Konten dari Pengguna

Melawan Budaya Kerja Beracun

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
23 September 2024 18:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Shuttertstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Shuttertstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bayangkan hidup di mana kelelahan begitu mendalam sehingga sekadar "berbaring" terasa seperti tindakan pemberontakan. Inilah realitas bagi banyak anak muda di China. Fenomena "berbaring rata" ini adalah bentuk protes diam terhadap budaya kerja yang tak kenal ampun.
ADVERTISEMENT
Mereka yang memilih berbaring, entah di sofa, taman, atau di mana pun mereka menemukan ketenangan, secara aktif menolak tekanan untuk terus produktif. Di tengah masyarakat yang memuja kerja keras dan persaingan tanpa henti, kemalasan menjadi bentuk perlawanan yang kuat.
Gambar seorang wanita bepergian dengan infus di tangannya menjadi simbol menyedihkan dari budaya ini. Terpaksa bekerja meski kesehatannya memburuk, kisahnya adalah cerminan dari banyak pekerja di China. Kelelahan telah menjadi epidemi, dan "berbaring rata" adalah jeritan pilu untuk perubahan.
Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan antara kerja dan istirahat. Ini adalah pengingat bahwa kesehatan dan kesejahteraan kita tidak boleh dikorbankan demi produktivitas. Saat anak muda China memilih untuk berbaring, mereka mengirimkan pesan yang jelas: sudah waktunya untuk berhenti dan beristirahat.
ADVERTISEMENT
Di tengah krisis pengangguran yang mencekam, di mana satu dari lima anak muda di perkotaan China berjuang mencari pekerjaan, tekanan untuk mempertahankan pekerjaan yang ada semakin meningkat. Pasar kerja yang menyusut dan gaji yang menurun memaksa banyak orang untuk bekerja tanpa henti, rela mengorbankan kesehatan mereka demi bertahan hidup.
Gambaran pekerja yang melakukan perjalanan dengan infus di tangan menjadi simbol nyata dari betapa beracunnya budaya kerja di China saat ini.
Ironisnya, budaya kerja yang melelahkan ini pernah dipuja-puja. Jack Ma, taipan teknologi terkemuka, bahkan menyebut sistem kerja "996" sebagai "berkah". 996, di mana karyawan bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam selama 6 hari seminggu, telah lama menjadi norma di berbagai sektor industri.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik gemerlap kesuksesan ekonomi, pemerintah China akhirnya menyadari dampak merusak dari budaya kerja berlebihan ini. Pada tahun 2021, mereka mengeluarkan peringatan tegas kepada perusahaan-perusahaan yang menerapkan jam kerja ekstrem, menyatakan bahwa praktik tersebut ilegal.
Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa China mulai mengakui perlunya perubahan, bahwa kesejahteraan pekerja tidak boleh dikorbankan demi mengejar pertumbuhan ekonomi semata.
Peringatan ini menandai titik balik penting dalam perjuangan melawan budaya kerja beracun di China. Meskipun masih banyak tantangan di depan, ini adalah langkah awal yang positif menuju lingkungan kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Meskipun ada peraturan yang jelas mengenai jam kerja, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Undang-undang ketenagakerjaan China menetapkan hari kerja standar delapan jam dan maksimum 44 jam seminggu, dengan kompensasi tambahan untuk lembur.
ADVERTISEMENT
Namun, implementasinya masih lemah, terutama di perusahaan-perusahaan besar. Budaya kerja berlebihan terus merajalela, didorong oleh sikap pemerintah yang longgar dan narasi budaya "hustle" yang mengglorifikasi kerja tanpa henti.
Budaya ini menanamkan keyakinan bahwa selalu ada sesuatu yang lebih untuk dikejar: lebih banyak uang, gelar yang lebih tinggi, atau pencapaian yang lebih besar. Pekerja didorong untuk terus berusaha lebih keras, tanpa pernah berhenti atau merasa puas.
Namun, dampaknya terhadap kesehatan fisik dan mental sangatlah nyata. Kelelahan, stres, dan gangguan kesehatan lainnya menjadi harga mahal yang harus dibayar.
Yang lebih memprihatinkan, budaya kerja beracun ini bukan hanya masalah di China. Di seluruh dunia, banyak pekerja terjebak dalam lingkaran setan produktivitas tanpa akhir. Tekanan untuk terus berprestasi dan bersaing membuat mereka mengorbankan keseimbangan hidup dan kesejahteraan mereka.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menunjukkan perlunya perubahan mendasar dalam cara kita memandang kerja dan kesuksesan. Sudah saatnya kita memprioritaskan kesehatan dan kesejahteraan, bukan hanya produktivitas semata. Hanya dengan begitu kita dapat menciptakan budaya kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan, baik di China maupun di seluruh dunia.
Di seluruh dunia, budaya kerja berlebihan telah merajalela. Sebuah studi mengungkapkan bahwa rata-rata pekerja di seluruh dunia melakukan 9,2 jam lembur tidak dibayar setiap minggu. Negara-negara seperti Gambia, Mongolia, Maladewa, Qatar, dan India bahkan memiliki minggu kerja yang melebihi 48 jam, menempatkan mereka di antara negara-negara dengan pekerja paling kelelahan di dunia.
Di Asia Timur, Korea Selatan dan Jepang menjadi contoh nyata dari dampak budaya kerja yang keras. Pekerja Korea Selatan rata-rata bekerja lebih dari 1.900 jam per tahun, hampir 200 jam lebih banyak dari rata-rata OECD. Sementara itu, pekerja Jepang juga menghabiskan lebih dari 1.600 jam per tahun di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Budaya kerja yang berlebihan ini memiliki konsekuensi yang mengerikan. "Kematian akibat terlalu banyak bekerja" atau "karoshi" menjadi fenomena yang sering dilaporkan di kedua negara tersebut.
Pekerja benar-benar bekerja hingga titik di mana nyawa mereka terancam. Bahkan jika tidak sampai meninggal, kerja berlebihan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius jangka panjang, seperti nyeri tubuh kronis, stroke, penyakit jantung, diabetes tipe 2, kecemasan, dan depresi.
Data-data ini menggambarkan gambaran yang mengkhawatirkan tentang dampak budaya kerja berlebihan terhadap kesehatan dan kesejahteraan pekerja di seluruh dunia. Sudah saatnya kita mempertanyakan dan mengubah paradigma kerja yang mengorbankan kesehatan dan kebahagiaan demi produktivitas semata.
Budaya kerja modern seringkali memperlakukan individu sebagai roda gigi dalam mesin raksasa, bagian yang bisa diganti-ganti, yang dipaksa bekerja tanpa henti dalam lingkungan yang tidak manusiawi.
ADVERTISEMENT
Kita terjebak dalam lingkaran setan motivasi palsu, terus-menerus didorong untuk "bangkit dan bekerja keras", "bergerak cepat dan mendobrak batasan", dan "berjuang lebih keras". Tanpa sadar, kita telah menjadi bagian dari kultus kerja berlebihan, di mana kelelahan, bahkan kematian, menjadi risiko yang kita terima demi mengejar kesuksesan.
Namun, sudah saatnya kita berhenti sejenak dan mempertanyakan sistem yang menuntut kita untuk "bekerja sampai jatuh". Kita perlu melihat dengan jujur realitas tempat kerja kita, di mana kerja berlebihan dipuja-puja dan nilai diri kita diukur dari seberapa banyak kita berkorban untuk pekerjaan. Kita perlu menyadari bahwa kerja berlebihan, meskipun sering dianggap sebagai jalan menuju kesuksesan, memiliki harga yang sangat mahal.
Harga yang kita bayar bukan hanya kesehatan fisik dan mental yang tergerus, tetapi juga waktu yang hilang bersama orang-orang terkasih, kesempatan untuk mengejar minat pribadi, dan kualitas hidup yang terabaikan.
ADVERTISEMENT
Kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah kesuksesan yang kita kejar sepadan dengan pengorbanan yang kita lakukan? Apakah kita benar-benar ingin hidup dalam budaya yang mengorbankan kemanusiaan kita demi produktivitas semata?
Sudah saatnya kita mengubah paradigma ini. Kita perlu menciptakan budaya kerja yang menghargai keseimbangan, kesehatan, dan kebahagiaan. Kita perlu menyadari bahwa nilai kita sebagai manusia tidak ditentukan oleh pekerjaan kita, dan bahwa kesuksesan sejati adalah ketika kita dapat hidup dengan penuh makna dan keseimbangan.