Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Memilih Pemimpin dengan Sukacita
24 Oktober 2024 15:13 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Achmad Diny Hidayatullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai warga Malang, aroma pertarungan perebutan kursi kepala daerah semerbak di penjuru daerah. Walaupun nuansanya tidak seperti Pilpres dan Pilpres, tapi Pilkada tetap sesuatu yang menarik untuk diikuti. Tidak harus sebagai partisan (aktif di partai politik) tapi sebagai warga negara yang baik dimana memiliki hak konstitusional untuk menyalurkan aspirasinya.
ADVERTISEMENT
Suasana pemilu sudah meriah, baik di jalan raya maupun dunia maya. Foto para pasangan calon bertebaran dimana-mana. Sosial media menjadi ajang perang argumen yang tidak kalah seru demi perbutan suara.
Kita mungkin mulai melihat beberapa kolega yang saling bertukar pikiran atau bahkan beradu argumen tentang siapa yang paling layak memimpin. Tapi, di tengah menghangatnya suasana ini, yuk, kita ambil nafas sebentar.
Mari sruput kopi sambil sejenak merenung: bagaimana sikap kita agar tidak terjebak pada fanatisme berlebihan dalam mencintai atau memilih pemimpin?
Belajar Mencintai ala Rasulullah
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Cintailah orang yang engkau cintai sewajarnya saja, siapa tahu suatu saat ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan bencilah orang yang engkau benci sewajarnya saja, siapa tahu suatu saat ia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR. Tirmidzi).
ADVERTISEMENT
Bagaimana sabda Rasul ini jika kita terapkan ini dalam konteks Pilkada? Tentu nasihat indah ini bisa menjadi pengingat agar kita tidak terlalu tergila-gila terhadap calon pilihan kita. Dan pada saat yang bersamaan, kita juga nggak terlalu membenci calon yang bukan pilihan kita.
Dunia politik merupakan sistem yang sangat dinamis. Fenomena yang berkembang, banyak aktor politik yang dulu berhadap-hadapan jadi ‘musuh’ dalam meraih suara rakyat, kemudian setelah selesai ternyata yang kalah mendekat atau bahkan dirangkul pemenang. Mereka berkoalisi dan menjadi bagian dari kabinet. Padahal Masyarakat akar rumput banyak yang sudah terlanjur bermusuhan bahkan sampai ada yang bertikai.
Jadi, yang hari ini kita sangat memuja seorang calon kepala daerah karena visinya yang keren, misalnya, bisa jadi ada kebijakan-kebijakan dia yang ternyata kita tidak setuju. Begitu juga sebaliknya, calon yang sekarang kita tidak pilih dan suka, bisa saja suatu saat melakukan hal-hal yang bermanfaat buat kita atau Masyarakat luas. Sehingga berawal dari cinta menjadi benci, dan sebaliknya yang bermula antipati menjadi kagum.
ADVERTISEMENT
Untuk lebih jelas, kita ilustrasikan sebagai berikut. Misalnya, di suatu daerah ada dua calon kuat, sebut saja Si Fulan dan Pak Polan. Si Fulan punya program yang luar biasa dalam membangun infrastruktur yang massif, dan banyak orang suka karena itu terlihat konkret. Sementara itu, Pak Polan fokus pada pengembangan pendidikan dan kesehatan sehingga SDM menjadi prioritasnya, tapi dianggap pembangunnya terlalu lambat.
Banyak yang akhirnya "jatuh cinta" sama Si Fulan dan mulai membela mati-matian. Di sisi lain, yang mendukung Pak Polan merasa Si Fulan terlalu ambisius dan mengabaikan isu-isu kemanusiaan. Akhirnya, kedua kubu ini terjebak dalam kebencian yang mendalam tanpa ada ujung pangkalnya.
Padahal, jika kita terapkan nasihat Rasulullah SAW, mungkin kita bisa mendukung Si Fulan tanpa menutup mata terhadap kekurangannya, dan menghargai program Pak Polan tanpa harus membenci lawan tandingnya. Inilah titik equilibrium yang penting dalam memilih pemimpin: cintai sewajarnya, benci biasa-biasa saja.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks nilai-nilai keislaman, memilih pemimpin adalah sebuah amanah besar. Al-Qur'an menekankan pentingnya keadilan dan kejujuran dalam memilih pemimpin.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS An-Nisa: 58).
Hal ini memiliki makna bahwa kita sebagai pemilih juga memiliki tanggung jawab untuk menyeleksi dengan bijaksana. Memilih bukan berdasarkan suka-tidak suka, tapi mendasarkan sesuatu yang lebih substansial: track record, integritas, kompetensi, dan kualifikasi.
Al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam al-Sulthaniyyah juga menegaskan bahwa pemimpin yang baik harus memiliki kemampuan untuk membantu rakyatnya, bukan hanya menguasai mereka. Sehingga pemimpin itu hakikatnya adalah pelayan bagi rakyatnya, imam al-ummah khodimuha.
ADVERTISEMENT
Memilih pemimpin bukan hanya tentang mencari siapa yang paling "populer" atau memiliki elektabilitas tinggi, tapi siapa yang punya kemampuan nyata untuk membawa perbaikan. Ada istilah menarik bahwa imam al-ummah khodimuha, bahwa hakikat pemimpin adalah mereka yang melayani rakyatnya, bukan sebaliknya.
Jadi, menghadapi Pilkada serentak 2024 ini, mari optimis. Kita sambut pesta ini dengan riang gembira. Boleh banget punya calon favorit, tapi jangan lupa tetap kritis. Gunakan nalar sehat kita dalam memandang calon pemimpin agar tidak terjebak dalam cinta buta.
Jangan terperangkap dalam cinta buta atau benci tanpa kendali. Pilih pemimpin dengan bijak, berdasarkan visi, misi, dan program yang realistis. Dan yang paling penting, setelah pemilihan selesai, mari kita tetap ngopi bareng, bercengkerama, ngobrol, dan bercanda bersama-sama. Tetap bersatu sebagai masyarakat yang saling mendukung, tanpa harus terpecah belah hanya karena perbedaan pilihan.
ADVERTISEMENT
Pilkada hanya sesaat, tapi kebersamaan kita sebagai bangsa akan selalu ada. Mari kita jadikan Pilkada serentak 2024 ini ajang untuk bertumbuh sebagai warga negara yang lebih bijaksana dan saling menghormati. Memilih pasangan calon dengan sukacita, semoga mendapatkan pemimpin yang menyala.