Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Konvensi Bahasa dalam Karya Sastra
17 November 2021 14:16 WIB
Tulisan dari Dora Hatika Pertiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Jangan sedih, Cucu. Hidup adalah permainan layang-layang. Setiap orang suka pada layang-layang. Setiap orang suka hidup. Tidak seorang pun lebih suka mati. Layang-layang bisa putus. Engkau bisa sedih. Engkau bisa sengsara. Tetapi, engkau akan terus memainkan layang-layang. Tetapi, engkau akan terus mengharap hidup. Katakanlah hidup itu permainan. Tersenyumlah cucu."
ADVERTISEMENT
Kutipan dialog dari cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo ini menyimpan makna tersirat yang disuguhkan dalam estetika bahasa. Orang selalu beranggapan sebuah karya sastra harus indah agar banyak diminati.
Sastra dikenal akan nilai keindahannya. Nilai keindahan ini biasanya dilihat dari bahasa. Bahasa dan sastra tidak dapat dipisahkan. Bahasa merupakan fondasi utama dalam karya sastra, karena bahasa sastra itu berbeda dengan bahasa komunikasi pada umumnya. Hal tersebut membuat sastra memiliki kekuatan tersendiri. Bahasa sastra harus indah agar sebuah karya sastra banyak diminati. Karya sastra akan menjadi nilai jual tinggi apabila kualitas bahasa yang digunakan semakin tinggi. Hal tersebut juga berlaku bagi masyarakat bahasa.
Pada masyakarat bahasa mereka memegang teguh bahasa itu arbitrer (mana suka). Bahasa adalah sebuah tanda yang memiliki arti dimana tanda bahasa itu memiliki pertalian dengan arti atau simbol. Bahasa dalam karya sastra memiliki maksud yang ingin disampaikan dan setiap yang menafsirkan arti bahasa memiliki pandangan yang berbeda-beda. Pandangan ini dimaksudkan sebagai tanda bahasa dan tanda bahasa ini disebut arbitrer.
ADVERTISEMENT
Kesepakatan bahasa yang memiliki sifat arbitrer disebut konvensi bahasa. Konvensi bahasa adalah kesepakatan atau aturan dalam masyarakat yang telah disepakati bersama. Dalam sastra perlu adanya konvensi bahasa karena banyak masyarakat yang sulit untuk mencerna bahasa sastra.
"Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua bunga anggrek"
Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo merupakan bentuk dari konvensi bahasa. Kutipan dialog seorang kakek yang memiliki banyak bunga dengan Buyung seorang anak laki-laki di atas adalah bentuk tanda bahasa yang memiliki arti. Orang-orang yang membacanya akan memiliki gaya tafsir yang berbeda sesuai dengan pandangan masing-masing.
Sastrawan juga perlu konvensi bahasa sebagai pertimbangan sebuah karyanya. Apabila sastrawan tidak memperhatikan konvensi dalam menciptakan karya, maka batasan bahasa yang digunakannya bisa melampaui kebebasan. Hasil karyanya menjadi sulit untuk mengetahui maknanya. Hal ini disebabkan sastrawan menggunakan bahasa yang abstrak, inajinatif, serta inkonvensional.
ADVERTISEMENT
Adanya batasan oleh konvensi sastra ini menjadikan inovasi beberapa sastrawan membludak. Hal ini disebabkan adanya batasan sastra memacu para sastrawan meningkatkan nilai estetika bahasanya. Contohnya sastrawan Sutardji Calzoum Bachri. Beliau menciptakan karya sastra yang tidak biasa seperti karya sastra pada umumnya.
Sutardji dalam karyanya berani menerobos kata per kata, bentuk kata, bahkan tata bahasa. Karya-karya sastranya menggunakan bahasa yang jauh dari kaidah bahasa Indonesia. Salah satu bentuk karyanya yang terkenal adalah puisi Tragedi Winka Shinka. Jika dilihat dari bahasanya, Sutardji seperti bercanda dengan tulisan yang dibuatnya. Isi puisinya itu hanya terdiri dari dua kata "kawin" dan "shinka" yang berulang-ulang. Pembaca menilai puisi tersebut tidak memiliki estetika. Padahal, banyak makna yang disampaikan oleh Sutadji dalam puisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Keberanian Sutardji dalam melanggar konvensi sastra membuat Sutadji berani melampaui batas bahasa itu menjadi sebuah kreatifitasnya. Puisi-puisi Sutardji banyak mendapat penghargaan hingga ia diberi gelar "Presiden Penyair Indonesia."
Pemikiran Sutardji ternyata sejalan dengan pendapat dari A. Teeuw seorang pakar sastra dan budaya Indonesia dari Belanda. A. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra. Teeuw berpendapat, "Konvensi dalam sastra bukan sesuatu yang mapan, tetapi dapat berubah terus, dapat dilanggar, dirombak, dan diperbarui lagi." (Teeuw 1984: 30).
Kesimpulan yang didapat bahwa konvensi bahasa dalam karya sastra itu ada sesuai dengan kesepakatan masyarakatnya, namun tak menghalangi seorang sastrawan atau penulis lainnya bisa melanggar bahkan merombak sastra untuk meningkatkan kreativitas dalam bersastra. Karena sampai saat ini tidak ada larangan mengenai batas-batas sastra itu sendiri.
ADVERTISEMENT