Kecerdasan Buatan dan Hak Cipta

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
28 Desember 2023 8:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya masih ingin berbicara tentang kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini telah mengambil alih dunia layaknya badai berkat trik-triknya yang tak terbatas. Begitu diperintahkan, AI dapat menghasilkan resep, merencanakan liburan Anda dan menulis kode komputer, apa pun yang Anda inginkan. Tetapi dapatkah kecerdasan buatan menghasilkan penemuan atau membuat hasil karya?
ADVERTISEMENT
Penemuan selalu dianggap sebagai prestasi manusia. Ini tentang momen Eureka oleh manusia, seperti yang dilakukan oleh Thomas Edison atau Leonardo Da Vinci. Tapi hari ini pertanyaannya adalah apakah kejeniusan kreatif AI bisa sejajar dengan para ilmuwan yang sudah mengukir sejarah? Apakah AI adalah pemilik dari seni yang diciptakannya?
Pengadilan Amerika Serikat beberapa waktu lalu tidak setuju dengan ini dan telah melahirkan putusan untuk pertama kali di negara Paman Sam tersebut. Pengadilan ini menegaskan bahwa karya seni yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan tidak dapat dilindungi dengan hak cipta. Hanya karya cipta buatan manusia yang dapat dilindungi dengan hak cipta.
Apa arti putusan ini bagi seniman secara umumnya dan Hollywood khususnya? Kita menyinggung Hollywood karena para pekerja seni di sana ikut mogok dan memprotes AI. Apakah vonis ini menjadi kemenangan bagi mereka?
ADVERTISEMENT
Mungkin Anda masih ingat swafoto Naruto, seeoker monyet di Tanah Air. Pada tahun 2011 Naruto mengintip ke sebuah kamera yang kebetulan tidak dipegang oleh pemiliknya, memasukkan bucktooth smile dan menekan tombol. Tak sampai 24 jam, Naruto menjadi selebritas internet. Namun tak banyak yang menyadari tahu bahwa Naruto akan menjadi bagian dari gugatan yang panjang.
Perang yang dlancarkan Pengadilan AS atas swasfoto (selfie picture) apakah monyet itu memiliki hak atau tidak dimulai. Pengadilan memutuskan bahwa Naruto tidak mempunyai hak cipta. Naruto tidak dapat diberikan hak cipta karena hewan tidak memenuhi syarat untuk memperoleh perlindungan hak cipta. Ini adalah inti dari hak cipta yang sesungguhnya. Hanya hasil kerja yang dihasilkan manusia yang berhak menikmati copyright.
ADVERTISEMENT
Kita perlu mengemukakan kasus ini karena perang pengadilan atas hak cipta telah menciptakan gelombang yang makin besar. Dan sekarang menyangkut kecerdasan buatan. Kasus terbaru, yang juga berasal dari AS, di mana untuk pertama kalinya di negara itu pengadilan telah memutuskan bahwa sebuah karya seni yang dihasilkan oleh AI tidak mendapatkan perlindungan hak cipta. Karya seni itu adalah A Recent Entrance to Paradise.
Ini adalah sebuah gambar yang menunjukkan pemandangan rel kereta yang membentang di sebuah pedesaan. Gambar itu dibuat oleh seorang pria bernama Stephen Thaler, tapi dia tidak membuatnya sendiri. Dia menciptakan karya seni ini dengan menggunakan perangkat lunak AI. Dia kemudian menuntut hak cipta untuk itu. Dia menyatakan bahwa sistem komputer adalah penciptanya. Karena Thaler adalah si pemilik komputer, maka dia merasa layak untuk mendapatkan hak cipta.
ADVERTISEMENT
Tetapi pengadilan tidak menyepakatinya karena tidak adanya keterlibatan manusia dalam karya seni tersebut. Ini menjadi bagian dari diskusi luas tentang hak cipta AI. Ada yang mengatakan pemberian hak cipta yang memanfaatkan AI perlu diizinkan. Bagaimanapun, manusia hanya menggunakan AI sebagai alat.
Para pendukung gagasan ini berdalih keduanya tidak bisa dipisahkan. Mereka percaya bahwa penggunaan AI tersebut bakal membuka kreativitas yang berlimpah dan pelbagai eksplorasi baru. AI berguna menjadikan orang-orang yang tidak memiliki bakat artistik untuk mengekspresikan visi kreativitas mereka dengan cara yang tidak bisa mereka lakukan sebelumnya.
Tapi banyak yang menentangnya. Mereka melihat demokrasi kita dalam jurnalisme foto bahwa gambar atau lukisan menjadi tidak lagi dapat dibedakan, apakah karya yang dihasilkan nyata atau bukan? Pada akhirnya seni yang dibuat oleh AI adalah buatan mesin, bukan hasil karya manusia. Kreativitas manusia tidak boleh disepelekan.
ADVERTISEMENT
Ini juga merupakan masalah penting dalam aksi protes para penulis di Hollywood. Ada ketakutan yang meningkat bahwa AI bakal menggantikan peran penulis. Mereka melihat AI ibarat lereng yang licin yang mengantarkan para pekerja seni menuju distopia nyata yang sangat berbahaya.
Jika korporat bisnis raksasa, seperti studio-studio di Hollywood, berpikir bahwa mereka dapat menyingkirkan para pekerja seni dan menggantinya dengan kecerdasan buatan, itu jelas-jelas berbahaya, tanpa pemikiran dan hati nurani.
Sekarang dengan putusan pengadilan yang tegas ini, para pekerja seni, semisal para penulis naskah dan lain-lain, setidaknya bisa bernapas lega dan panjang. Studio tidak akan bisa mendapatkan hak cipta untuk pekerjaan yang dihasilkan oleh AI. Jika studio-studio memang berencana untuk mempekerjakan AI, putusan pengadilan tersebut akan meredam ambisi ini.
ADVERTISEMENT
Dengan tegas kita bisa menarik benang merah bahwa AI hadir bukan buat seniman dan penulis karena karya seni yang dihasilkan AI tidak dapat menggantikan seni yang diproduksi manusia, setidaknya untuk saat ini.