Konten dari Pengguna

Cuti Haid di India

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
8 Januari 2024 8:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Artikel ini menyangkut dua kata yang telah memicu perdebatan lama di India, yakni cuti haid. Cuti ini memberikan karyawati atau mahasiswi waktu untuk beristirahat ketika mereka mengalami nyeri haid atau ketidaknyamanan karena haid.
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu lalu topik ini muncul di Rajya Sabha, Dewan Negara atau Majelis Tinggi Parlemen India. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah telah mengambil segala tindakan untuk mewajibkan cuti haid?
Pada kesempatan itu Smriti Irani, Menteri Perempuan dan Perkembangan Anak, mengatakan bahwa “…haid dan siklus haid bukanlah suatu halangan. Ia juga bukan merupakan bagian alami dari perjalanan seorang wanita hidup mengingat wanita saat ini bisa memilih peluang yang lebih ekonomis. Saya hanya mengungkapkan pandangan pribadi saya, bukan suara resmi Kementerian yang saya pimpin. Kita seharusnya tidak melakukan dan mengusulkan isu-isu yang melibatkan perempuan yang dalam beberapa kasus justru menolak perlakuan dan kesempatan yang adil. Ini terjadi karena sudut pandang seseorang yang kebetulan tidak mengalami menstruasi.”
ADVERTISEMENT
Pernyataan yang menggebrak ini tak pelak menimbulkan badai yang sejatinya bukanlah hal yang mengejutkan. Di seluruh dunia perdebatan ini telah mengundang penentangan bahkan oleh kaum perempuan yang memang mengalami haid.
Ada yang mendukung dan kebijakan serupa ditemukan di Jepang, Indonesia, Korea Selatan, Vietnam dan Zambia. Negara-negara ini memiliki kebijakan cuti haid. Tahun ini Spanyol ikut bergabung dan menjadi salah satu negara pertama yang menerapkannya di Eropa.
Pada 1992 Bihar menjadi negara bagian pertama di India dan salah satu dari sedikit negara bagian pertama di dunia yang memperkenalkan kebijakan cuti menstruasi untuk karyawan. Tahun ini negara bagian Kerala mengizinkan hal yang sama kepada para mahasiswi.
Alasannya sederhana; lebih dari separuh perempuan kesakitan saat menstruasi. Mereka meminum pil anti nyeri, beristirahat dan menjalankan bisnis, tapi mereka tetap tidak nyaman. Dalam beberapa kasus masalah ini dapat dikelola, tapi banyak yang malah melemahkan perempuan.
ADVERTISEMENT
25% wanita yang sedang menstruasi bisa mengalami kejang yang sangat parah. Beberapa penelitian mengatakan bahwa nyeri haid sama menyakitkan dengan serangan jantung. Ada yang pingsan dan memerlukan rawat inap. Ini adalah skenario terburuk. Bahkan pada hari-hari terbaik haid bisa menghambat produktivitas.
Sebuah penelitian mengatakan karyawan kehilangan sekitar 9 hari produktivitas dalam setahun. 14% perempuan di Belanda mengambil cuti selama menstruasi. Sementara di India 40% perempuan bolos sekolah saat menstruasi.
Jika kita tahu masalahnya bahwa ini terjadi setiap bulan dan jika itu mempengaruhi sebagian besar masyarakat, mengapa kita tidak memperkenalkan kebijakan yang meringankan penderitaan haid? Karena perdebatan cuti haid hanyalah nuansa.
Menoleh ke situasi global, dari tahun ke tahun wanita telah berjuang agar dilihat dan diperlakukan setara. Terus terang kemajuan yang telah dicapai relatif pelan tetapi tetap ada. Bagi sejumlah kalangan, kebijakan cuti haid dapat mengembalikan upaya perjuangan ke belakang.
ADVERTISEMENT
Ia dapat memperkuat stereotip gender, menimbulkan diskriminasi dan mempengaruhi cara orang melihat perempuan di dunia kerja. Lewat cuti haid, wanita dianggap kurang berkomitmen atau produktif dibandingkan dengan kaum laki-laki. Hal ini bisa membahayakan prospek karier kaum perempuan.
Ini berisiko untuk banyak negara, seperti India. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja telah menyusut. India termasuk dalam urutan 20 negara terendah dalam partisipasi perempuan sebagai angkatan kerja di dunia. Dalam ranah pendidikan, 20% gadis-gadis India putus sekolah setelah mencapai masa pubertas. Bila kebijakan cuti haid ini diterapkan, maka tinggi kemungkinan itu tidak akan berhasil. Ini ada presedennya di Jepang.
Jepang pernah memperkenalkan kebijakan cuti haid pada 1947. Saat itu hanya 0,9% wanita yang mengambil cuti haid. Hal yang sama juga akan berlaku di India. Perempuan akan enggan karena mengambil cuti haid layaknya mengenakan ‘huruf merah’ (scarlet letter) karena ini adalah topik yang tabu di India. Membicarakannya ibarat puncak gunung es. Wanita yang sedang haid tidak boleh menyentuh makanan tertentu, masuk ke dapur dan kadang-kadang bahkan rumah mereka.
ADVERTISEMENT
Di beberapa masyarakat, wanita yang tengah haid didorong untuk menetap di suatu tempat yang bernama ‘pondok haid.’ Wanita Muslim tidak boleh melakukan salat, memasuki masjid dan menyentuh Al Quran saat haid. Hal yang sama bahwa wanita Hindu tidak boleh memanjatkan doa dan memasuki kuil. Lebih dari separuh perempuan India tidak memiliki akses kepada pembalut wanita.
Banyak orang India, terutama laki-laki, memiliki sedikit pendidikan dan literasi tentang menstruasi. Mereka yang melontarkan lelucon tentang perubahan suasana hati (mood swing) kaum perempuan saat datang bulan sebetulnya sudah terbiasa mempermalukan, mendiskriminasi dan melecehkan perempuan.
Kebijakan cuti haid ini tentu memiliki manfaatnya. Namun demikian, keyakinan bahwa kebijakan ini akan berhasil di lapangan sama saja dengan ‘bercerai’ dari kenyataan. Kaum perempuan tentu memerlukan cuti haid, tapi mereka juga membutuhkan pekerjaan yang lebih banyak, pendidikan, kesehatan, sanitasi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Tak kalah pentingnya, kita perlu membuang banyak stigma yang selama ini merendahkan kaum perempuan. Mereka sudah terlalu banyak berjuang melawan stigma-stigma yang menyesatkan. Bila sebuah kebijakan hanya akan menjadikan perempuan berjuang lebih keras, maka kebijakan tersebut lebih baik ditiadakan saja.