Konten dari Pengguna

Penanganan Kanker Lewat Distribusi Radium atau Survei Karsinogen?

Dr Sudjoko Kuswadji SpOk
Dokter Kesehatan Kerja, Fakultas Kedokteran UI (1972), TNI AU Wamil (1974-1980), Chief Medical Officer Indomedika, Trainer dan Konsultan
8 Juli 2024 15:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr Sudjoko Kuswadji SpOk tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sel kanker. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sel kanker. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya kenal satu insinyur nuklir, tapi sudah almarhum. Bapak Soekotjo Judoatmojo pejabat BATAN. Ketika itu dia Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N). Sekali waktu beliau mendekat ke saya. Pak Djoko harus jadi anggota DK3N. Harus mau tak boleh ditolak. Belakangan saya baru sadar kalau pak Kotjo tahu kalau saya kemenakan Paman Asmino dokter Radiologi di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Prof Asmino sekelas dengan pak Kotjo ketika di Amerika. DK3N adalah lembaga komunikasi antar departemen yang dibentuk oleh Kemnaker. Secara berkala ada kunjungan lapangan ke berbagai perusahaan. Saya banyak ikut ketika ada kesempatan. Itu saya lakukan ketika off duty.
Ketika berkunjung ke tambang timah di Bangka ada timbunan pasir timah yang dijaga oleh satpam. Pak Kotjo menempelkan alat Geiger Counter ke pasir itu. Alat itu mendadak berbunyi keras sekali. Pak Kotjo nengok saya. Saya bilang radiasi. Di dunia, kecelakaan nuklir adalah yang paling berbahaya. Pak Soekotjo sebagai ahli nuklir cocok menjabat lembaga keselamatan.
Satu lagi insinyur nuklir yang saya ketahui adalah Menkes. Seumur negara Republik Indonesia belum pernah ada Menteri Kesehatan yang bukan dokter. Mungkin Jokowi pikir kalau dokter selalu bertengkar. Dokter tidak pernah akur. Pendidikannya membuat mereka seperti itu. Jika membuat diagnosis dengan argumen yang benar dia bisa lolos ujian. Walaupun tidak sepaham dengan pengujinya. Insinyur ini pernah ngacir jadi kepala bank.
ADVERTISEMENT
Lucu memang, bukan keahliannya yang terpakai, melainkan managerial skillnya. Saya pikir Menkes ini yang diandalkan adalah kemampuan mengelola anggaran. Sebelumnya Menkes dokter dikasih anggaran banyak untuk wabah Covid. Sayang uang itu tak kunjung dicairkan.
Menkes nuklir ini punya pikiran bagus mengenai kesehatan. Distribusi dokter tidak merata. Dia bangun fakultas kedokteran berbasis rumah sakit di daerah. Slogannya mencegah lebih baik dari pada mengobati. Sayang hanya manis di mulut. Untuk menangani kanker, dia supply Radium ke banyak RS di daerah. Radium adalah terapi kanker, bukan pencegahannya. Kanker servix ditangani dengan nuklir ini. Bukan sarana papsmear diperbanyak.
Ketika menyentuh profesi dokter kekuasaan Menkes dipertanyakan. Masalahnya IDI sebagai ormas ingin menguasai masalah kedokteran dari hulu ke hilir, termasuk pendidikan dokter. Revisi UU Kesehatan dan praktik Kedokteran sudah mengubah pranata itu. Mengikuti perkembangan sepak bola yang tidak maju-maju, dia mau coba masukkan dokter asing melalui jalur naturalisasi.
ADVERTISEMENT
Jelas akan banyak tantangan dari dokter dalam negeri. Ada dokter yang dipecat atasannya gara-gara tidak setuju dokter asing. Mungkin atasannya ketakutan karena demokrasi di Indonesia sudah tidak berlaku lagi.
Pada hakikatnya dokter itu mengobati setelah seseorang sakit. Jika orientasi Menkes pencegahan, mestinya yang ditambah adalah bukan dokter. Pencegahan bisa dilakukan oleh Industrial Hygienist, Ergonomist, sanitarian, dll.
Mereka adalah profesi langka di Indonesia. Bukan membuat pusat radiasi Radium, tetapi mencari sumber penyebab kanker, karsinogen. Bapak Soekotjo bisa disebut tenaga kesehatan. Dia mendeteksi pasir timah beradiasi. Pasir itu dijaga, takut radiasinya menyebar di masyarakat.
Ketika saya bekerja di lapangan migas saya banyak menangani berbagai jenis kanker pada karyawan. Ketika itu rujukan RS nasional adalah RS Pusat Pertamina. Ketika itu Pertamina belum mengenal core business. Semua usaha dikerjakan seperti RS, penerbangan, hotel, kapal, dan lain-lainnya digarap. Jadi agar uangnya tidak lari ke mana-mana semua pasien karyawan dan keluarganya harus dirujuk ke RS Pusat Pertamina.
ADVERTISEMENT
Kebetulan ketika itu direkturnya adalah seorang dokter militer. Otomatis semua pasien kanker dirujuk ke RSPP, saya tanya ke dokter onkolog di situ. Kanker apa yang paling banyak diterima? Jawabannya adalah Kanker Nasofaring! Berbeda dengan dugaan saya. Sesuai dengan karsinogen utama yang ada benzena. Tidak cocok. Mestinya leukemia, kanker darah. Saya mikir kalau nasofaring rutenya harus pernapasan.
Saya ingat flare (cerobong pembakaran sisa condensate). Meskipun tiang flare cukup tinggi, kalau angin tidak bertiup baunya tercium di camp karyawan. Ketika kantor pusat Pertamina di jalan Perwira lantai 20 terbakar, saya diundang untuk konsultasi. Saya lihat ternyata lengas bakaran api bisa turun ke lantai 1.
Seorang dokter peneliti dari Sudan menemukan paling sedikit ada 10 karsinogen pada asap residu pembakaran itu. Saya teringat para pemadam api. Teorinya dia harus memadamkan api dari atas arah angin. Celaka jika arah angin berubah. Proyek investigasi kantor Pertamina itu gagal karena tidak disediakan anggaran. Upaya pencegahan perlu disediakan anggaran meskipun belum pernah terjadi.
ADVERTISEMENT
Sekali waktu saya melakukan inspeksi karsinogen di lapangan geothermal. Ketika itu ada pengerjaan las. Saya lihat ada mesin las. Knalpot mesin itu dililit dengan tali dari asbes Hari masih pagi dari sudut cahaya matahari saya lihat di udara debu asbes berterbangan, saya lihat tak satu pun karyawan menggunakan respirator masker debu. Asbes adalah satu dari penyebab kanker paru.
Mengenal karsinogen tidak susah. Satu biakan kuman tifus di petri dish ditetesi bahan yang diduga karsinogen. Jika kuman tifus itu membelah dua, bisa dipastikan bahan itu karsinogen. Itu disebut dengan tes Ames.
Jika dihitung biaya inventarisasi karsinogen di tempat kerja tidak terlalu mahal. Dari SDS nya (Safety Data Sheet) kita mengenal aneka sifat satu bahan baku termasuk karsinogenitasnya semua karyawan harus menghindari karsinogen itu. Pak Menkes sudah benar. Hanya sign ke kanan belok ke kiri.
ADVERTISEMENT