Konten dari Pengguna

Kerusuhan Prancis dan Imigrasi

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
15 Juli 2023 19:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Kerusuhan meletus di pinggiran kota Paris Nanterre setelah seorang anak berusia 17 tahun ditembak oleh polisi © Aurelien Morissard/AP
zoom-in-whitePerbesar
Kerusuhan meletus di pinggiran kota Paris Nanterre setelah seorang anak berusia 17 tahun ditembak oleh polisi © Aurelien Morissard/AP
Perancis kini membara. Sumber kerusuhan ini berawal dari penembakan seorang remaja keturunan Aljazair-Maroko bernama M Nahel (17) pada Selasa (27/6/2023). Tetapi sebetulnya apinya sudah membesar sebelum peristiwa naas itu berlaku. Persoalannya terbuhul dengan imigrasi. Kita perlu memahami hal ini di luar demografi biner kanan-kiri masyarakat Perancis yang telah banyak berubah dalam beberapa dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
Saat ini ada tujuh juta imigran di Perancis, yakni sepuluh persen dari keseluruhan populasi. Satu di antara sepuluh orang Perancis adalah imigran. Persoalan ini sendiri sudah sangat lama di Perancis. Orang-orang mulai bermigrasi ke Peancis pada tahun 1830-an. Perancis pada abad ke-20 dianggap sebagai negara paling terbuka di Eropa. Banyak dari migran ini berasal dari koloni Perancis, seperti Aljazair, Maroko dan Tunisia.
Selama dua kali perang dunia, Perancis membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Di sinilah pintu dibuka buat para imigran. Tapi ini adalah hubungan kolonial. Perancis adalah kekuatan yang menaklukkan, sementara para imigran Arab dan Afrika hanyalah tenaga kerja. Itu bukan hubungan yang setara. Sikap ini merupakan akar dari masalah hari ini karena Perancis tidak pernah meminta maaf atas penjajahannya pada masa lalu. Perancis tidak menerima kejahatan perangnya di Afrika Utara dan juga menolak untuk membayar reparasi.
ADVERTISEMENT
Hingga kini para pemimpin Perancis tidak melihat adanya masalah dengan kolonialisasi masa lalu. Mereka mengatakan Prancis adalah tanah kesetaraan, kebebasan, persaudaraan, dan istana hak-hak sipil. Seolah negara ini tidak memberikan ruang bagi diskriminasi. Para pemimpin Perancis percaya ini. Hal ini, sebagai misal, dibuktikan lewat sensus penduduk. Di Perancis melakukan sensus atau survei berdasarkan ras dan agama dianggap ilegal, sehingga masyarakat Perancis dibuat buta dan abai dengan ras dan agama.
Ini tidak memecahkan masalah sebab pemerintah Perancis tidak mengakui kejahatan kolonialnya di masa lalu. Pada tahun 1975 sekitar enam persen dari populasi Perancis berasal dari imigran asing. Keadaan ini tidak mengalami lonjakan berarti dari tahun 1975 hingga 2000. Tetapi pada abad ke-21 terjadi pertumbuhan yang cepat. Hari ini para imigran mencapai angka sepuluh persen. Bagaimana dengan profil demografi imigran di Perancis? Sekitar 13% adalah keturunan Aljazair, 11,9% berasal dari Maroko, 4,4% dari Tunisia dan 3,8 persen dari Turki.
ADVERTISEMENT
Kedatangan para imigran bukan tanpa diundang. Perancis membutuhkan para imigran ini. The New York Times (2022) menulis bahwa sekitar 400.000 pekerjaan kosong di Perancis karena tidak ada orang yang bekerja. Presiden Emmanuel Macron meningkatkan batas usia pensiun juga salah satunya karena kekurangan tenaga kerja. Jadi Prancis membutuhkan tenaga kerja asing. Itulah sebabnya jutaan orang berbondong-bondong ke Perancis dalam dua dekade terakhir.
Perancis memang masih menghadapi gelombang imigrasi ilegal. Banyak yang menyelinap masuk dan hidup sebagai imigran tanpa dokumen resmi. Ada sekitar dua ratus ribu pendatang ilegal pada tahun 2014, dan sekarang angkanya lebih dari empat ratus ribu. Kebanyakan mereka tinggal di kantong-kantong yang saling berdekatan dan melakukan pekerjaan tidak tetap. Tahun ini Prancis mengesahkan undang-undang imigrasi baru. Pada satu sisi undang-undang ini mempermudah legalisasi imigran tanpa dokumen resmi, namun pada pada sisi lain undang-undang ini mendukung deportasi di perbatasan. Lagi-lagi ini mendorong banyak pendatang asing mendarat di Perancis.
ADVERTISEMENT
Perangkap Asimilasi
Kebijakan asimilasi untuk mengintegrasikan para imigran ini ke dalam masyarakat Perancis nyatanya terseok-seok. Ada dua jenis masyarakat di dunia terkait dengan relasi warga negara dan pendatang. Pertama adalah masyarakat di mana keragaman diterima dan dipromosikan. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia memberikan kebebasan kepada warganya menjalani hidup berdasarkan budaya masing-masing. Yang kedua adalah masyarakat yang menerapkan 'one size fits all' (satu ukuran untuk semua orang), seperti Perancis. Tidak penting apakah Anda seorang Muslim, berasal dari Afrika atau Arab, Anda harus mengubah budaya Anda untuk tinggal di Perancis. Anda harus menjadi orang Prancis. Tidak semua orang tertarik dengan ini. Pendekatan ini telah menyebabkan para imigran kian teralienasi, bahkan juga telah menciptakan perpecahan.
ADVERTISEMENT
Negara-negara Eropa lainnya relatif lebih baik memperlakukan para pendatang. Jerman memiliki sekitar dua puluh empat persen imigran dari keseluruhan populasinya, namun para pendatang berintegrasi jauh lebih baik. Ini berbeda dengan Perancis yang menghadapi dua persoalan utama. Di satu sisi para imigran tidak terintegrasi ke dalam masyarakat. Di sisi lainnya meningkatnya ketakutan di antara warga kulit putih Perancis. Banyak dari mereka hidup tidak nyaman; bagaimana jika mereka menjadi minoritas di negaranya sendiri, bagaimana jika Perancis menjadi negara Muslim. Ketakutan ini tersebar luas dan tercermin dalam kebangkitan partai sayap kanan Perancis. Kelompok ini sangat anti-imigrasi dan ketakutan mereka sering bergandengan dengan rasisme.
Business Insider (2020) melaporkan bahwa dua dokter Perancis terkemuka dalam sebuah acara TV mengusulkan agar vaksin Covid-19 diuji terlebih dahulu pada orang-orang miskin Afrika. Mereka menilai benua Afrika sebagai labor uji raksasa. Ini menunjukkan betapa rasisme begitu mendarah daging di sementara warga kulih putih Perancis. Sikap ini kian kentara dalam pendekatan yang dijalankan kepolisian Perancis. Orang kulit hitam dan Arab dua puluh kali lebih mungkin ditangkap oleh polisi daripada orang kulit putih. Dalam tiga tahun terakhir telah terjadi dua puluh satu aksi penembakan fatal oleh polisi, sebagian besar korbannya adalah orang kulit hitam atau Arab.
ADVERTISEMENT
Perancis tidak dapat terus bersembunyi di balik nilai-nilai revolusionernya yang hanya diciptakan untuk warga kulit putih. Ini tidak mencerminkan Perancis modern. Jangan lupakan tiga moto utama ketika Konstitusi Perancis dibuat pada 1848—liberté (kebebasan), égalité (keadilan) dan fraternité (persaudaraan). Sekarang adalah momen penting dalam sejarah Perancis bahwa para pemimpin Perancis harus menerima bahwa negaranya telah berubah. Bila dahulu mereka mendatangkan orang-orang jajahan sebagai tenaga kerja murah, kini saatnya pemerintah Perancis memberi ruang yang lebih luas bagi para pendatang. Jika tidak siklus kekerasan bakal berlanjut.