Konten dari Pengguna

Menghebatkan Presiden

Dr. Riant Nugroho
Ketua Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Pengajar di Lemhannas, dan Pasca Sarjana Unjani
4 Mei 2025 10:10 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Riant Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada negara Republik presidensi seperti Indonesia, maka sampai delapan puluh persen keberhasilan pengelolaan negara ditentukan oleh Presiden. Pertama, karena Presiden adalah Kepala Eksekutif, yang mengendalikan seluruh sumberdaya strategis negara, mulai dari birokrasi, pemerintahan daerah, hingga anggaran negara. Termasuk di dalamnya menentukan alokasi sumberdaya strategis berupa kekayaan alam, moneter, korporasi, hingga organisasi politik.
ADVERTISEMENT
Ke dua, konstitusi kia meletakkan Presiden, selain sebagai Kepala Pemerintahan, juga Kepala Negara, sehingga secara hukum mempunyai kewenangan untuk secara langsung atau tidak langsung, mengarahkan setiap lembaga negara yang ada. Legislatif, Yudikatif, Akuntatif, dan Auksiliriatif. Presiden secara tidak langsung, namun efektif, dapat mengarahkan tatanan, komposisi, hingga kekuatan dari parlemen, lembaga yudikatif, hingga otoritas Bank Sentral dan Otoritas Moneter yang di undang-undangnya pun disebut “independen”.
Jadi, konstitusi mengatakan, Presiden adalah pemegang kekuasaan tunggal yang unchallenged oleh lembaga apa pun juga. Reformasi dan demokratisasi tidak mengubah kenyataan tersebut. Masalah menjadi otoriter atau demokratis, terpulang kepada pilihan, gaya kepemimpinan, dan wisdom-nya. Indonesia adalah sebuah tatanan kenegaraan dan politik yang baik, dengan satu catatan: Presidennya hebat, atau great, lebih dari sekadar baik. Artinya, cerdas, bijaksana, dan berkepemimpinan profesional. Lawannya adalah Presiden yang tiba masa, tiba akal, bukan yang cerdas.
ADVERTISEMENT
Presiden yang bijaksana, bukan yang bijaksini, memutuskan apa yang disenanginya, bukan yang diperlukan bangsanya –karena “seharusnya” atau “ideal” adalah sebuah kemewahan. Presiden profesional, bukan yang feodal, yang serba harus dipatuhi, yang melihat para pembantunya adalah pembantu dalam arti sebenarnya, yaitu babu atau sekadar abdi dalem di jaman Majapahit ataupun Mataram. Presiden profesional memandang pembantunya sebagai mitra, partner. Presiden yang hebat adalah presiden yang efektif.

Indonesia, Kita

Seratus hari pertama Jokowi menjadi Presiden pada tahun 2014, administrasi negara dan politik nasional secara efektif berada pada kendalinya. Ketika Presiden menaikkan BBM pun “aman-aman” saja. Ketika Presiden memotong sejumlah subsidi, semua “aman-aman” saja. Kebijakan membangun konektivitas secara masif, meskipun tidak ada pada janji kampanye, tetap “aman-aman” saja. Setidaknya, hingga menjelang 2019, Jokowi, dengan caranya yang unik, yang sering dijuluki sebagai accidentally smart, menjadi Presiden yang efektif, artinya hebat.
ADVERTISEMENT
Seratus hari, enam bulan, bahkan hingga bulan ke tujuh, Presiden Prabowo, nampaknya terasa terkendala efektivitasnya. Gagasan makan siang gratis, yang menjadi inti janji kampanye, tersedak kebutuhan anggaran, kebijakan, kelembagaan, strategi, dan eksekusi yang kurang rapi. Danantara menuai krisis kepercayaan pasar kepada BUMN, dengan efek “bergetar”nya harga saham perusahaan pelat merah di pasar modal hingga hari ini. Kehadiran para pesohor investasi, seperti Ray Dalio dan “The Dream Team”-nya Danantara, masih belum memberikan kecerahan.
Belum lagi keberadaan Thaksin Sinawatra, yang masih diklaim terlibat korupsi, dan Profesor Jeffrey Sachs yang sebenarnya bukan “darling” pembuat kebijakan di negara asalnya. Belum lagi beban utang masa lalu, yang tahun ini jatuh tempo sebesar Rp 800,33 triliun, lebih tinggi dari 2024 silam, Rp 434,29 triliun, yang membuat terus Rupiah terseok, dan manajemen pembayaran utang berpotensi terjebak ke model pembayaran utang yang bias-ponzi, yaitu membayar utang dengan utang baru.
ADVERTISEMENT
Kebijakan tarif Trump yang terbaru membuat semakin gelagapan, alih-alih menurunkan tarif yang 32%, mlah menjadi 47%. Berbeda dengan Vietnam yang “aman-aman” saja. Apalagi China yang tetap digdaya. Agresivitas Indonesia untuk merangsek masuk BRIC juga tidak banyak memberikan efek gentar kepada Amerika. Bahkan, mungkin sebaliknya, dianggap sebagai “disiden”. Keberadaan tokoh dari badan keuangan dunia di kabinet, juga tidak banyak memberikan efek gentar pada level dunia, karena kemudian upaya keberhasilan melepas obligasi dan surat utang negara lebih ditentukan besar yield yang dijanjikan. Personal guarantee tidak hadir sebagai kekuatan.
Mundurnya Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan karena “serangan” netizen atas komentar pengiriman kepala babi ke kantor sebuah media massa terkemuka, yang dianggap terlalu kritis menambah stigma inkompetensi tim yang dipilih Presiden. Belum lagi besarnya ukuran kabinet, dan banyaknya figur pengisi yang belakangan dinilai publik baru sebatas mampu memberikan harapan artisial dan narasi-narasi di media sosial. Dominasi kekuatan partai-partai koalisi di kabinet, yang terus digunakan untuk perluasan koalisi, versus kabinet zaken yang dijanjikan, masih menyisakan pertanyaan di benak publik akan janji Presiden di awal.
ADVERTISEMENT
Kini, keputusan mutasi Pangkogabwilhan I Letjen Kunto Arief Wibowo menjadi Staf Khusus KASAD dibaca publik sebagai “hukuman” kepada Jend. (Purn) Try Sutrisno, ayah Letjen Kunto, yang memimpin penandatanganan delapan rekomendasi Forum Purnawirawan Prajurit TNI kepada Presiden Prabowo, yang salah satunya mendorong pergantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
Sehari setelahnya, keputusan tersebut dibatalkan. Menggambarkan betapa tidak mudahnya Presiden memutuskan kebijakan SDM. Apa pun narasi formal yang disampaikan, tidak dapat menutup pemahaman publik yang sudah telanjur cerdas. Apalagi, ada yang menyebut, rekomendasi tersebut “keluar” karena surat ke Presiden tidak pernah sampai. Ada bottlenecking di dekat pimpinan puncak, hingga menjadi inaccessible atau untouchable leadership.
Tantangan menjadi Presiden yang efektif masih hadir di sini, sekarang. Termasuk, dengan dihadirkannya kebijakan-kebijakan “kolosal”, seperti program 3 juta rumah, koperasi merah putih yang akan untung setriliun setahun, pembangunan sekolah rakyat secara masif, hingga pergantian kurikulum merdeka belajar menjadi kurikulum deep learning, baik kecerdasan artifisial, yang menguatkan kesan publik, ganti menteri ganti kurikulum.
ADVERTISEMENT
Semua masih menghadapi tantangan yang serius. Perlu banyak upaya untuk bisa on track seperti diharapkan. Belum lagi, kabar terbaru, Purchasing Managers Index (PMI) dari manufaktur Indonesia pada April 2025 turun ke 46,7, dari 52,4 pada Maret 2025, terburuk sejak pandemi Covid-19, dan diperkirakan terus berlanjut beberapa bulan ke depan.
Belum lagi para pelaku bisnis semakin surut semangatnya untuk terus menjalankan bisnis secara profesional. Bisnis makelaran semakin menarik daripada investasi industri. Glorifikasi semakin bertemu dengan warganegara yang semakin paham apa yang sebenarnya terjadi.

Presiden yang Efektif

Jauh di tahun 1966, guru manajemen modern Peter F. Drucker menulis “The Secret Art of Being an Effective President”, dengan sinis menilai bahwa hanya ada beberapa gelintir Presiden Amerika yang efektif. Sebagian besar hanya mereka yang terpilih berkuasa, dan kemudian menikmati kekuasaan, sambil seolah-olah berprestasi. Mereka melakukan performativity, daripada performance. Mengapa? Karena mereka belajar di tempat yang salah. Bertanya kepada orang yang salah. Dan membangun persepsi yang salah tentang menjadi pemimpin yang efektif.
ADVERTISEMENT
Menjadi efektif bukanlah berarti mampu menggerakkan. Apalagi mengikuti nasihat Machiavelli untuk menjadi ditakuti daripada dicintai. Ataupun mengikuti cara para Sophis di Yunani, mengandalkan retorika yang menggebu-gebu. Atau model Paul Joseph Goebbels yang mengandalkan Propaganda. Keberhasilan menggerakkan organisasi negara dengan efektif adalah konsekuensi atau efek dari keberhasilan membangun “infrastruktur” dari Presiden yang hebat. Jika disederhanakan nasihat Drucker adalah, bahwa Presiden yang efektif adalah Presiden yang dapat dan berhasil menarik orang-orang terbaik ke dalam organisasinya.
Pada saat memberikan kuliah di Lemhannas, ada yang bertanya, sehebat apa Indonesia bisa menjadi? Seperti China, Amerika, Australia, Jerman, dan seterusnya. Jawabannya kembali ke konstitusi: sehebat Presiden yang kita miliki. Pertanyaan kemudian, dengan sistem demokrasi, yang cenderung liberal, yang cenderung populis, sering yang didapatkan bukan yang diinginkan. Jawabannya adalah, tidak mengapa. Karena ada pertanyaan yang lebih penting. Sehebat apa Presiden bisa menjadi?
ADVERTISEMENT
Ingat, untuk menjadi Presiden yang hebat, yang efektif, ia pasti harus bekerja dengan tim atau “orang-orangnya Presiden”. Jadi, jawabannya adalah jawaban leadership. Bahwa bisa sehebat apa seorang Presiden, adalah sehebat orang-orang yang dipilih untuk membantunya, menjadi teamwork-nya. Presiden Bush yunior pernah dikritik tidak hebat, namun ia merekrut orang-orang yang hebat. Presiden Jokowi pada saat pertama kali terpilih, langsung merekrut orang-orang hebat, dan memberikan kepercayaan kepada publik.
Ini yang menjadi pembelajaran Presiden Indonesia hari ini. Membangun kehebatan kelembagaan –dan pribadi. Pada tingkat tertentu, tantangan ini bahkan bisa menjadi ancaman. Karena, selain orang-orang hebat dijauhkan dari Presiden, juga makin takut untuk mendekati.
Pertama, karena takut ada biaya transaksi untuk menjadi dekat, baik transaksi ekonomi maupun non ekonomi. ke dua, makin lama makin takut menjadi bagian dari kesalahan, apalagi kegagalan. Belum lagi, politik pada hari ini menciptakan ekosistem yang membuat para orang hebat semakin merasa dikerdilkan dan menjadi layak dikucilkan. Mereka adalah pribadi yang tidak banyak bicara, apalagi di media sosial yang hiruk pikuk.
ADVERTISEMENT

Masih ada Kesempatan

Pada saat saya menyunting buku, yang kemudian menjadi kontroversi, Manajemen Presiden Soeharto (1996), saya menjadi yakin bahwa keunggulan Indonesia ditentukan oleh Presiden, dan keunggulan Soeharto ditentukan oleh orang-orang yang direkrutnya. Sebut saja jajaran orang hebatnya, yang rata-rata tidak banyak bicara, apalagi bersosial-media, selain karena tidak ada, juga karena bukan kebiasaan mereka.
Widjojo Nitisastro, Ali Wardana, Radius Prawiro, Rudini, Hartarto, dan banyak lagi. Sayang, Soeharto tidak menemukan orang hebat setelah 20 tahun berkuasa. Terakhir, ia hanya punya Tanri Abeng, yang berhasil merevitalisasi ekonomi melalui reformasi BUMN. Presiden Megawati, Presiden SBY, dan Presiden Jokowi punya pengalaman sama, mereka berhasil menarik orang-orang hebat ke lingkaran kepemimpinannya. Kemudian, menjadikan pemerintah menjadi magnet untuk menarik best talent, dan bukan sebaliknya, best rent-seeker.
ADVERTISEMENT
Hari ini, Presiden Prabowo mempunyai kesempatan besar untuk mencapai keefektivannya, merekrut orang-orang hebat, dan menjadikan kabinetnya sebagai magnet orang hebat. Bukan saja hebat karena pandai, namun hebat sebagai industrialis, bukan hanya sebagai makelaar.
Orang-orang yang dapat menyingkirkan stigma negara gagal, seperti yang dipremiskan politisi Nigeria Peter Gregory Obi, “No country can progress if its politics is more profitable than its industries. In a country where those in government are richer than entrepreneurs, they manufacture poverty”. Tidak bakal suatu negara menjadi hebat ekonominya, jika menjadi politisi lebih menguntungkan daripada menjadi industrialis.
Peluang sangat, dan sangat terbuka. Karena memilih pembantu, orang-orang, adalah hak prerogatif Presiden. Ini lebih dari sekedar nasihat the right man on the right place, melainkan The Best Man in the Best Organization. Artinya, setelah melakukan penggantian orang-orang, atau cabinet reshuffle dalam porsi yang cukup hingga mencapai kebutuhan untuk mencapai critical mass. Berikut di dalamnya, bisa sebelum atau bersamaan, penataan ulang organisasi kabinet secara mendasar. Bukan downsizing, tetapi rightsizing.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan kini adalah: kapan? Jawabannya adalah: rakyat sudah tidak sabar menunggu Presidennya hadir sebagai Presiden yang hebat. Karena, siapa pun Presiden Prabowo, beliau adalah pilihan rakyat. Hari ini, setelah memilih sebagai Presiden, maka rakyat memilih untuk memiliki Presiden Prabowo sebagai Presiden yang lebih hebat lagi dari hari-hari sebelumnya. Karena di situlah ada harapan rakyat; karena hanya di situlah kehebatan Indonesia berada. Jadi, dari pertanyaan “kapan”, maka jawabannya adalah, seperti slogan Presiden Obama, right here, right now.