Konten dari Pengguna

Eropa Berwajah Anti-Imigran

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
11 Desember 2023 10:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Jerman beberapa waktu lalu menjadi berita utama. Kanselir Jerman Olaf Schultz telah menorehkan kesepakatan penting. Dia menemukan cara untuk menenangkan para pemimpin 16 negara bagian di Jerman. Setelah beberapa jam diskusi, dia menyampaikan pernyataan, “Saya tidak ingin membual. Tetapi saya ingin mengatakan bahwa saya percaya ini adalah momen bersejarah saat kita duduk. Ini tidak diragukan lagi menyangkut tantangan jumlah para migran yang sangat besar dan imigrasi yang tidak teratur. Kita telah berupaya agar semua negara bagian bekerja sama erat, sesuatu yang sangat kita butuhkan.”
ADVERTISEMENT
Apa yang disebutnya sebagai keputusan bersejarah ternyata membalikkan dan menghancurkan masa lalu. Selama ini Jerman dipandang sebagai negara yang menyambut baik para pengungsi dan pencari suaka. Ini semua berkat kebijakan ramah imigran dari mantan Kanselir Angel Merkel. Dia membuka pintu bagi orang-orang yang mencoba melarikan diri dari zona konflik dan kondisi tidak aman lainnya. Sayangnya dia disalahkan atas semua itu.
Eropa pada umumnya dan Jerman khususnya mengalami lonjakan para imigran yang melarikan diri dari zona perang dan kemiskinan di seluruh dunia. Komitmen Uni Eropa untuk bersikap manusiawi terhadap pencari suaka nyatanya tidak berbanding lurus dengan kesiapannya menghadapi gelombang imgran ini. Sekarang Eropa malah memblokir pintu rapat-rapat.
Jerman mengurangi sokongannya bagi para migran. Mereka harus menunggu lebih lama sampai mereka memenuhi syarat mendapatkan pendanaan layanan kesehatan dan bantuan sosial lainnya. Sebetulnya ini hanyalah trik Jerman untuk menjadikan negara itu kurang atau tidak lagi bagi para imigran.
ADVERTISEMENT
Dan Jerman bukan satu-satunya negara Eropa yang melakukan hal tersebut. Italia juga menjadi salah negara Eropa terdepan yang mengalami krisis lantaran para migran. Perdana Menteri Giorgia Malone mengatakan bahwa Itali adalah korban geografi sehingga menjadikan negara ini sebagai negara transit bagi para migran yang punya keberanian menantang laut Mediterania.
Namun solusinya merubah keunggulan geografi tersebut untuk para migran. Alih-alih tinggal di Italia ketika mereka berlabuh, para migran ini bakal dikirim ke negara-negara non-Uni Eropa, yakni Albania. Kedua negara, Italia dan Albania, telah membuat perjanjian bahwa Albania akan memberikan peluang bagi Italia untuk menggunakan beberapa daerahnya untuk berkreasi dengan biaya yang ditanggung pihak Italia dan berada di bawah yurisdiksi Italia. Daerah ini akan memiliki pusat-pusat pengelolaan para migran ilegal. Fasilitas ini pada awalnya akan mampu menampung hingga 3.000 orang-orang yang akan tetap tinggal di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Pusat-pusat ini akan beroperasi tahun depan dan punya kapasitas untuk menampung hingga 3.000 migran. Tentu ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jumlah para imigran yang berlabuh atau mendarat di Italia. Malone mengatakan permohonan suaka mereka akan diproses sebulan dan hanya satu fasilitas sentral yang bakal menampung pada satu waktu. Dia berharap akan menampung 36.000 pencari suaka di Albania setiap tahun.
Pertanyannya, apakah ini legal? PBB mengatakan sah secara hukum sepanjang aturan-aturan berikut dipenuhi. Pertama, semua hak-hak yang diatur dalam konvensi mengenai pengungsi dan hak asasi manusia dihormati oleh negara-negara yang bersangkutan. Kedua, aktivitas transfer ini tidak boleh menjadi suatu pergeseran tanggung buat perlindungan pengungsi. Ini harus menjadi upaya penyempurnaan dari tanggung jawab bersama.
ADVERTISEMENT
Lalu, siapakah yang akan memantau apakah Albania menghormati hak asasi manusia. Apakah Uni Eropa bisa memastikan bahwa Italia tidak mengabaikan tanggung jawabnya? Kita akan mengetahuinya dalam beberapa bulan ke depan.
Eropa tampaknya akan melakukan apapun untuk menggeser para pengungsi ke tempat lain. Perancis mendeportasi orang-orang yang dinggap sebagai ancaman serius bagi ketertiban umum. Ini berarti apa dan siapa saja. Pengecualian hanya untuk orang-orang yang bekerja di sektor-sektor yang kekurangan tenaga kerja. Mereka yang bekerja pun dieksploitasi dengan upah minimum.
Sementara Inggris mencoba mengirim para migran ke Rwanda. Pengadilan Inggris telah membatalkannya, tetapi pemerintah Inggris mengajukan banding atas keputusan tersebut. Meskipun kalah, kemungkinan akan ada deportasi lainnya sulit dihindari. Eropa yang berwajah anti-imigran kini menjadi arus yang makin lama makin membesar.
ADVERTISEMENT