Turbulensi dan Perubahan Iklim

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
10 Juni 2024 8:38 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari yang lalu, siklon Remal menerjang wilayah pesisir Bangladesh.
ADVERTISEMENT
Hujan deras, angin kencang, penerbangan dibatalkan, pohon tumbang, rumah rusak, kabel telepon putus, dan jutaan orang terputus listrik.
Remal adalah badai pertama tahun ini di wilayah tersebut. Badai ini menghantam garis pantai India dan Bangladesh, menerjang daerah pantai dataran rendah di negara tetangga Asia Selatan itu.
Sedikitnya 16 orang tewas dan angka kematian bisa terus bertambah. Di Bangladesh, 10 orang meninggal dunia, setidaknya enam lainnya tewas di Benggala Barat, India.
Kedua negara tersebut telah mengevakuasi hampir satu juta orang ke tempat penampungan badai. Hampir 3 juta orang tidak memiliki listrik.
Kerusakan jauh lebih parah di Sundarbans yang dimiliki secara bersama oleh India dan Bangladesh. Ini adalah kawasan hutan mangrove terbesar di dunia. Di sini, air pasang menerobos tanggul pelindung.
ADVERTISEMENT
Badai kerap terjadi di wilayah ini. Sejak 1965, garis pantai Bangladesh telah dilanda 12 badai besar. Bencana ini telah menewaskan 450.000 orang hingga saat ini. Namun dalam beberapa tahun terakhir, badai menjadi lebih sering terjadi. Alasannya adalah perubahan iklim.
Pemanasan global meningkatkan suhu Bumi. Ini membuat lautan dan samudra menjadi lebih hangat. Hal itu menyebabkan terbentuknya badai yang lebih kuat, terutama di Teluk Benggala bagian utara. Jadi, Remal jelas bukan yang terakhir.
Namun, sementara air laut berombak, kondisi di udara tidak jauh lebih baik. Faktanya, sama seperti di laut, penerbangan udara juga bisa mengalami guncangan yang hebat.
Pada tanggal 26 Mei, 12 orang terluka dalam penerbangan Qatar Airways. Pesawat tersebut terbang dari Doha ke Dublin.
ADVERTISEMENT
Penerbangan itu mengalami turbulensi dan menyebabkan penumpang terluka. Ini bukan yang pertama kali terjadi. Kejadian ini terjadi hanya 5 hari setelah pesawat Singapore Airlines jatuh 6.000 kaki dalam 5 menit. Satu orang bahkan meninggal karena turbulensi, beberapa lainnya luka parah.
Penyebabnya, perubahan iklim, kian memperparah turbulensi. Turbulensi bisa terjadi karena berbagai alasan. Bisa karena peristiwa cuaca, seperti hujan dan badai. Lalu ada turbulensi yang disebabkan oleh geografis, seperti pegunungan.
Tetapi turbulensi yang dialami penerbangan ini bukan karena hal tersebut. Ini dikenal sebagai turbulensi udara jernih. Pada dasarnya, pesawat sedang terbang di ketinggian 35.000 kaki.
Kondisinya tidak berawan dan tiba-tiba pesawat dihantam arus udara jet. Hal itu menyebabkan pesawat naik, turun, atau bahkan bergerak ke samping.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang bisa memprediksi turbulensi udara jernih ini. Ia bisa terjadi kapan saja. Itu karena kenaikan suhu udara. Hal itu menyebabkan kecepatan angin yang lebih tinggi dan lebih banyak aliran udara deras seperti itu.
Tidak hanya itu, turbulensi ini merugikan industri penerbangan sebesar $500 juta setiap tahunnya karena kerusakan yang ditimbulkan pada pesawat.
Ini menunjukkan kepada kita bagaimana perubahan iklim mengubah dunia. Ini bukan lagi tentang peristiwa cuaca ekstrem, seperti badai atau topan. Ini sudah mengganggu kehidupan kita sehari-hari di darat, di laut, dan di udara.