Konten dari Pengguna

Jasa Pelayanan Publik yang Semakin Lama Semakin Ditinggalkan

Dr Sudjoko Kuswadji SpOk
Dokter Kesehatan Kerja, Fakultas Kedokteran UI (1972), TNI AU Wamil (1974-1980), Chief Medical Officer Indomedika, Trainer dan Konsultan
31 Agustus 2024 11:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Sudjoko Kuswadji SpOk tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menonton TV. Foto: Tomas Urbelionis/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menonton TV. Foto: Tomas Urbelionis/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap saya menyalakan televisi Indonesia selalu disambut oleh berbagai jenis iklan. Tidak hanya sekali namun berkali- kali. Saya pindah ke channel Singapura, baru iklan itu reda. Begitu juga dengan channel Aljazera dan yang lainnya. Akhirnya saya stop langganan televisi. Pakai internet saja. Saya nonton TV streaming di HP tanpa iklan. Bidang saya keselamatan dan kesehatan kerja. Berita mengenai itu menjadi perhatian saya. Keracunan makanan pada pengawal presiden sangat menarik. Saya pikir pertahanan negara secara mudah bisa dilumpuhkan. Tentu saja dengan senjata biologi. Masyarakat tidak terdidik bagaimana menangani keracunan makanan. Setiap berita keracunan makanan, perlu dipasang telop di bawahnya bagaimana menghindari keracunan makanan. Atau diselingi diskusi bagaimana mencegah keracunan. Tidak hanya bagaimana polisi menangkap terduga pelaku.
ADVERTISEMENT
Rasanya sudah lama saya stop langganan telpon meja. Tadinya pakai kabel. Kemudian lewat jaringan digital Indihome. Telpon meja tidak bisa kirim teks atau gambar atau video. Mesin fax juga sudah tidak bisa dipakai lagi. Sebagai gantinya dipakai email yang bisa kirim lampiran berlembar-lembar. Banyak rumor bilang kalau karyawan Telkom banyak dan gajinya gede. Sementara itu bisnisnya menurun. Sementara Telkomsel yang bisnisnya ramai gajinya kecil dan karyawannya sedikit.
Awal taxi dimulai dengan dua tiga mobil siaga di depan Hotel Indonesia. Ibu Djoko Soetono dan Gubernur Ali Sadikin menyusun transportasi lokal. Ali memulai pembangunan dengan membuat peta. Pagi-pagi ada seorang remaja laki-laki menunggu saya ke luar rumah. Dia datang dengan membawa sebuah buku peta. Dia bilang usahanya itu diilhami oleh tulisan saya di surat pembaca Kompas. Buku peta itu adalah kopi peta cetak biru Tata Kota Ali Sadikin. Saya tawarkan ke Dr Mintarsih kawan saya yang pengusaha taxi. Tujuannya agar sopir secara mudah mencari alamat tujuan penumpang. Harganya tidak masuk, karena peta itu termasuk expense bukan assests. Sekarang buku peta itu tidak layak lagi dengan adanya google map yang pakai GPS. Ketelitiannya memang sekitar 300 meter, tapi lumayan lebih cepat ketimbang cari di peta.
ADVERTISEMENT
Ojek adalah sepeda yang dipakai untuk angkut orang di kawasan pelabuhan. Lana kelamaan yang dipakai bukan sepeda lagi melainkan sepeda motor. Ketika Nadiem bikin ojek online, Jokowi bikin diskresi UU Lantas untuk roda dua. Taxi resmi bikin demo anti online. Lama-lama mereka luluh juga. Ikutan online. Baru-baru ini ojol bikin Demo soal bagi hasil keuntungan. Mereka merasa dirugikan, 60-40 terlalu berat. Saya pikir kendaraan pelat kuning lawan kendaraan pelat hitam beda pajaknya. Jangan-jangan pemerintah majaki ojol terlalu tinggi. Dengan fungsi ojol ditambah dengan angkutan barang dan makanan, sistem baru ini sangat menguntungkan. Ada gofood ada gosend dan seterusnya.
Saya lupa sejak kapan saya stop kirim surat berperangko. Saya kolektor perangko. Bisa jadi sejarah. Meterai masih ada. Saya tidak tahu apa poswesel masih ada atau tidak. Kini semua komunikasi harus on line. Dulu ada SMS, kini diganti WhatsApp. Saya lihat sarana ini di update terus. Tidak terasa sudah versi ke berapa WhatsApp saya ini. Ada business, ada biasa. Mereka bikin update secara automatis. Saya lama sekali tidak lihat karyawan pos antar surat dengan motor warna jingga. Dulu pernah ada kerja sama kantor pos dengan IDI, soal distribusi sertifikat atau apa saya lupa.
ADVERTISEMENT
Langganan koran adalah bagian dari hidup saya. Saya banyak mengisi halaman 4 atau opini. Ketika koran datang langsung lihat halaman 4, artikel dimuat atau tidak. Jika dimuat, tunggu dua tiga hari wesel honor akan datang. Kini sudah tidak lagi langganan. Cari berita cukup dengan buka Google saja. Sekali ketuk satu topik berita ditulis oleh banyak koran dengan berbagai versi. Tidak sulit cari bahan untuk menulis opini. Dulu saya menulis dengan bahan berbagai klippng. Banyak pakai kertas dan makan waktu. Harus pula berlangganan banyak koran.
Dengan ditinggalkannya berbagai sarana itu, kehidupan semakin mudah. Otak tinggal memikirkan kreativitas saja. Saya tidak tahu apakah produktivitas kita meningkat atau tidak? ***