Konten dari Pengguna

Empat Legitimasi Kekuasaan

Dr. Riant Nugroho
Pengajar di Lemhannas, dan Pasca Sarjana Unjani
22 April 2025 16:18 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Riant Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Presiden Prabowo Subianto pada Sarasehan Ekonomi Nasional di Wisma Mandiri, Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (8/4/2025) menyampaikan bahwa presiden adalah pilihan rakyat, suka atau tidak suka. “Kami dipilih rakyat, kau suka tidak suka, ya ini pilihan rakyat, inilah kita yang dipilih rakyat”.
ADVERTISEMENT
Pernyataan yang benar. Terutama pemilihan presiden diselenggarakan secara langsung sejak tahun 2004, setelah Indonesia meninggalkan model pemilihan tidak langsung pada era Orde Baru hingga reformasi (1971-1999). Hak klaim tersebut, juga yang dimiliki oleh Presiden SBY dan Jokowi, yang lebih kuat daripada klaim, misalnya, Presiden Soeharto saat menyatakan: “Jika rakyat menghendaki” pada 1997, kemudian menang dan dilantik pada 11 Maret 1998, sebelum kemudian 20 Mei 1998 menyatakan berhenti karena penolakan rakyat.
Sebagaimana pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 jo UU No. 7/2023 tentang Penetapan PERPU No. 1/2022 tentang PERPU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum menjadi Undang-Undang, pemenang pemilu presiden secara sah menjadi Presiden Indonesia selama periode lima tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Secara politik dan hukum tata negara, maka presiden memegang kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan negara, karena presiden adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
Pertanyaannya adalah mengapa sampai presiden menyampaikan hal tersebut. Padahal, pada Oktober 2024, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyampaikan bahwa kepercayaan terhadap lembaga pemerintah di atas 80 persen. Kemudian, April 2025, LSI menyampaikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Prabowo adalah 88 persen. Nampaknya, presiden cukup terusik dengan riak ketidakpercayaan publik yang tidak terlawankan oleh survei yang kredibel secara metode, terutama yang digerakkan secara masif melalui media sosial, setidaknya selama tiga bulan terakhir.

Kekuasaan

Kekuasaan adalah fakta yang diperlukan pemimpin untuk mengatur organisasi, dengan menggerakkan manusia serta sumberdaya organisasi, dengan cara sadar, sukarela, atau pun paksa. Kekuasaan tidak dapat dijalankan tanpa otoritas. Otoritas adalah sesuatu yang membuat para pengikut, rakyat, mematuhi pimpinannya, penguasanya.
ADVERTISEMENT
Otoritas paling efektif adalah legitimasi, pengakuan, dan penerimaan atas otoritas dari kekuasaan tersebut. Sang Yang (390 – 338 SM) mengajarkan Raja Qin, bahwa untuk memperkuat negara, maka perlemahlah rakyat. Machiavelli (1469-1527) mengajari Keluarga Medici Penguasa Republik Firenze, bahwa cara menjadi penguasa yang efektif adalah menjadi ditakuti rakyat daripada dicintai.
Mereka belajar dari Para Sofis, yang berkembang pada abad 5 SM di Yunani, sebagai “lawan” dari Socrates dan pengikutnya. Bahwa politik adalah perebutan kekuasaan. Di abad modern kita mengenal melalui ilmuwan politik Amerika, Harold Laswell (1902 – 1978), bahwa politik adalah tentang who gets what when and how. Seperti frasa yang mengatakan: “rejim itu tidak pernah salah, karena ia adalah pemegang kekuasaan sah”.
ADVERTISEMENT
Legitimasi ini adalah legitimasi legal, dan memang sah adanya. Demikian diajarkan antara lain oleh ilmu hukum tata negara dan politik demokrasi. Namun demikian, pada negara modern, terutama pada hari ini, ternyata ini adalah legitimasi pertama saja.
Sebuah ajaran yang benar, termasuk Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, atau para Presiden Uni Soviet masa lalu, hingga ada lelucon, apa arti pemilu: “artinya, selama lima tahun kita dibentak-bentak oleh seseorang, dan kemudian kita berhentikan, kemudian kita memilih seseorang untuk membentak-bentak kita lagi, lima tahun ke depan”.

Tiga Legitimasi Lagi

Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu
Jika kemenangan atas pemilu demokratis “hanya” sebagai legitimasi level pertama, maka itu sia-sia. Karena masih ada tiga jenjang di atasnya yang masih dapat didaki. Jenjang ke dua adalah jika Pemenang Pemilu tersebut bersedia dan mampu menyelenggarakan pemerintahan secara profesional dan bersih dari korupsi serta kecurangan lain. Ini adalah jenjang governance, tata kelola.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan yang profesional bisa saja berarti kabinet diisi oleh pengusaha, manajer, atau dosen. Tetapi bukan itu maknanya. Orang yang berkualitas yang dipilih. Bisa dari sipil atau militer; politisi, pengajar, birokrat, pengusaha, manajer, ataupun LSM. Namun, yang pasti mereka tidak dipilih untuk mengamankan kekuasaan semata. Gelar, Doktor, Profesor, Jenderal, dapat menjadi salah satu penentu, tapi tidak satu-satunya.
Prinsip ini berawal dari prinsip bahwa kehebatan suatu negara dan bangsa ditentukan oleh presidennya. Dan, kehebatan seorang presiden ditentukan oleh orang-orang yang dipilih untuk membantunya bekerja. Ini tidak sekadar right people in the right place, namun right and best quality people in the right place. Tidak bisa lagi memilih sosok yang “kaleng-kaleng”, apalagi mengatakan sosok “tong”, Padahal publik tahu, mereka tidak lebih dari “kaleng” rombeng.
ADVERTISEMENT
Profesional juga dalam arti bahwa yang bersangkutan memahami sentimen-sentimen nasionalisme yang harus diembannya, di atas sentimen-sentimen lain. Bukan pula pemimpin kompradorikal, yang menjadi “antek asing”, pengikut gagasan pesohor luar negeri, yang sebenarnya hanya membela bangsa dan kepentingannya sendiri, kalau perlu sembari berpropaganda bahwa “semua untuk rakyat”. Bersih, jelas corruptive-proof, terutama dan apalagi tidak punya rekam jejak korupsi ataupun terkait korupsi. Korupsi sejak di pikiran, kebijakan, ucapan, hingga perilaku keseharian. Semua dalam satu “paket”.
Hari ini, beruntung, banyak figur di kabinet yang profesional dan bersih. Masalahnya, dalam membangun negara, “banyak figur” tidak cukup lagi, karena yang diperlukan adalah “semua figur” profesional dan bersih. Kegalauan presiden, termasuk dengan menegur hingga mengganti, dan terus mengganti, para pembantunya adalah indikator yang kasat mata.
ADVERTISEMENT
Legitimasi di atasnya, adalah kesediaan dan kemampuan untuk membangun kebijakan-kebijakan publik yang unggul (excellence). Ini adalah legitimasi kebijakan. Kita mahfum, sebenarnya tugas pemerintah hanya dua, yaitu membuat kebijakan publik yang unggul, dan, turunannya, memberikan pelayanan publik yang berkualitas tinggi. Kebijakan publik unggul adalah syarat dasar menghadirkan masyarakat yang berkelas.
Jika dikaitkan dengan Indonesia, tujuan kebijakan publik adalah memenuhi empat janji kemerdekaan: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, berdasarkan Pancasila. Kebijakan 45, empat tujuan, melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan mengkelas-duniakan, dan lima pondasi, lima sila Pancasila.
Pertanyaannya sudahkah kebijakan-kebijakan publik kita melindungi (karena masing sering terjadi kebocoran data hingga pencurian ikan di laut), menyejahterakan (karena ada banyak yang hanya menyuapi, tidak memandirikan), mencerdaskan (karena ada juga yang membodohi dan membodohkan), dan mengkelas-duniakan (karena banyak yang hanya ikut-ikutan kelas dunia). Sudahkah kebijakan kita berketuhanan, berkemanusiaan, mempersatukan, berkemusyawaratan, dan berkeadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Jenjang ke empat, menghadirkan kehidupan yang menjadi cita-cita bersama: adil, makmur, sejahtera (AMS). Ini adalah legitimasi prestasi. Jadi,negara hadir bukan untuk menarik-narik dan menambah-nambah pungutan semata; untuk menegur-tegur diskusi yang mencurigakan di kampus-kampus; untuk merampas motor yang menunggak pembayaran; untuk mengambil alih tanah sepetak-dua petak yang dibiarkan menganggur; dan membiarkan “Liga Korupsi” dengan kerugian negara mencapai Rp 1.613,37 triliun berlalu begitu saja.
Tetapi negara hadir bersama dengan tricita tersebut. Pertama, harus adil. Itu adalah watak Tuhan. Sebagai bangsa berketuhanan, sudah pada tempatnya mengikuti fitrah-Nya. Makmur, bercukupan secara raga. Sejahtera, berkecukupan secara jiwa. Rakyat bahkan “tidak peduli”, apa pun politik, siapa pun pemenang pemilu, yang penting AMS. Siapa saja, seperti prinsip Mao, tidak lihat kucing merah atau hitam, yang penting bisa tangkap tikus”.
ADVERTISEMENT
Adakah yang lain selain empat jenjang di depan? Ada, jenjang nol. Itu ada di zaman lampau, zaman penaklukkan antar kerajaan. Sriwijaya, Majapahit, dan seterusnya. Termasuk di zaman Mataram. Ketika Amangkurat I atau II berkuasa, ia melakukan apa yang ingin dilakukannya: harta, kepatuhan, perempuan, kalau perlu nyawa. Tidak perlu peduli rakyat, karena rakyat adalah miliknya, yang boleh diperlakukan sesukanya, dengan “hak prerogatif”nya.

Pembelajaran

Kembali ke pernyataan Presiden Prabowo, bahwa “Kami dipilih rakyat, kau suka tidak suka, ya ini pilihan rakyat inilah kita yang dipilih rakyat. Ada yang botak, ada yang item ya tapi ini pilihan rakyat”. Namun, ditambahkan presiden,bahwa mandat yang diberikan rakyat kepadanya dipakai untuk memaksimalkan segala daya upaya untuk bisa melayani rakyat dengan baik. Bahkan, pada sejumlah kesempatan, termasuk pada saat berpesan kepada kader Partai Gerindra terpilih DPR RI 2024-2029, ditegaskan keinginannya untuk membela rakyat dan kehormatan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ini saatnya kita membantu presiden bagaimana “memaksimalkan segala daya upaya untuk bisa melayani rakyat dengan baik” dan “membela rakyat dan kehormatan bangsa Indonesia”. Strategi yang disarankan, dan juga dilakukan pada para pemimpin negara yang berhasil dan terhormat di dunia. Memahami bahwa ada empat jenjang legitimasi otoritas kekuasannya. Pertama, legitimasi legal. Ke dua legitimasi governance. Ke tiga, legitimasi kebijakan, dan ke empat, legitimasi prestasi. Untuk menapaki jenjang-jenjang legitimasi penyelenggaraan negara yang sehat dan wajar.
Pasti, ada yang mengajarkan: presiden punya hak prerogatif, “hajar saja”. Benar, namun, nasihat ini masuk pada legitimasi antara jenjang satu dan nol. Jadi, kemudiankan saja. Termasuk mereka yang getol menganjurkannya.
Karena, pelajaran kita adalah menjadi penguasa, tidaklah sekadar berkuasa. Karena, kekuasaan adalah Jubah Tuhan yang dipinjamkan kepada pemimpin, untuk menghadirkan kebaikan, kehormatan, dan kemuliaan-Nya di muka bumi. Karena kepemimpinan 2024 – 2029 adalah “pertaruhan besar” untuk Indonesia dapat mencapai cita bersama di tahun 2045.
ADVERTISEMENT