Penjajahan Baru di Pasifik

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
31 Juli 2023 18:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Vanuatu Foto: Shutter stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Vanuatu Foto: Shutter stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kepulauan Pasifik belakangan menjadi kian panas dan heboh. Beberapa waktu lalu Presiden Prancis Emmanuel Macron mengujungi kawasan itu. Dia mengadakan kunjungan resmi selama lima hari ke wilayah tersebut. Pertama-tama dia singgah di Vanuatu. Negara ini berada di barat daya Samudra Pasifik. Populasi penduduk Vanuatu sekitar 330.000 jiwa.
ADVERTISEMENT
Macron mendapatkan sambutan secara tradisional oleh pemerintah Vanuatu. Dia menghadiri acara budaya. Dia mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Vanuatu dan kemudian dia membuat pernyataan yang dengan cepat menjadi headline di pelbagai surat kabar dan saluran TV.
Presiden Prancis itu mengatakan ada imperialisme baru di Pasifik. Dia mengatakan imperialisme ini baru muncul di Indo-Pasifik, khususnya di Oceania. Logika kekuasaan tersebut, hematnya, mengancam kedaulatan banyak negara-negara kecil dan rapuh. Jadi apa sebenarnya yang Macron bicarakan dan sasar?
Pasifik telah menjadi medan pertempuran baru. Secara tradisional kawasan ini adalah halaman belakang Amerika, tetapi dalam dekade terakhir China telah membuat langkah raksasa. Bulan ini China menandatangani kesepakatan kepolisian dengan pemerintah Kepulauan Solomon.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya Amerika Serikat juga membuat kesepakatan. Amerika Serikat telah menandatangani perjanjian pertahanan dengan Papua Nugini. Sejumlah pejabat tinggi Joe Biden mengunjungi Pasifik. Menteri Luar Negeri Anthony Blinken mendatangi Tonga. Menteri Pertahanan Lloyd Austin berada di Papua Nugini. Pertanyaannya, Macron berada di sisi mana?
Presiden Prancis Emmanuel Macron tiba saat ia dilantik untuk masa jabatan kedua sebagai presiden setelah terpilih kembali, dalam upacara di Istana Elysee di Paris, Prancis, Sabtu (7/5/2022). Foto: Gonzalo Fuentes/REUTERS
Orang akan berpikir dia bersama dengan Amerika, tetapi nyatanya tidak. Presiden Prancis ini menawarkan alternatif. Dia menentang hegemoni dan konfrontasi. Namun yang dijalankannya adalah cara dan gaya Prancis. Pertanyaannya adalah mampukah dia mendukungnya?
Prancis sudah lama hadir di Samudra Pasifik. Ini bukan tentang kapal perang atau kapal induk. Prancis memiliki negara berdaulat di wilayah tersebut: Kaledonia Baru, Polinesia Prancis, Wallace, dan Futuna. Prancis memiliki wilayah-wilayah ini. Ada sekitar 1,6 juta warga Prancis tinggal di sini.
ADVERTISEMENT
Zona ekonomi eksklusif negara-negara tersebut hampir mencapai 9 juta kilometer persegi. Prancis adalah bagian dari kekuatan Pasifik, lalu mengapa deklarasi Macron ini menjadi problematis dan ironis?
Benar bahwa ada imperialisme baru di wilayah ini. Amerika mengambil alih pangkalan militer, sementara China mengambil alih tugas kepolisian, lalu landasan moral apa yang dimainkan oleh Prancis?
Kawasan Pasifik ini adalah bekas kolonialisme Prancis. Beberapa dari negara ini telah mencoba memerdekakan diri pada 2021. Kaledonia Baru mengadakan referendum, tapi sekitar 96 persen dari masyarakat memilih untuk tetap bersama Prancis, bukan memilih merdeka dari Prancis. Ada kelompok pro-kemerdekaan, tetapi mereka memboikot pemungutan suara terakhir.
Bendera Prancis. Foto: Reuters
Jadi sebelum berbicara tentang imperialisme baru, perlu dahulu mengakui adanya penjajahan yang lama. Presiden Macron belum menggambarkan rencana spesifiknya secara rinci, tetapi mencakup tiga tema luas. Pertama adalah keterlibatan politik dan militer yang lebih luas, kedua adalah lebih banyak bantuan pembangunan dan ketiga bantuan untuk mengatasi bencana alam atau perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Kepulauan Pasifik berada di garis depan perubahan iklim. Ini adalah masalah mereka yang paling mendesak, tetapi mengapa Macron mengajukan alternatif yang lain. Bukankah lebih mudah untuk bergabung dengan Amerika Serikat?
Secara teknis ya, tetapi ada dua alasan mengapa Macron ingin Prancis tampil. Yang pertama adalah AUKUS—aliansi kapal selam antara Australia, Inggris dan AS. Prancis seharusnya membangun kapal selam untuk Australia, tetapi kesepakatan itu tiba-tiba batal. Munculnya AUKUS merupakan kejutan total bagi Prancis.
Sejak itu Macron memutuskan menerapkan kebijakan Indo-Pasifik secara independen. Prancis bahkan mengajak India untuk kebijakan itu. Alasan kedua lebih rumit. Para pemimpin Prancis, termasuk Macron tidak senang menjadi mitra junior. Mereka memiliki mimpi yang lebih besar, sebut saja kecenderungan Napoleon atau otonomi strategis.
ADVERTISEMENT
Tapi itu adalah fakta. Charles de Gaulle adalah Presiden Prancis pada 1960-an. Kebijakannya ditujukan untuk menciptakan Supra National Europe, bukan antek dari AS. Dia ingin menciptakan tentara Eropa. Dia juga menarik keanggotaan Prancis di NATO. Pada tahun 1966 Prancis keluar dari struktur komando militer NATO dan hanya bergabung kembali hanya pada tahun 2009.
Para pemimpin NATO foto bersama saat menghadiri KTT NATO di Vilnius, Lithuania. Foto: Andrew Caballero-Reynolds/Pool via REUTERS
Jadi Prancis selalu memiliki ambisi besar, tetapi Macron merasa ditikung. Dia juga mengusulkan pembentukan tentara Eropa di bulan April lalu. Dia bahkan mengkritik keras bahwa Eropa tidak bisa terus-menerus menjadi pengikut Amerika Serikat. Karenanya, hasrat ini tidak ada hanya sekarang tetapi bahkan sejak 60 tahun yang lalu. Pertanyaan, apa yang menahan Prancis selama ini?
Bagi Macron, itu sepenuhnya adalah persoalan politik. Dia adalah pemimpin yang diperangi dan dihantam di dalam negeri. Dia didesak dari satu protes ke protes lainnya. Dalam situasi seperti itu dia tidak bisa sepenuhnya memfokuskan diri dan waktu untuk kebijakan luar negeri itu.
ADVERTISEMENT
Masalah berikutnya adalah kurangnya bobot ekonomi. Prancis hanya menyumbang untuk PDB global sebanyak 3 persen. Sementara AS adalah 24 persen dan China 18 persen. Peringkat Jerman, Jepang, India dan Inggris berada di atas Prancis. Apakah itu berarti agenda Macron gagal? Mungkin tidak atau belum.
Gagasannya tentang jalan tengah pasti akan menarik perhatian. Jika bersekutu dengan AS atau dengan China, risikonya lebih tinggi. Kedua negara ini menginginkan posisi dan panggung di Pasifik. Tapi tidak ada yang bertanya atau minta pendapat negara-negara Pasifik tentang apa yang mereka inginkan.
Apakah AS, China, atau Prancis tahu apa yang mereka inginkan? Jawabannya adalah aksi iklim. Negara-negara Pasifik membutuhkan dana, pengetahuan, dan sumber daya untuk mengatasi perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Ini adalah masalah yang mendesak bagi mereka, masalah eksistensial. Jauh lebih penting daripada persoalan Taiwan atau Laut China Selatan. Inilah kunci untuk membangun kemitraan yang langgeng dengan negara-negara di Pasifik.