Islamofobia Merebak di Eropa

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
28 Juli 2023 10:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masyarakat melakukan protes terkait Islamofobia, di Toronto, Ontario, Kanada 18 Juni, 2021. Foto: Alex Filipe/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat melakukan protes terkait Islamofobia, di Toronto, Ontario, Kanada 18 Juni, 2021. Foto: Alex Filipe/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lagi-lagi pembakaran kita suci Al-Qur’an kembali terjadi di Eropa, kali ini Denmark. Mushaf Al-Qur’an dibakar di luar gedung kedutaan Mesir dan Turki di Denmark. Hal yang sama terjadi pada hari Senin dan Jumat lalu. Jadi dalam lima hari ada empat insiden.
ADVERTISEMENT
Mengapa ini terjadi? Kita juga perlu menjelaskan siapa yang ada di belakangnya, tetapi ada pertanyaan yang jauh lebih mendasar; apakah kaum minoritas aman di Eropa? Apakah kaum minoritas dan budaya mereka diserang?
Kita mempertanyakan ini karena tidak ada seorang pun atau sedikit sekali di Barat yang akan mengajukan pertanyaan ini. Bagi mereka, gagasan diskriminasi di Eropa adalah mustahil. Ini seperti matahari terbit di barat. Tetapi jika kita melihat lebih dekat, kita akan melihat adanya upaya bertahap dan sistemik untuk menargetkan minoritas, terutama muslim Arab dan Afrika.
Kita dapat membagi upaya ini menjadi dua bagian, yang pertama adalah diskriminasi kelembagaan yang dilakukan oleh negara dan yang kedua adalah kejahatan rasial dan xenophobia. Mari kita lihat bagian pertama.
ADVERTISEMENT
Upaya diskriminatif oleh pemerintah dimulai pada akhir 2000-an. Ini terjadi setelah krisis keuangan 2008. Para pemimpin populis baru muncul di seluruh Eropa. Upaya penargetan segera dimulai. Pada tahun 2009 Swiss mengumumkan langkah kontroversial dengan melarang menara di masjid. 57 persen pemilih Swiss mendukung keputusan ini. PBB menyebutnya diskriminatif.
Human Rights Watch (2009) mengatakan keputusan Swiss ini mencerminkan meningkatnya intoleransi tetapi Swiss tidak peduli, bahkan media Barat tegak bersama untuk membelanya.
Coba kita baca yang ditulis oleh Huffington Post (1 Desember 2009), "Many Swiss are worried about the rise of political Islam in Europe that are threatening hard-won rights such as equal rights for women and men (Banyak masyarakat Swiss yang khawatir tentang kebangkitan Islam politik di Eropa yang mengancam hak-hak yang diperjuangkan susah payah seperti persamaan hak untuk perempuan dan laki-laki)".
ADVERTISEMENT
Islam politik dianggap masalah besar, tetapi Swiss benar-benar menerapkan cara yang aneh untuk mengatasinya dan ini segera menjadi tren. Alih-alih menangani ekstremisme Islam, Eropa justru menargetkan Islam.
Aksi menentang Islamofobia di Prancis. Foto: AFP/Franck Pennant
Pada 2011 Belgia melarang burkak di mana pun di depan umum. Masalah ini sampai ke Mahkamah Hak Asasi Eropa, dan coba tebak apa yang terjadi? Lembaga ini mengatakan larangan itu sah-sah saja.
Saat ini sekitar 12 negara Eropa memiliki undang-undang tersebut. Burkak dilarang sepenuhnya atau sebagian. Daftar negara yang memberlakukannya termasuk Prancis, Spanyol, Italia, Jerman, Denmark dan Swiss, negara-negara tersebut digadang-gadang selama ini surga kebebasan dan pilihan.
Pada 2014, Austria memperkenalkan undang-undang baru; menciptakan Islam versi Austria. Bagaimana Austria melakukannya? Yakni dengan mengganti bahasa. Austria mewajibkan semua imam atau ulama harus berbicara dalam bahasa Jerman, ditambah hanya terjemahan bahasa Jerman dari Al-Qur’an yang boleh digunakan, bukan bahasa Arab.
ADVERTISEMENT
Apakah kebijakan ini juga diterapkan untuk agama-agama lain? Sama sekali tidak. Alkitab dapat digunakan dan dibaca dalam bahasa apa pun. Beberapa negara bahkan membuat aturan yang kelewat batas. Mereka menutup masjid.
Prancis mengesahkan apa yang disebut RUU Anti-Separatisme pada tahun 2021. Ini memulai serangkaian serangan terhadap muslim. Sekitar 89 masjid diperiksa dan diawasi. Lebih dari 20 masjid telah ditutup. Dengan alasan apa?
Kementerian Dalam Negeri Prancis mengeklaim masjid-masjid ini mempromosikan radikalisme. Sayangnya ketika publik meminta bukti, pemerintah berdalih ini rahasia.
Ini semua adalah kebijakan yang diadopsi terhadap Islam radikal. Ujungnya mencekik minoritas. Kebijakan tersebut dilihat sebagai serangan habis-habisan terhadap budaya Islam. Ketika pemerintah melakukan ini, masyarakat memahaminya sebagai kejahatan rasial dan xenophobia.
ADVERTISEMENT
Kita akan mulai dengan angka. Pada 2017 sebuah survei yang dilakukan oleh Open Society Foundations menemukan bahwa 33 persen muslim di Eropa mengalami diskriminasi. Artinya satu dari tiga orang didiskriminasikan di Eropa. 27 persen mengalami kejahatan rasis. Jadi jika Anda bertanya kepada empat muslim Eropa, salah satunya telah kena dampaknya.
Seorang pria membawa tulisan "Bersatu Melawan Islamofobia" saat mengenang untuk para korban penembakan di masjid Christchurch, di luar balai kota di Toronto, Ontario, Kanada. Foto: Reuters/Chris Helgren
Serangan atas masjid adalah masalah lain. Jerman telah melaporkan 800 serangan masjid sejak 2014. 150 di antaranya terjadi pada 2020 saja. Jerman hanya memiliki sekitar 2.000 masjid. Bahkan lebih buruk lagi terjadi di Inggris.
Sekitar 42 persen masjid di Inggris diserang. Laporan ini dirilis pada tahun 2022 dan hanya mencakup empat tahun terakhir. Jika kita melangkah lebih jauh ke belakang maka lebih banyak kasus akan muncul.
ADVERTISEMENT
Kita dapat melihat bias ini dalam kehidupan sehari-hari, seperti terkait dengan kepolisian dan kasus pengadilan. Lihat saja kerusuhan di Prancis bulan lalu, yang dipicu oleh pembunuhan seorang remaja muslim Arab. Apa kejahatannya? Melarikan diri setelah dihentikan oleh polisi lalu lintas. Apakah ini akan terjadi pada warga kulit putih Prancis? Saya pikir kita semua tahu jawabannya.
Di Prancis muslim hanya sekitar 10 persen dari keseluruhan populasi, tetapi realitas di penjara menunjukkan sebaliknya. Sekitar 60 persen narapidana di penjara Prancis adalah muslim. Jerman memiliki masalah yang sama, sekitar 20 persentase narapidana mereka adalah muslim, tetapi hanya enam persen muslim dari populasi keseluruhan.
Jadi muslimah tidak bisa memakai burkak di sebagian besar Eropa. Masjid tidak boleh memiliki menara di Swiss, ditambah lagi masjid dapat digerebek dan ditutup di Prancis kapan saja. Imam harus berbicara bahasa Jerman di Austria.
ADVERTISEMENT
Muslim memiliki lebih banyak peluang untuk berakhir di penjara. Apakah ini sebuah kesetaraan? Terus terang ini adalah persekusi. Jangan berpikir persekusi terjadi hanya dalam satu ukuran atau bentuk.
Persekusi tidak selalu berwujud pembersihan etnis, pembakaran masjid atau menempatkan muslim di kamp-kamp kerja paksa. Ini semua adalah bentuk persekusi yang ekstrem.
Negara-negara Eropa mempraktikkan versi persekusi yang lebih ringan. Mereka berpura-pura menjadi liberal dan sekuler. Mereka berkhotbah kepada seluruh dunia tentang toleransi, tetapi apa yang mereka lakukan dalam negeri sendiri? Mereka melucuti kaum minoritas dari agama dan budaya mereka, mengubahnya menjadi apa yang disebut sebagai versi muslim Eropa.
Kita paham bahwa negara-negara Eropa memiliki masalah. Mereka mengalami serangan teror dan meningkatnya radikalisme. Namun respons Eropa sangat melewati batas. Pembakaran kitab suci Al-Qur’an ini bukanlah tren mendadak atau langka. Aksi ini adalah buah dari kebijakan Eropa bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT