Mencederai Monumen Bersejarah

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2023 5:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apakah Anda mengetahui seni tertua di dunia? Jawabannya adalah grafiti. Ia pertama kali muncul di dinding gua ribuan tahun yang lalu. Seni ini dipopulerkan oleh orang Romawi dan Yunani kuno. Mereka menulis puisi protes di bangunan. Grafiti membantu menunjukkan tanda keberadaan manusia.
ADVERTISEMENT
Grafiti memiliki makna historis, tetapi ia juga bisa merusak pemandangan. Terkadang grafiti menginformasikan kita tentang suatu peradaban, bukan hanya peradaban kuno tapi juga peradaban kontemporer saat ini. Silakan kunjungi monumen terdekat di kota Anda, maka Anda akan kaget menyaksikan apa yang telah berlaku atau terjadi terhadap bangunan itu.
Dinding monumen akan menjadi saksi tentang buruknya vandalisme. Lihatlah betapa meruyaknya tulisan atau komentar tentang apapun itu. Adakalanya kita menemukan gambar pendek dan melengkung seperti nama presiden yang diikuti oleh cercaan. Kadang-kadang hanya goresan yang menunjukkan nama-nama orang yang berkunjung ke sana.
Beberapa minggu yang lalu Colosseum dirusak oleh seorang gadis asal Swiss. Colosseum adalah monumen bersejarah di Roma. Gadis itu membubuhkan inisial namanya berbentuk ukiran. Kini polisi tengah mengadakan penyelidikan. Gadis asal Swiss ini terancam menjalani kurungan lima tahun di balik jeruji besi, ditambah denda sekitar US$7000.
Suasana Colosseum yang dibuka kembali setelah ditutup sementara akibat pandemi, di wilayah Lazio, Roma, Italia, Selasa (1/2). Foto: Yara Nardi/REUTERS
Ini terjadi kurang sebulan dari kejadian serupa lainnya; seorang turis mengokohkan cintanya dengan menulis namanya dan nama kekasihnya di monumen kuno ini. Terus terang ini memang mengerikan.
ADVERTISEMENT
Menurut pengakuan pria itu, dia tidak tahu berapa umur Colosseum itu. Dia menulis permintaan maaf kepada wali kota Roma. Sayang sekali, monumen yang berusia hampir 2000 tahun itu tidak berbicara dengannya.
Usia Colosseum ini seyogyanya menjadi alasan yang cukup untuk para pengunjung agar berhati-hati, tidak ceroboh dan bersikap menghargai warisan bersejarah. Seolah-olah selama masih ada monumen, selama itu orang-orang akan merusak, mencoret dan dan mengotorinya.
Ini adalah fenomena di seluruh dunia. Itu muncul dalam segala bentuk, besar dan kecil. Ia menimpa nyaris semua jenis mercu tanda (landmark), baik kuno maupun modern.
Ilustrasi wanita yang berjalan menuju kuil Jepang. Foto: Travelpixs/Shutterstock
Bulan lalu seorang remaja Kanada mengukir sebuah huruf di kuil Jepang, sebuah kuil abad ke-8. Dia merusaknya dengan kuku, tidak perlu usaha keras.
ADVERTISEMENT
Namun dalam kasus vandalisme 2017, korbannya adalah mercu tanda modern. Sarana maupunya caranya cukup kreatif. Tulisan ‘Hollywood’ yang terkenal di Los Angeles diubah menjadi ‘Hollyweed.’ Ia menjadi lelucon Tahun Baru kala itu.
Orang jarang menulis sesuatu yang mendalam ketika mengotori monumen dan mercu tanda. Orang bisa saja mengatakan ada pesan yang kuat dalam setiap grafiti, seperti tindakan mengotori Makam Humayun di India atau Candi Borobudur di Indonesia dengan nama kekasih Anda.
Ia bukan untuk mendapatkan kekayaan atau pujian yang luar biasa. Jadi, hemat mereka, coretan dan goresan ini bisa dilihat sebagai bentuk seni yang paling murni atau bentuk cinta yang sejati.
Sulit untuk memahami mengapa orang merusak monumen, apa alasan mereka melakukannya? Tidak pernah ada alasan yang cukup baik untuk perbuatan ini.
ADVERTISEMENT
Monumen bersejarah sering dirusak karena kebodohan belaka. Kadang-kadang bercampur dengan kegilaan, kenekatan, dan daya tarik yang memabukkan. Pada 2011 sejumlah seniman jalanan mengubah patung tentara Soviet di Bulgaria.
Mereka mengubahnya menjadi Tableau berwarna dari karakter buku komik. Atau seperti apa yang terjadi di Inggris beberapa bulan lalu, ketika krayon biru dicoretkan di seluruh patung telanjang abad ke-18, sebuah level artistik yang berbeda dan tentunya menunjukkan kompetensi para pelaku. Tapi tidak ada masyarakat yang menyambut hangat aksi ini.
Ada juga yang merusak monumen atas nama protes, seperti kasus Washington Monumen tahun lalu. Bangunan ini diolesi dengan cat merah lengkap dengan cercaan vulgar anti-pemerintah.
Ilustrasi Vandalisme Foto: Shutter Stock
Contoh vandalisme protes yang lebih besar terjadi pada 2020, ketika pengunjuk rasa datang untuk meruntuhkan patung. Beberapa patung ini ada yang terbuat dari batu, yang lain terbuat dari perunggu. Patung-patung tersebut sudah berdiri di sana selama lebih dari satu abad. Patung-patung tetap kokoh terlepas dari peredaran waktu.
ADVERTISEMENT
Namun patung-patung ini tidak bisa menang melawan protes anti-rasisme dan kekerasan polisi. Patung-patung ini akhirnya dirobohkan, dibakar, dan diwarnai.
Di sinilah kontradiksinya. Dalam kedua kasus di atas alasannya sama, protes. Ketika perusakan Monumen Washington tidak diinginkan, dunia dengan senang hati menantang patung-patung ini karena mereka mewakili warisan ketidakadilan.
Kita melihat monumen adalah karya seni. Tapi merusaknya juga bisa dianggap seni, sebuah cara untuk mengekspresikan diri. Kita bisa berdebat tentang itu. Terkadang aksi ini menggiring orang ke dalam penjara, di lain waktu tindakan itu dipuji karena ini sepenuhnya kontekstual.
Namun demikian, mengukir nama seseorang di makam kuno atau monumen hanyalah menegaskan kebodohan. Tindakan itu adalah pencemaran dan perusakan pesan besar di balik monumen bersejarah.
ADVERTISEMENT