Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menggagas Realitas Budaya Tahun Demokrasi Internasional 2024
8 Februari 2024 20:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Syafrizal Maludin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Potongan tulisan di atas diperoleh ketika menggali arsip hasil alih media untuk informasi perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia. Dalam tulisan itu Profesor Soediman menekankan pentingnya fungsi kebudayaan dalam pembangunan ekonomi. Fungsi budaya ini merupakan bagian penting dibandingkan kekayaan sumber daya alam dan letak geografis.
Pendapatnya dibuktikan dengan lahirnya negara-negara maju yang bukan bermodalkan kekayaan alam dan letak geografis.
Mariana Mazzucato mengemukakan bahwa terdapat 76 negara yang melaksanakan Pemilu pada tahun 2024. Sehingga tahun ini layak disebut The Year of Democracy.
Namun saat ini demokrasi sedang tidak baik-baik saja. Negara-negara yang awalnya terkenal dengan keadilan dalam kehidupan demokrasinya menjadi negara yang memerangi media, keberpihakan pada pemilik modal atau tekanan pada minoritas. Aktor pemimpin mengaburkan visi keadilan dan kebersamaan dengan melepaskan hakekat manusia sebagai makhluk sosial.
ADVERTISEMENT
Budaya bagi Aktor dan Pengarah Cerita
Kata aktor biasanya terhubung erat dengan film. Seorang aktor bisa berperan protagonis atau antagonis sesuai alur dan tema cerita. Manusia yang sama bisa memiliki aksi yang berbeda sesuai dengan tema cerita romantis, drama, laga, komedi atau horor.
Bruno Latour dalam Reassembling The Social: An Introduction to Actor-Network Theory (2006) menyampaikan bahwa aktor adalah seseorang yang berlaku seperti yang diharapkan pihak lain (what others make him to act). Others yang dimaksud tidak selalu sutradara atau pengarah cerita (human), bahkan faktor yang bukan manusia (non human factor) bisa berpengaruh lebih besar, antara lain aturan, karir, kebutuhan hidup, citra.
Kita berhubungan dengan banyak aktor antara lain penjaga keamanan kompleks, pengemudi ojol, pelayan warung. Dan ternyata kita juga menjalankan aksi. Pada setiap manusia melekat faktor penentu saat kita beraksi sebagai aktor. Jika kita mahasiswa, maka akan melekat antara lain fakultas, nama universitas, buku-buku yang dibaca, peran dosen, pesan orang tua dan moda transportasi yang dipilih.
ADVERTISEMENT
Margareth Thacther menekankan pentingnya negara yang memiliki kebijakan yang baik untuk membangun semangat bangsanya berkreasi dan bekerja. Negara dengan sumber daya alam melimpah tidak selalu menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Isu ini searah dengan sebuah tulisan berjudul America’s Problem is Policy, Not Power (https://plus.thebulwark.com/p/americas-problem-is-policy-not-power). Artikel ini menyimpulkan bahwa Amerika pada dasarnya menghadapi krisis kebijakan dan kemauan dan bukan kekuatan.
Kebijakan, kemauan, ide, pikiran, ekspresi, norma dan etika adalah hasil dari budaya. Namun tidak berwujud (intangible) sehingga sulit untuk diperlakukan sebagai modal.
Seperti dalam tata pembukuan keuangan sederhana, kas, harta bergerak dan tidak bergerak bisa dicatat dan dihitung. Namun budaya perusahaan tidak dicatat dan diukur.
Budaya mampu membedakan manusia dengan makhluk lain. Dalam tayangan dunia fauna digambarkan agresi pada kelompok binatang. Dalam sebuah agresi, perburuan dilakukan bukan untuk mendapatkan makanan dan mempertahankan hidup. Dalam sebuah agresi, pembunuhan terjadi pada induk dan anak-anak dari kelompok yang kalah. Sayangnya agresi terbesar dilakukan oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Kekeliruan penonton seringkali adalah mengagumi dan meniru peran aktor saat beraksi. Sebuah tangkapan paparazzi memperlihatkan seorang penyanyi musik cadas bercelana pendek katun dan berkemeja rapih sambil menjinjing belanjaan produk bermerk. Berbeda dengan tampilan dipanggung dengan jaket kulit berwarna gelap, berkalung, dan bersepatu tinggi.
Seorang peneliti sosial bercerita perihal awal ketertarikannya pada arkeologi masyarakat modern. Saat itu dia masih muda dan mengaggumi seorang bintang drama. Pada suatu hari dia berusaha untuk bisa menemui idolanya. Dengan hambatan dari protokol dan keamanan yang berlaku, dia akhirnya mendapatkan izin untuk bertemu.
Dia diarahkan untuk menunggu pada tenda sang idola. Betapa kagetnya melihat kotor dan kumuhnya ruangan itu. Seorang petugas kebersihan memasuki tenda untuk membersihkan ruangan. Dia menyampaikan betapa beruntungnya petugas itu bisa melayani sang bintang. Tapi ternyata jawabannya membuatnya kaget. Menurutnya sang bintang adalah manusia yang kasar dan gemar melecehkan. Akhirnya dia ditemui sang bintang dengan rokok yang melekat dibibirnya dan pilihan kata-kata yang kasar.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa disalahkan jika nasehat dan peran yang disampaikan melalui layar dan pengeras suara sebagai aktor berbeda dengan kebiasaannya sebagai makhluk sosial.
Menurutnya terdapat tiga hal penting yang bisa dipakai sebagai lensa untuk menilai aktor. Pertama adalah non-human factor, seperti seleranya, pilihan makanannya, dan lingkungan kesehariannya, Misalnya, seseorang aktor yang mengaku sebagai pribadi yang rasional, namun dia menggunakan jam tangan seharga 100 kali gaji pokoknya. Maka jam yang dikenakan berbicara lebih keras dibandingkan pengakuannya.
Kedua adalah uncommon wisdom. Sulit untuk menterjemahkannya menjadi Kebijaksanaan yang tidak biasa. Tapi peneliti sosial itu mencontohkan bahwa karakter asli dari aktor bisa diketahui dari orang-orang disekitarnya selain yang memiliki kepentingan atau keluarga, seperti asisten rumah tangga, juru mudi, atau tentangganya. Seorang aktor akan ditetapkan sebagai aktor oleh ibunya, istrinya atau anaknya. Seorang pencuri tetap dianggap sebagai anak baik yang tidak pernah mencuri oleh ibunya, misalnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga adalah dari fakta empiris seperti laporan pajaknya, data catatan sipilnya, jejak digitalnya, catatan kepolisian dan pengadilan.
Bumi, air, kekayaan sumber daya alam, inovasi teknologi, pandemi, dan kecerdasan buatan membentuk peradaban baru. Kemewahan tersebut perlu ditempatkan sebagai bagian diatas budaya sebagai fondasi yang dalamnya meliputi kebajikan, kejujuran, keadilan, empati, tanggung jawab, patriotisme, norma, nilai dan etika.