun pabrik yang menelan biaya sekitar US$ 7 miliar. Namun tak lama kemudian anak perusahaan itu jatuh bangkrut. Ini menyisakan kantor pusat Toshiba harus melunasi tagihan yang ada.
Toshiba menderita kerugian US$ 7 miliar. Ini menyebabkan harga saham perusahaan anjlog. Toshiba kemudian berupaya menerapkan kontrol terhadap kerusakan yang timbul (damage control mode)—menjual aset berharga, menjual ponsel hingga masuk ke bisnis medis. Tapi itu tidak cukup. Perusahaan masih membutuhkan dana talangan (bailout) dan akhirnya mendapatkan sejumlah investor asing pada 2017.
Namun dari sinilah masalah ketiga timbul, yaitu campur tangan asing. Sebagai sebuah korporat raksasa yang sudah tegak selama 150 tahun, Toshiba memiliki banyak lini bisnis—elektronik, energi hingga infrastruktur. Ia dianggap sebagai aset penting oleh pemerintah Jepang. Karenanya Toshiba kerap diberikan banyak kelonggaran oleh pemegang saham dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Namun suntikan dana tunai pada 2017 muncul dari para investor luar negeri. Mereka menaruh beberapa harapan atas perusahaan ini. Mereka mulai menuntut perubahan dalam manajemen ala Jepang.
Tak ayal, ini menyebabkan perebutan kekuasaan. Kemudian pemerintah Jepang disinyalir terlibat dalam kekisruhan ini. Kementerian Perdagangan dianggap bekerja sama dengan Toshiba untuk menekan investor asing. Alhasil, ini menyebabkan lebih banyak gangguan eksternal, lebih banyak kekacauan.
Sejak itu Toshiba tidak pernah pulih. Akhirnya perusahaan memutuskan untuk menerima tawaran pembelian. Itulah kenapa Toshiba akhirnya menjadi perusaan private. Ada sejumlah pelajaran yang perlu kita petik dari kisah Toshiba ini, di antaranya adalah kejujuran sangat krusial dan waktu yang buruk bakal menerpa setiap perusahaan.
Neraca keuangan terkadang tidak menggembirakan bahkan buruk, tapi manipulasi akuntasi bukanlah solusi. Cepat atau lambat, Anda akan tertangkap dan ambruknya perusahaan bisa mengubur citra dan reputasi perusahaan atau organisasi yang sudah dibangun berabad-abad.
ADVERTISEMENT