Menata Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Melalui Moratorium

Dr Ima Mayasari, MH
Dosen dan Peneliti dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
14 November 2018 2:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Ima Mayasari, MH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
ADVERTISEMENT
Dukungan pemerintah pusat dalam melakukan penataan kembali perizinan perkebunan kelapa sawit diwujudkan dalam kebijakan moratorium, atau penundaan perizinan perkebunan kelapa sawit melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, yang terbit pada 19 September 2018.
ADVERTISEMENT
Selama ini, diketahui bahwa sinkronisasi Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan HGU masih menghadapi masalah tumpang tindih dengan kawasan hutan. Permasalahan ini seolah tanpa ujung penyelesaian, dan berpotensi menimbulkan hambatan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan.
Hambatan utama yang dihadapi adalah sinkronisasi peta kesesuaian perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, sinkronisasi Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan HGU serta sinkronisasi Penunjukan atau Penetapan Kawasan Hutan dengan HGU.
Idealnya, secara aturan, HGU kelapa sawit berada di luar kawasan hutan (non kehutanan), namun kenyataannya masih banyak HGU kelapa sawit diterbitkan pada kawasan hutan.
Salah satu penyebabnya adalah masih belum selarasnya peta tatakan (hutan, tata ruang, pertanahan) sehingga perlu dilakukan verifikasi ulang mengenai data pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, peta Izin Usaha Perkebunan, Izin Lokasi dan HGU.
ADVERTISEMENT
Menariknya, dalam Inpres tersebut juga diperintahkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan moratorium pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
zoom-in-whitePerbesar
Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna, Cibadak, Kabupaten Sukabumi. (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Moratorium ini, diperuntukkan khusus bagi permohonan baru. Permohonan yang telah diajukan namun belum melengkapi persyaratan, atau telah memenuhi persyaratan namun berada pada kawasan hutan yang masih produktif, atau permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip namun belum ditata batas dan berada pada kawasan hutan yang masih produktif, kecuali areal kepala sawit telah ditanami dan diproses berdasarkan ketentuan Pasal 51 PP Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Instruksi tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengurangi laju deforestasi, sejalan dengan perlunya pemerintah melakukan evaluasi kembali penerbitan perizinan perkebunan kelapa sawit termasuk dengan HGU Perkebunan.
ADVERTISEMENT
Peluang ini perlu ditangkap secara positif, bagi penyempurnaan kebijakan yang lebih baik dalam tata kelola perkebunan kelapa sawit, demi menjamin adanya keberlanjutan, kepastian hukum dan menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Dalam konteks inilah Presiden menginstruksikan jajarannya yang meliputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Para Gubernur, Para Bupati/Walikota untuk melaksanakan penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas kelapa sawit.
Secara paralel, kebijakan moratorium ini juga sejalan dengan peran penting pemerintah pusat dalam melaksanakan berbagai kebijakan untuk mendukung terlaksananya sistem E-Government yang menyediakan perangkat kemudahan perizinan berusaha dengan dukungan portal data kebijakan satu peta (one map policy), satu data Indonesia (one data) serta perizinan berusaha berbasis elektronik (online single submission).
Jokowi di launching peremajaan kebun kelapa sawit. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi di launching peremajaan kebun kelapa sawit. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
Untuk pelaksanaannya, memang tidak mudah, namun sejalan dengan adanya komitmen pemerintah untuk pencapaian peningkatan ekonomi, strategi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hambatan dalam regulasi dan perizinan melalui Inpres ini dipandang telah tepat.
ADVERTISEMENT
Melakukan sinkronisasi berbagai sektor perizinan bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan oleh pemerintah, untuk itulah dibutuhkan dukungan reformasi regulasi (regulatory reform) dari sektor kehutanan, pertambangan, tata ruang dan pertanahan, pertanian, dan lain sebagainya.
Strategi menggunakan payung hukum Inpres masih menimbulkan hambatan dalam implementasinya, mengingat Inpres bukanlah peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun merupakan legislasi semu (pseudo-wetgeving).
Kekuatan mengikat dari legislasi semu bagi masyarakat menimbulkan keterikatan secara tidak langsung (Indroharto, 1999). Konsekuensi dari Inpres sebagai legislasi semu—bukan merupakan peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat diuji secara wetmatigheid, melainkan pengujiannya diserahkan kepada doelmatigheid, sehingga batu ujinya adalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB).
ADVERTISEMENT
Inpres hanya terbatas memberikan arahan, menuntut, membimbing dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Dalam konteks ini masih menjadi perdebatan apakah Gubernur atau Bupati/Walikota dapat mengabaikan Inpres mengenai penundaan perizinan kelapa sawit.
Apalagi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari Universitas Indonesia (2018), pemberian perizinan perkebunan dan HGU Perkebunan menjadi salah satu pola korupsi pemerintahan daerah, di samping pola korupsi lain berkaitan dengan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
Lahan kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / XAVIER BOURGOIS)
zoom-in-whitePerbesar
Lahan kelapa sawit (Foto: AFP PHOTO / XAVIER BOURGOIS)
Efektivitas Inpres ini, tentunya bergantung pada komitmen pemerintah untuk melakukan pembangunan perkelapasawitan berkalanjutan (suistainable palm oil).
Inpres ini menjadi sebuah instrumen yang tepat untuk mewujudkan produktivitas kelapa sawit Indonesia. Kelapa sawit berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, namun demikian hubungan antara pengembangan kelapa sawit dan deforestasi serta keterlibatan berbagai pemangku kepentingan pada skala yang berbeda perlu untuk dielaborasi.
ADVERTISEMENT
Kelapa sawit telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi namun pada saat yang sama juga berkontribusi terhadap kebakaran dan kerusakan lingkungan, sehingga good governance dalam kerangka ini dapat mengurangi dampak negatif.
Inpres sebagai luaran kebijakan berbasis bukti (evidence based policy) yang dilakukan pemerintah, untuk melakukan moratorium dalam waktu tiga tahun, sambil pemerintah mengevaluasi berbagai aspek untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit yang menyokong perekonomian Indonesia.