Konten dari Pengguna

Pajak Kucing di Nairobi

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
2 Oktober 2024 8:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Shuttertstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Shuttertstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mari kita alihkan pandangan kita ke benua Afrika, tepatnya ke Kenya. Di sana, kehidupan sehari-hari tampaknya mulai kembali normal setelah gejolak protes yang sempat melanda. Namun, pertempuran sengit melawan rencana pajak kontroversial masih berkecamuk, terutama di Nairobi, ibu kota yang ramai.
ADVERTISEMENT
Warga Nairobi kini tengah geram menghadapi RUU baru yang mengusulkan pungutan yang mereka sebut "pajak kucing". Pajak? Kata itu sendiri sudah cukup untuk membuat warga Kenya meradang, apalagi dengan adanya RUU yang dianggap sangat memberatkan ini. Ketidakpuasan mereka sudah tak terbendung lagi.
Jika Anda belum menangkap permainan kata-kata yang saya gunakan, izinkan saya menjelaskannya. Pajak kucing yang dimaksud sebenarnya bukanlah pajak dalam arti sebenarnya, melainkan semacam retribusi tahunan yang dibebankan kepada pemilik kucing peliharaan. Besarnya pun tidak seberapa, hanya 200 Shilling Kenya, atau sekitar 1,50 dolar AS.
Namun, kemarahan warga Nairobi bukanlah semata-mata tentang uang. Yang membuat mereka geram adalah daftar panjang persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemilik kucing.
ADVERTISEMENT
Mereka diwajibkan mendaftarkan kucing mereka, mendapatkan lisensi tahunan, membayar retribusi, memberikan bukti vaksinasi rabies, dan bahkan mengendalikan perilaku kucing mereka.
Bayangkan, kucing-kucing Kenya yang biasanya bebas berkeliaran kini harus dikurung saat sedang birahi, dilarang mengeong terlalu keras, dan tidak boleh mengganggu tetangga. Seolah-olah pemerintah ingin mengubah kucing-kucing liar menjadi kucing rumahan yang penurut!
Sementara itu, Kenya sedang menghadapi berbagai masalah serius, seperti ketidakstabilan politik, krisis ekonomi, korupsi yang merajalela, kerawanan pangan, bencana kekeringan, dan rasa putus asa yang meluas di masyarakat. Namun, di tengah semua masalah itu, pemerintah Nairobi justru sibuk mengurusi kucing yang sedang birahi.
Kedengarannya memang aneh, tapi pemerintah tampaknya tidak bergeming. Mereka berdalih bahwa populasi kucing yang tak terkendali di Nairobi berkontribusi pada tingginya angka kematian akibat rabies, yang mencapai 2.000 kasus per tahun di seluruh negeri. Meskipun alasan ini ada benarnya, tetap saja kebijakan ini terasa tidak masuk akal dan tidak tepat waktu bagi banyak warga Nairobi.
ADVERTISEMENT
Meskipun pemerintah Nairobi memiliki alasan yang masuk akal untuk mengendalikan populasi kucing, warga tetap merasa marah dan kecewa. Mereka menginginkan kebijakan yang lebih fokus pada peningkatan kesejahteraan kucing, bukan malah membebankan pajak kepada pemiliknya.
Warga merasa dikhianati, terutama karena mereka pernah dikecewakan oleh rencana pajak sebelumnya. Kini, kemarahan mereka berlipat ganda.
Para kritikus juga menyoroti berbagai masalah dalam RUU ini. Mereka berpendapat bahwa undang-undang ini akan sulit ditegakkan, terlalu membatasi kebebasan kucing, dan melibatkan proses birokrasi yang rumit serta biaya yang memberatkan.
Hal ini dikhawatirkan akan mendorong banyak pemilik untuk meninggalkan kucing mereka, yang justru bertentangan dengan tujuan awal RUU tersebut.
Akankah Nairobi tetap melanjutkan rencana kontroversial ini? Kita akan segera mengetahuinya dalam beberapa minggu mendatang. Jika mereka memutuskan untuk tetap memberlakukan "pajak kucing" ini, Kenya akan bergabung dengan daftar panjang negara-negara dengan kebijakan pajak yang aneh dan tak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Selain Kenya, ada beberapa negara lain yang memiliki kebijakan pajak yang tak kalah unik dan menarik perhatian. Italia, misalnya, memiliki apa yang disebut "pajak sinar matahari".
Jika Anda ingin menikmati hidangan lezat di bawah hangatnya sinar matahari Italia, bersiaplah untuk merogoh kocek lebih dalam, karena Anda akan dikenakan biaya tambahan.
Di Kanada, pemilik rumah yang tidak memanfaatkan properti mereka secara optimal juga harus membayar "pajak rumah kosong". Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong penggunaan properti yang lebih efisien dan mengatasi masalah perumahan yang kosong.
Sementara itu, Denmark sedang merencanakan pajak yang mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang: pajak kentut sapi. Pajak ini ditujukan untuk mengurangi emisi metana dari peternakan sapi, yang merupakan salah satu penyumbang utama gas rumah kaca.
ADVERTISEMENT
Meskipun belum diterapkan, pajak ini sudah memicu perdebatan tentang bagaimana cara terbaik untuk mengatasi perubahan iklim.
Mari kita kembali ke masa lalu, di mana kebijakan pajak tak kalah anehnya pernah diterapkan. Pada abad ke-18, Rusia memberlakukan "pajak jenggot," yang mengharuskan pria membayar sejumlah uang jika ingin mempertahankan jenggot mereka yang maskulin.
Sementara itu, di Inggris, Prancis, dan Irlandia antara abad ke-17 hingga ke-19, ada yang namanya "pajak jendela." Semakin banyak jendela yang dimiliki sebuah rumah, semakin tinggi pula pajak yang harus dibayar.
Untuk menghindari beban pajak yang mencekik ini, banyak orang terpaksa menutup sebagian jendela mereka dengan batu bata. Inilah mengapa hingga kini, kita masih bisa menemukan rumah-rumah tua di Eropa dengan tampilan yang unik dan terkadang membingungkan, di mana beberapa jendela terlihat tertutup rapat.
ADVERTISEMENT
Pajak jendela ini menjadi pengingat akan bagaimana orang-orang di masa lalu berusaha mati-matian untuk menghindari beban pajak yang dianggap tidak adil.
Meskipun semua pajak pada dasarnya memberatkan, setidaknya kita bisa menertawakan keanehan beberapa kebijakan pajak di masa lalu. Humor, mungkin, adalah salah satu cara untuk bertahan menghadapi kenyataan pahit tentang pajak.