Kisahku Saat Isolasi COVID-19: Antara Plasma dan Tosilizumab

dr Sriyanto SpB
Dokter spesialis bedah di Wonogiri, Jawa Tengah
Konten dari Pengguna
4 Desember 2020 11:55 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dr Sriyanto SpB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi positif terkena virus corona.
 Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Aku seorang dokter bedah di sebuah Rumah Sakit di Wonogiri. Saat ini aku baru saja selesai isolasi Covid di RS Moewardi Solo.
ADVERTISEMENT
Aku diisolasi bersama anak bujang semata wayang. Kami berdua harus merasakan "nikmatnya" ruang isolasi. Total isolasi selama 12 hari yaitu 18-30 Nov 2020.
Alhamdulillah saat ini aku dan anakku sudah sembuh. Sudah bisa bernafas dengan lega. Sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala.
Aku akan bercerita tentang beratnya perjuangan antara hidup dan mati saat isolasi. Sebuah pengalaman yang tak akan kulupakan seumur hidupku.
Saat itu tanggal 18 November 2020. Aku dan anakku berangkat isolasi ke RS Moewardi Solo. Kondisi kami demam dan batuk. Hasil swab kami positif. Sepanjang perjalanan Wonogiri-Solo, tubuhku terasa menggigil.
Saat itu kondisi keluarga besar kami sedang ngedrop semua. Ayah mertuaku yang seorang dokter bedah juga sedang berada dalam ruangan ICU RS Karyadi Semarang. Beliau positif covid juga. Usianya yang sudah 78 tahun, menjadikannya sangat rapuh menghadapi serangan virus ini. Total ada 8 orang keluarga kami yang positif.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di ruangan isolasi, kondisiku tambah buruk. Demamku masih tinggi. Setiap hari aku menggigil kedinginan. Bahkan setiap 6 jam sekali aku harus minum pamol, agar aku tidak menggigil akut.
Di hari ke-4 isolasi, aku mulai batuk. Badanku terasa sakit semua. Ketika menerima telepon dari keluarga atau sahabat maka batukku semakin parah, bahasa jawanya batuk ngekel. Setiap bergerak juga batuk. Ketika salat, terjadi banyak gerakan, dari gerakan rukuk ke sujud, atau dari sujud ke berdiri, maka otomatis aku batuk.Aku protes dengan bagian gizi rumah sakit. Marah karena mereka tidak memasak nasi dengan benar. Mengapa mereka memasak nasi masih keras? Apakah koki Rumah Sakit lalai? Kukeluarkan semua uneg-uneg ini untuk meminta penjelasan.
ADVERTISEMENT
Betapa kagetnya diriku ketika mendapat penjelasan bahwa sebetulnya nasi itu lunak seperti biasa. Pasien lain bisa mengunyah nasi dengan baik. Nasi itu terasa keras hanya olehku seorang.
Aku segera tersadar bahwa kondisi diriku yang menyebabkan nasi terasa keras. Bahwa aku kesusahan mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu. Mungkin covid mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan.
Hari ke-7 isolasi adalah puncak penderitaan. Saat itu batukku sangat parah. Apalagi aku punya komorbid sakit diabetes. Sudah dua tahun ini suntik insulin novomik. Aku sampai berfikir bahwa mungkin aku akan kalah. Beberapa sahabatku juga berfikir demikian. Karena risiko orang yang diabetes terkena COVID-19 biasanya berujung kematian.
ADVERTISEMENT
Untunglah malam itu aku mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya aku memang memesan 2 kantong plasma. Karena aku meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati Covid. Malam itu aku mendapat injeksi 1 kantong plasma.
Hari ke-8 aku mendapat injeksi plasma yang kedua kalinya. Setelah itu aku tertidur selama 12 jam. Karena aku memang hanya bisa tiduran. Seluruh badanku terpasang alat ekg, oksigen 5 liter, dan infus 2 jalur. Seharian itu aku hanya tertidur. Aku dipisahkan dari pasien lainnya.
Begitu terbangun, badanku terasa lebih enteng dan segar. Batukku juga sudah berkurang banyak. Demam juga menurun.
Hari ke-9, demamku sudah menghilang. Suhu tubuh normal meskipun tidak minum obat penurun panas. Batuk berkurang hingga 75%. Badan enteng, hati juga bahagia. Seakan terlepas beban yang sangat berat. Terlewati sudah masa-masa kritis. Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati.
ADVERTISEMENT
Di samping injeksi plasma, aku minta suntik tosilizumab di hari ke-7 isolasi. Aku mengutamakan pengobatan medis daripada segala saran tak jelas tentang pengobatan alternatif. Saat kondisi kritis, aku berusaha berfikir logis. Bahwa pengobatan medis sudah teruji dibandingkan segala pengobatan lain yang baru sebatas katanya. Itulah mengapa aku ngotot minta suntikan tosilizumab. Harga tosilizumab 8 juta. Alhamdulillah aku bisa mendapatkan 1 tosilizumab yang sangat terasa khasiatnya itu.
Alhamdulillah suntikan tosilizumab ini bekerja dengan baik. Hanya selang 6 jam pasca suntikan, aku sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik aku tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras. Aku sampai frustrasi karena tak bisa mengunyah.
Dan di hari ke-8 aku sudah bisa merasakan empuknya nasi. Tidak keras lagi seperti kemarin. Alhamdulillah aku bersyukur sekali bisa mendapatkan tosilizumab dan plasma. Berdasarkan pengalaman selama isolasi kemarin, terbukti tosilizumab dan plasma sangat cocok mengobati pasien Covid. Bahan pasien Covid yang memiliki Comorbid diabetes.
ADVERTISEMENT
Saat ini kondisiku sudah membaik. Sedang masa pemulihan. Begitu pula dengan anak semata wayangku. Kami sudah pulang ke Wonogiri. Sudah bisa sepedaan di sekitar rumah.
Tapi kondisi ayah mertuaku tak tertolong lagi. Beliau tak bisa bertahan. Beliau mengembuskan napas terakhir tanggal 21 November 2020.... innalillahi wa inna ilaihi raji'un... beliau dimakamkan secara protokoler Covid. Hatiku rasanya hancur mendengar kabar duka itu.
Saat mendengar kabar kematian itu, aku sedang berada di ruang isolasi. Tak bisa menelan makanan, demam tinggi, batuk parah, anak isolasi, mertua meninggal karena Covid. Rasanya segala kepedihan muncul bersamaan. Serasa menjadi orang paling malang sedunia.
Tapi aku berusaha tegar. Aku tak mau menyerah. Tak mau larut dan nglokro dalam kesedihan. Aku mau bangkit dan sembuh dari penyakit ini.
ADVERTISEMENT
Tekad itu kutanamkan kuat dalam hati. Aku masih ingin hidup untuk menambah amal saleh. Bekalku belum cukup untuk pulang ke negeri keabadian.
Dengan tekad dan iringan doa dari seluruh kerabat dan sahabat, aku berusaha bangkit. Teman-teman di grup WhatsApp tiada henti mendoakanku. Sungguh doa mereka sangat berarti bagiku. Serasa guyuran air di gurun Sahara.
Aku terharu melihat betapa besar perhatian orang-orang padaku. Ada yang mendoakanku lewat grup WA, telepon, Facebook, dan juga yang mendoakanku dalam diam.
Betapa sebuah doa di saat kondisi kritis membuatku sangat bahagia. Terlebih lagi melihat kiriman video santri-santri TPQ yang mendoakanku hingga beberapa hari.
Santri-santri TPQ dari beberapa daerah itu menyebut namaku dalam doa mereka. Mulut-mulut kecil mereka memintaku untuk tetap semangat agar bisa bertemu mereka kembali, agar bisa mengobati orang lagi. Tak terasa air mataku menetes.
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah sekarang kondisiku sudah membaik. Sedang dalam masa pemulihan. Aku sudah berhasil melewati masa kritis.
Sebuah pelajaran berharga bagiku juga bagi semua orang di masa pandemi Corona ini. Bahwa ketika kondisi kritis, tetap percayakan pengobatan kepada medis. Bahwa obat medis sudah teruji. Sedangkan pengobatan alternatif baru sebatas coba-coba, baru sebatas katanya. Kita harus tetap rasional.
Bahwa doa-doa yang tulus serta perhatian dari orang sekeliling sangat membantu percepatan pengobatan. Jangan pernah lelah memberikan perhatian dan doa untuk mereka yang sedang sakit. Sungguh pelukan doa dari orang-orang terkasih begitu berharga.
Jaga kesehatan dan jaga protokol dimanapun berada. Selalu gunakan masker dan jaga jarak aman dengan orang lain.
Stay safe
dr Sriyanto Sp B
ADVERTISEMENT