Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Alergi: Karena Kapal Nenek Moyang Tenggelam dan Ditolong Raja Udang
19 Juli 2024 12:58 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Dr Sudjoko Kuswadji SpOk tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika itu di Tarakan belum ada dokter bedah. Saya yang drops out Prodi Bedah FKUI didaulat Direktur RSUD untuk menangani kasus akut abdomen. Perutnya tegang, usus bocor, atau ada sesuatu yang mendadak dalam perut.
ADVERTISEMENT
Direktur, yang merupakan dokter anak, kasih lihat foto polos abdomen kepada saya. Saya lihat ada lapisan hitam di bawah diafragma. Oh, itu udara. "Ususnya bocor," saya bilang ke Direktur. Dia diam dengan kagum. Dia pikir ini cocok jadi operator.
Saya malah penuh tanda tanya. Di mana bocornya? Biasanya di usus halus jika karena tipes. Tapi tidak ada riwayat kasus tipes. Saya harus eksplorasi ususnya. Anestesi masih pakai ether yang diteteskan, ada risiko kebakaran, terutama jika pakai cauter.
Laparotomi bisa buka perut dengan cepat, langsung ambil usus halus. Tidak ada tanda bocor. Biasanya terdengar suara seirama bunyi napas. Usus diraba satu-satu, akhirnya ketemu di pangkal lambung. Rupanya bocor lambung. Langsung dijahit tabak zag kantung tembakau. Selesai. Tutup. Besoknya pasien sadar. Saat ditanya apakah pernah sakit maag? Dia bilang iya, maag kronis.
Sepulang dari operasi, tangan kanan dan kiri saya gatal. Saya pikir karena cuci tangan sebelum operasi, iritasi karena sabunnya sabun cuci piring. Besoknya gatalnya bertambah sampai di kuduk. Ini kayaknya alergi. Tapi alergi apa, saya tidak tahu.
ADVERTISEMENT
Anti-histamin dan steroid tidak menolong. Gatal bertambah ke muka. Konsultasi ke profesor spesialis kulit, percuma. Gatalnya sudah menjalar ke mana-mana. Akhirnya saya beralih ke pengobatan cara Jawa. Mutih. Makan nasi putih doang dan garam putih selama seminggu. Rasanya gatal mereda.
Sedikit demi sedikit makan lauk lainnya. Ketika makan ikan, udang, kepiting, gatalnya meradang lagi. Ketika pergi ke Hongkong dan pesan ayam goreng, mengapa gatal juga? Rupanya karena minyaknya bekas goreng ikan.
Begitu pula ketika transit di Praha. Orang bilang kalau ke Praha jangan lupa pesan caviar, telur ikan. Makanan yang paling enak di dunia. Sesudah saya cicipi, asinnya tidak ketulungan.
Kesimpulannya: saya alergi seafood.
Usut punya usut, ternyata beberapa bulan sebelum itu saya memulai hobi baru. Saya memanfaatkan rumah perusahaan yang dilengkapi dengan cookplat. Saya mulai memasak. Bahan baku yang paling murah adalah ikan. Jadi selama itu pula saya banyak konsumsi ikan.
ADVERTISEMENT
Padahal ayah saya pernah cerita, kalau nenek moyangnya adalah pelaut. Sekali waktu, perahunya tenggelam. Kebetulan ketika itu ada raja udang. Moyang ditolong si raja udang, dan selamat sampai di darat.
Sejak itu moyang bernazar ke raja: dia dan cucu-cucunya tidak akan makan udang. Nanti, jika makan udang juga, mereka akan gatal-gatal.
Kisah itu menggambarkan bahwa alergi itu akan diturunkan dari orang tua ke anak. Jelang timbulnya gejala alergi, terjadi proses sensitisasi selama beberapa waktu. Sesudah zat antinya cukup banyak, baru timbul reaksi gatal.
Seorang teman bilang kalau sekali waktu, diam-diam saya disuguhi udang. Ternyata, kata teman itu, saya tidak gatal. Konon udang yang bikin saya gatal adalah udang bulan September. Entah benar atau tidak wallahualam.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya saya tidak makan obat apa pun juga. Saya berusaha untuk pantang makan seafood. Makan ikan tawar saja saya tidak berani. Belum pernah saya coba. Termasuk gorengan yang pakai minyak bekas goreng ikan. Alhamdulillah, saya tidak makan seafood dan tidak pernah gatal lagi.
Live Update