'Obral' Sekolah Dokter

Iqbal Mochtar
Aktivis kesehatan, PB IDI, Ketua Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa
Konten dari Pengguna
21 Agustus 2023 10:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iqbal Mochtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ilmu kedokteran. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ilmu kedokteran. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di negeri ini, sekolah dokter lagi booming. Lagi on sale. Banyak institusi berlomba membuka sekolah dokter (baca: fakultas Kedokteran atau FK).
ADVERTISEMENT
Catatan terakhir, ada 12 institusi pendidikan yang membuka FK baru.
Menariknya, beberapa institusi tersebut selama ini terkenal solid dan loyal dengan bidang sangat teknis, seperti ITB, ITS, dan IPB. Sekarang kok mau cawe-cawe dengan kedokteran? Apa yang terjadi?
Pertama, fenomena booming ini hulunya adalah kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang kontroversial.
Akhir-akhir ini, Kemenkes begitu gandrung mengangkat isu bahwa negeri ini kekurangan dokter. Katanya, di Jawa Barat, negeri ini kekurangan 37 ribu dokter; di Jawa tengah butuh tambahan 24 ribu.
Ilustrasi dokter. Foto: Andrei_R/Shutterstock
Kemenkes selalu menggembar-gemborkan bahwa standar WHO mengharuskan adanya 1 dokter untuk 1.000 penduduk (rasio 1:1.000).
Ini mereka jadikan alasan dokter kurang. Padahal alasan ini sebenarnya delusi atau mengada-ada.
WHO sama sekali tidak pernah mengeluarkan rasio standar 1:1.000. WHO jelas tahu bahwa penetapan standar begini tidak relevan karena setiap negara punya kapabilitas dan permasalahan pendidikan berbeda.
ADVERTISEMENT
Tidak layak menerapkan standar universal pada negara-negara dengan beda kondisi. Memang pada sejumlah referensi, narasi rasio 1:1.000 disebut. Namun penyebutannya hanya dalam konteks metrik perbandingan dan bukan standar.
Sekali lagi, rasio standar WHO 1:1000 itu tidak ada.
Yang menarik, beberapa tahun lalu Kemenkes justru menggunakan metrik rasio dokter 1:2500 dan bukan 1:1000.
Metrik ini sepertinya didasarkan pada pasal hak kesehatan yang disebutkan dalam Permenkumham 34/2016 yang menyebutkan bahwa standar rasio dokter terhadap penduduk mestinya 1: 2500.
Kalau rasio ini yang dipakai, tentu statement kekurangan dokter menjadi sangat tidak tepat. Makanya, beberapa tahun lalu pemerintah melakukan moratorium; membatasi produksi dokter.
Ilustrasi sekolah kedokteran. Foto: vectorfusionart/Shutterstock
Entah mengapa, hanya dalam waktu beberapa tahun saja Kemenkes mengubah paradigma rasionya dari 1: 2500 menjadi 1: 100. Tidak ada penjelasan gamblang.
ADVERTISEMENT
Kedua, data Konsil Kedokteran Indonesia perhari ini menunjukkan terdapat 170 ribu dokter umum dan 52 ribu dokter spesialis di negeri ini. Totalnya, 222 ribu dokter.
Bila jumlah penduduk Indonesia 270 juta, artinya rasio dokter terhadap penduduk saat ini adalah 1: 1236. Ini tidak jauh dari rasio 1: 1000 yang menjadi dasar Kemenkes ingin menambah jumlah dokter.
Katakanlah Kemenkes ngotot ingin mencapai rasio 1: 1000, maka jumlah tambahan dokter yang diperlukan berkisar 50 ribu.
Walaupun tanpa pendirian FK baru, tambahan jumlah 50 ribu ini dapat dipenuhi dalam 4 tahun. Saat ini saja, FK di Indonesia memproduksi 12-13 ribu dokter per tahun.
Artinya, dalam 4 tahun, kebutuhan ini dapat terpenuhi tanpa perlu membuka FK baru dengan segala konsekuensinya. Apalagi waktu 4 tahun tidak terlalu panjang.
ADVERTISEMENT
Bukankah bila membuka FK baru juga butuh waktu 6-7 tahun sebelum bisa memproduksi dokter? Jadi mending tunggu 4 tahun dan isu rasio 1: 1000 akan kelar.
Kalau mau pakai rasio 1: 2500, outcome-nya lain lagi. Dengan rasio 1: 2500 ini, jumlah dokter Indonesia menjadi sangat berlebihan. Kelebihannya 112ribu dokter. Jumlah ini tidak sedikit.
Bila sudah kondisi surplus demikian dan pemerintah masih mau membuka FK, maka fenomena yang muncul beberapa tahun ke depan adalah ‘gelombang alih profesi’.
Ilustrasi sekolah kedokteran. Foto: lenetstan/Shutterstock
Akan banyak dokter berubah profesi menjadi bankir, petugas partai, pengusaha atau bahkan menjadi pengangguran. Ini tentu sangat menyedihkan.
Sudah sekolah lama dan sulit, ujung-ujungnya beralih profesi atau menganggur.
Pemerintah mestinya membuka mata bahwa persoalan utama stok dokter di Indonesia bukanlah produksi yang kurang tapi distribusi yang tidak merata.
ADVERTISEMENT
Distribusi dokter di kota-desa dan antar-daerah sangat jomplang. Di Jakarta, tersedia satu dokter setiap 680 penduduk, sementara di Sulawesi barat, satu dokter tersedia buat 10.417 penduduk.
Densitas di Jakarta 15 kali lipat dibanding di Sulawesi Barat. Hal yang sama terjadi untuk dokter spesialis.
Ini sebenarnya masalah yang harus dituntaskan Kemenkes. Mereka harus bekerja keras membuat pemerataan distribusi. Bukan justru membuka FK-FK baru yang akan memicu over-production.
Sudah beberapa dekade isu distribusi ini menjadi bisul kronis dunia kesehatan. Tidak usah bicara terlalu tinggi tentang proyek genom atau proyek internetisasi puskesmas kalau isu distribusi ini belum tuntas.
Ini persoalan klasik namun sangat krusial. Ini wicked problem negeri ini.