Konten dari Pengguna

Legalisasi Hutan Privat, Solusi untuk Melindungi Lahan Kritis?

Dr Ima Mayasari, MH
Dosen dan Peneliti dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
27 November 2018 12:14 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Ima Mayasari, MH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hutan. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, pemerintah menerbitkan aturan mengenai Reforma Agraria melalui Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres Reforma Agraria). Reforma Agraria yang dimaksud adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dua kata kunci, yaitu “penataan aset” dan “penataan akses” menjadi inti dari Reforma Agraria.
ADVERTISEMENT
Aturan baru ini memberikan jaminan kepastian hukum, khususnya bagi Hutan Privat. Pengelola Hutan Privat yang memiliki perhatian untuk mengurangi laju deforestasi—melalui pemulihan terhadap lahan kritis (degraded land), tidak lagi dihadapkan pada ancaman invasi lahan.
Selama ini, pengelola Hutan Privat di Megamendung, Bogor, memanfaatkan tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang telantar dan dalam kondisi kritis untuk dilakukan rehabilitasi ekosistem dan lahan kritis melalui Hutan Organik. Kegiatan ini dapat disebut sebagai “illegal planting”, namun memiliki andil yang cukup besar dalam aforestasi.
Kekhawatiran akan invasi lahan yang dikelola Hutan Privat dapat diminimalisir dengan kebijakan pemerintah yang memberikan kepastian hukum bagi hutan privat, melalui Perpres Reforma Agraria sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a bahwa tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan haknya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah haknya berakhir menjadi objek redistribusi tanah.
ADVERTISEMENT
Dapat diketahui bahwa Pengelola Hutan Organik di Megamendung, sebagai contoh, telah mengelola lahan kritis ex-HGU. Selanjutnya, pengelola Hutan Privat dapat memanfaatkan tanah negara bekas tanah telantar yang didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara. Dan juga, dapat memanfaatkan tanah yang merupakan tanah negara yang dikuasai masyarakat merupakan objek redistribusi tanah dalam Reforma Agraria. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e dan huruf 1 angka 4.
Legalisasi Hutan Privat, Solusi untuk Melindungi Lahan Kritis? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Kegiatan Penelitian Lapangan oleh Tim Peneliti Hutan Privat, Universitas Indonesia Tahun 2018 di Hutan Organik, Megamendung.
Legalisasi Hutan Privat melalui redistribusi tanah dalam rangka Reforma Agraria dilakukan melalui tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) yaitu: Pertama, inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Kedua, analisa data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah; dan Ketiga, penetapan sebagai objek redistribusi tanah. Objek redistribusi tanah yang telah ditetapkan harus digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan kemampuan tanah, kesesuaian lahan, dan rencana tata ruang (vide Pasal 11 ayat (1) Perpres Reforma Agraria).
ADVERTISEMENT
Implementasi program redistribusi tanah sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Dalam rangka pelaksanaan landreform berbagai negara di dunia menyoroti Reforma Agraria sebagai jawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struktur agraria, dengan meletakkan konsep dasar pembaharuan untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Perpres Reforma Agraria ini menjadi pintu masuk bagi pengelola Hutan Privat ataupun Hutan Organik untuk memiliki Sertifikat Hak Milik atas lahan kritis yang dikelola, sehingga dapat mencegah adanya invasi properti dan infrastruktur.
ADVERTISEMENT
Hutan Privat masih terdengar asing di Indonesia, namun dengan keberhasilan pengelolaan Hutan Privat di Megamendung oleh Kelompok Hutan Organik, yang dimulai sejak tahun 2001 sampai saat ini, menjadi panutan yang dapat diteladani, terutama keberhasilannya dalam merehabilitasi ekosistem dan lahan kritis. Peneliti Hutan Privat dari Universitas Indonesia, dalam melakukan kegiatan penelitian lapangan ke Hutan Organik Megamendung (2018), melihat secara langsung bagaimana pengelolaan Hutan Privat mampu merehabilitasi lahan kritis.
Legalisasi Hutan Privat, Solusi untuk Melindungi Lahan Kritis? (2)
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Tim Peneliti Hutan Privat, Universitas Indonesia Tahun 2018 berfoto bersama dengan Pengelola Hutan Organik Megamendung, Ir. Bambang Istiawan dan Ibu Rosita.
Oleh karena itu, guna meminimalisir potensi terjadinya invasi oleh properti dan infrastruktur pada areal yang dipergunakan sebagai Hutan Privat, kebijakan legalisasi Hutan Privat melalui Reforma Agraria menjadi satu bentuk alternatif solusi untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap kepemilikan tanah yang dijadikan sebagai Hutan Privat. Harapannya ke depan, tanah yang menjadi objek redistribusi tanah dapat dikelola menjadi Hutan Privat baru yang memiliki andil utama dalam mengurangi laju deforestasi hutan.
ADVERTISEMENT