Konten dari Pengguna

Menyongsong Kecerdasan Buatan

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
17 Juli 2023 13:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Apakah kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau lebih dikenal dengan AI berbahaya, semisal mengambil alih banyak pekerjaan manusia? Ini memang terdengar mengkhawatirkan. Tapi saya tahu Anda pernah mendengar ihwal ini sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Jadi, bisakah kecerdasan buatan benar-benar mengambil pekerjaan Anda? Laporan baru mengatakan bisa. Laporan ini dirilis oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), yakni Organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan.
Lembaga ini adalah blok yang beranggotakan 38 negara, sebagian besar terdiri dari negara-negara maju dan kaya. Tetapi beberapa negara berkembang juga menjadi bagian.
Berdasarkan kajian yang dilakukan OECD ditemukan bahwa berbagai pekerjaan kena imbas atau bisa berisiko karena kecerdasan buatan. Kajian ini menekankan bahwa pekerjaan terbilang yang sangat terampil (highly skilled) paling terpengaruh, semisal profesi-profesi di bidang hukum, kedokteran, keuangan, dan teknik.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Jika Anda bekerja dalam pekerjaan yang membutuhkan keahlian, Anda berada dalam bahaya. Ada yang menyebut bahwa 27 % dari semua pekerjaan berisiko tinggi, yang berarti pekerjaan tersebut dapat dengan mudah diganti atau diambil alih dengan robotisasi.
ADVERTISEMENT
Tiga dari lima pekerja merasa kecerdasan buatan dapat merampas pekerjaan mereka. Namun apakah itu akan segera terjadi? Jawabannya tidak.
Kita melihat kecerdasan buatan masih dalam tahap awal. Lihat saja bagaimana Chad GPT, sebuah aplikasi yang mulai mengambil alih dunia. Pada dasarnya kita berada di anak tangga pertama.
Ini bukan tentang apakah revolusi kecerdasan buatan akan terjadi. Ini tentang kapan itu akan terjadi. Lebih penting lagi adalah bagaimana hal itu akan berdampak pada kita. Lihatlah bagaimana aksi-aksi bersih sudah dimulai.
Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Beberapa hari lalu, sebuah startup India bernama Dukaan menjadi berita utama. Perusahaan ini baru saja merumahkan 90 persen stafnya. Mengapa? Karena mereka digantikan dengan AI Chatbot.
Tentu saja keputusan itu mengundang reaksi balik dan protes. Bayangkan saja sebuah perusahaan memecat 90 karyawannya. Jelas orang marah. Mau tak mau ini memaksa pendiri dan CEO Dukaan, Suumit Shah, untuk bicara.
ADVERTISEMENT
Dia menyebut ini keputusan yang sulit tetapi perlu diambil demi beradaptasi dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Lebih lanjut dia mengatakan langkah itu akan membantu mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi.
Kecerdasan buatan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pekerja manusia. Tentu saja yang paling jelas adalah biaya. Sebagian besar program kecerdasan buatan gratis. Anda tidak perlu membayarnya alias memberinya gaji.
ilustrasi PHK. Foto: Shutterstock
Program-program kecerdasan buatan juga bekerja jauh lebih cepat. Mereka memiliki kemampuan memproses informasi seribu kali lebih cepat daripada otak manusia. Jadi, lagi-lagi menurut Suumit Shah, kecerdasan buatan tak butuh kemampuan otak (no-brainer).
Dalam konteks ini, Suumit Shah tidak sendirian. Pada Mei lalu, sebuah perusahaan Amerika mengumumkan PHK. Lebih dari 80.000 orang diberhentikan.
ADVERTISEMENT
Hampir empat ribu dari mereka disebabkan oleh kecerdasan buatan. Artinya, sekitar lima persen pekerjaan hilang lantaran kecerdasan buatan. Ini menyisakan kita pertanyaan, apa arti semua ini bagi pekerjaan kita?
Kita menyaksikan setiap kali teknologi baru muncul selalu dibarengi dengan ketakutan; takut kehilangan pekerjaan atau takut bahwa teknologi baru akan mengambil alih dunia. Hal ini kita dapati dengan penemuan dan kedatangan komputer, internet dan sekarang dengan kecerdasan buatan.
com-Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). Foto: Shutterstock
Faktanya adalah bahwa kecerdasan buatan tidak sepenuhnya akan mengambil alih pekerjaan kita. Ia akan membuat kelebihan sejumlah pekerjaan sekaligus pada saat yang sama menciptakan pekerjaan baru.
Sebuah studi yang dilakukan Goldman Sachs mengungkapkan bahwa kecerdasan buatan akan menciptakan disrupsi bagi 300 juta pekerjaan. Bayangkan angka 300 juta.
ADVERTISEMENT
Tapi tidak semua kecerdasan buatan adalah kisah malapetaka dan kesuraman. Banyak yang tetap percaya akan manfaat dan potensi besar kecerdasan buatan di sektor-sektor profesional, semisal kedokteran dan teknik.
Sebuah laporan memperkirakan bahwa kecerdasan buatan dapat menciptakan peningkatan PDB global hingga tujuh persen. Pelbagai perusahaan mulai berinvestasi lebih banyak lagi dalam kecerdasan buatan.
Perusahaan layanan IT Wipro, sebagai contoh, telah menginvestasikan satu miliar dolar selama tiga tahun ke depan. Jelas akan ada pekerjaan baru, semoga saja ragam pekerjaan yang lebih baik.
Juga akan ada kebutuhan bagi para ilmuwan, ahli etika dan insinyur kecerdasan buatan. Mereka adalah kaum profesional yang dapat melatih beragam model kecerdasan buatan.
Jadi bagaimana kita mempersiapkan masa depan kecerdasan buatan ini? Langkah pertama adalah menyiapkan regulasi. Pemerintah harus melangkah cepat untuk mengatur kecerdasan buatan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Kita sudah kecolongan dengan media sosial, tetapi kali ini pemerintah harus bertindak tepat waktu untuk membantu para pekerja bersiap menyongsong perubahan. Ini bisa dimulai dengan menata upah minimum.
Ini bisa meringankan tekanan yang datang dari teknologi. Yang kedua terkait dengan hak-hak para pekerja. Pemerintah harus memastikan hak-hak para pekerja bukan untuk dikompromikan.
Kita perlu menegakkan aturan bukan untuk mengekang kecerdasan buatan tetapi untuk membuat pagar penjaga yang melindungi banyak orang. Alhasil, kecerdasan buatan adalah masa depan yang tidak bisa kita abaikan.