Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jepang dan Kota Mati
18 Oktober 2023 8:29 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak ingin tinggal di rumah antik Jepang, apalagi bila dijual hanya seharga beberapa ribu dolar? Tapi inilah jebakannya. Rumah-rumah tersebut mungkin sudah reot dan mengerikan. Atapnya bisa runtuh kapan saja, belum lagi serangan gulma yang sulit dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Jepang kini dipenuhi rumah-rumah tinggal dan kosong. Orang Jepang memiliki nama untuk rumah-rumah tinggal ini, yakni Akiya. Sekarang Akiya menjadi masalah terbaru negara itu. Krisis perumahan menghantui Jepang.
Rumah-rumah tinggal ini menyulap beberapa daerah layaknya kota hantu atau kota mati. Kejadiannya jauh lebih cepat. Padahal Jepang tengah mengalami krisis demografis yang akut. Populasi Jepang menurun selama 12 tahun berturut-turut.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan jika krisis demografis ini berlanjut maka Jepang akan lenyap. Negara ini memiliki salah satu tingkat kelahiran terendah di dunia. Pada saat yang sama Jepang juga memiliki angka harapan hidup tertinggi di muka bumi. Tahun lalu jumlah orang yang meninggal dua kali lebih banyak daripada jumlah bayi yang lahir. Kini jutaan rumah kosong.
Jepang dihadapkan dengan banyak properti tanpa pemilik. Data pemerintah terbaru dari lima tahun lalu melaporkan bahwa ada 8 juta rumah kosong di seluruh negeri. Jumlah ini sekitar 14 persen dari keseluruhan stok perumahan di Jepang.
ADVERTISEMENT
Namun para ahli mengatakan jumlah ini terus meningkat secara drastis. Para pakar berani menyebutkan angka 11 juta rumah tinggal sekarang. Dalam dekade berikutnya lebih dari 30 persen dari semua rumah di Jepang akan kosong atau ditinggalkan.
Krisis populasi jelas berperan di sini, tetapi persoalan lain juga tak kalah peliknya. Ada masalah valuasi. Nilai properti di Jepang berkurang dari waktu ke waktu. Ujung-ujungnya harga properti jatuh bahkan tidak bernilai sama sekali.
Hanya tanah atau lahan yang masih mempertahankan atau memiliki nilai tinggi. Karenanya banyak pemilik properti tidak ingin mempertahankan rumah yang sudah tua, meski pemerintah memberikan insentif.
Masalah warisan juga tak kalah rumitnya. Banyak properti ditinggalkan oleh ahli waris dari pemilik sebelumnya. Beberapa pemilik properti meninggal tanpa pernah menyebut pewaris. Ada yang menyerahkan properti kepada kerabat yang menolak untuk menjual, hanya karena menghormati orang tua yang memiliki rumah ini sebelumnya. Akiya yang rapuh berpotensi mendatangkan bahaya, termasuk risiko roboh. Belum lagi ini juga merusak pemandangan.
Para ahli mengatakan bahwa Akiya juga mengancam kesehatan emosional Jepang karena telah memicu banyak perselisihan keluarga. Namun pemerintah Jepang mulai melangkah merespons masalah ini. Para konsultan dilibatkan membantu konflik keluarga.
ADVERTISEMENT
Pemerintah mensubsidi pembongkaran Akiya, mengumpulkan laporan masyarakat dalam upaya memelihara properti, membangkitkan program penyadaran dan mengizinkan pemerintah daerah untuk menaikkan pajak properti yang ditinggalkan, Akiya.
Pemerintah Jepang tengah menyusun database rumah-rumah kosong, yang disebut Akiya banks, karena itu rumah-rumah yang ditinggalkan ini telah menemukan para peminat baru. Rumah-rumah ini mulai menarik perhatian klien asing yang tertarik dengan rumah-rumah Jepang. Sekarang rumah-rumah ini telah menjadi properti mewah.
Banyak klien asing yang mengincarnya. Mereka ingin melestarikan keutuhan budaya berwujud rumah antik Jepang. Tak jarang mereka membelinya dengan harga puluhan ribu dolar. Dampaknya adalah sejumlah Akiya mulai direnovasi.
Properti ini akan dihuni oleh pelbagai keluarga baru. Di lain waktu Akiya juga disewakan oleh Airbnb. Properti yang usang bagi satu orang bisa menjadi keunikan budaya bagi orang lain.
ADVERTISEMENT