Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Di Balik Sistem Transportasi Umum Ramah Lingkungan di Swedia
14 Juli 2022 17:41 WIB
Tulisan dari PPI Swedia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Swedia sudah lama dikenal sebagai negara yang sustainable dan ramah lingkungan. Pemerintah Swedia memerhatikan aspek-aspek lingkungan pada setiap kebijakan yang diberlakukan. Atas prestasi tersebut, usnews.com mencantumkan Swedia pada posisi pertama sebagai negara yang memiliki gaya hidup paling ramah lingkungan di dunia pada 2021.
ADVERTISEMENT
Sistem transportasi adalah satu dari banyaknya aspek yang disentuh oleh Pemerintah Swedia dalam menerapkan gaya hidup ramah lingkungan berkelanjutan. Pada 2016, misalnya, Pemerintah Swedia menggelontorkan dana sebesar SEK 622.5 miliar dalam proposalnya untuk membangun infrastruktur transportasi berkelanjutan.
Negara Skandinavia satu ini juga bermimpi untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2045. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah Swedia bekerja keras untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang banyak ditemui di sektor transportasi. Emisi gas rumah kaca pada sektor tersebut telah menyumbang sekitar sepertiga dari emisi di Swedia. Transportasi darat menjadi sumber utama dari besaran emisi tersebut.
Salah satu langkah yang dilakukan dalam menggapai tujuan tersebut adalah “menggalakkan” penggunaan bus listrik bebas emisi pada sejumlah kota. Pada 2015, Göteborg mencatatkan namanya menjadi kota pertama yang mengadopsi bus listrik. Bahkan, pada 2021, kota terbesar kedua di Swedia ini telah meluncurkan 150 bus listrik baru. Langkah tersebut juga pada akhirnya diikuti oleh kota-kota lain yang ada di Swedia.
ADVERTISEMENT
Bus listrik tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kualitas udara, tetapi juga mengurangi kebisingan dan mengurangi efek negatif pada lingkungan. Luar biasanya lagi, langkah untuk ramah terhadap lingkungan juga diterapkan dalam moda pengisian daya bus listrik tersebut. Pemerintah Swedia berencana untuk membangun jalan listrik untuk mengisi daya kendaraan saat mengemudi.
Pulau Gotland di Swedia merupakan daerah pertama di dunia yang menerapkan penggunaan jalan listrik untuk mengisi daya kendaraan. Tenaga listrik ditransmisikan ke kendaraan melalui induksi yang menggunakan medan elektromagnetik untuk pengisian daya. Tidak hanya itu, jalanan listrik juga mulai dibangun di beberapa daerah lain di Swedia demi mengurangi emisi kendaraan domestik, setidaknya 70% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tahun 2010.
Kerja keras Pemerintah Swedia dalam membangun infrastruktur sistem transportasi berkelanjutan yang ramah lingkungan memang patut diacungi jempol. Hal ini tentunya sejalan dengan banyak sekali warga yang memanfaatkan transportasi umum untuk kegiatan sehari-hari. Hal tersebut juga membuktikan bahwa warga sadar dengan lingkungan dan lebih memilih menggunakan kendaraan umum daripada kendaraan pribadi.
ADVERTISEMENT
Jika ditelisik lebih jauh lagi, tingginya kesadaran masyarakat dalam menggunakan moda transportasi umum karena melekatnya konsep friluftsliv dan allemansrätten pada masyarakat Swedia. Dua konsep tersebut berkenaan dengan kesadaran masyarakat untuk hidup beriringan dengan alam bebas. Dua konsep tersebut sangat erat kaitannya dengan gaya hidup masyarakat Swedia dan masih diterapkan hingga saat ini.
Lebih spesifik lagi, konsep friluftsliv sendiri dapat digambarkan sebagai sebuah filosofi untuk menghabiskan waktu dan melakukan banyak aktivitas di alam bebas. Makna yang kurang lebih sama juga dimiliki oleh konsep allemansrätten. Konsep tersebut biasa dipakai untuk menjelaskan hak mengakses ruang publik atau alam terbuka dengan bebas. Artinya, masyarakat bisa mengeksplorasi alam dengan bebas tapi tetap bertanggungjawab dalam merawat alam.
ADVERTISEMENT
Rupanya, dua ide tersebut tidak hanya diterapkan dan dihayati oleh masyarakat Swedia, tapi juga direfleksikan secara riil dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah Swedia menerapkan dua konsep tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, dalam pengaturan kebijakan mereka diberbagai aspek. Salah satu aspek tersebut adalah pembangunan infrastruktur untuk sistem transportasi ramah lingkungan berkelanjutan.
Mathias Ekström, seorang mahasiswa dari Uppsala University, pernah melakukan penelitian tentang peran friluftsliv dalam pembangunan daerah berkelanjutan dalam tesis magisternya. Ia mengkaji secara detail peran pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur pembangunan sistem transportasi ramah lingkungan berkelanjutan. Nyatanya, makna filosofis dari friluftsliv benar-benar diterapkan dalam membuat kebijakan dalam pembangunan sistem transportasi di beberapa kawasan di Swedia.
Pemerintah tingkat daerah di Swedia benar-benar mengadopsi konsep friluftsliv untuk pembangunan infrastruktur, khususnya menyangkut biodiversitas dan ekosistem alam. Jalanan dibangun agar tidak merusak ekosistem alam sehingga itu banyak masyarakat yang menghabiskan waktu untuk menikmati alam yang indah dengan berolahraga, piknik, dan hal-hal mengasyikkan lainnya.
ADVERTISEMENT
Contohnya Stockholm, sebagai ibu kota Swedia menjadi kota dengan mobilitas tinggi dimana masyarakatnya banyak menggunakan transportasi umum seperti bus, trem, dan metro. Semua kendaraan umum tersebut tidak hanya bertenaga listrik dan bebas emisi, tetapi jalur perjalanannya juga dirancang agar tidak merusak ekosistem dan biodiversitas yang ada di sana.
Stockholm bisa menjadi gambaran sebuah kota masa depan yang diidam-idamkan oleh banyak negara. Akan tetapi, memiliki transportasi umum ramah lingkungan berkelanjutan berjalan bukan tanpa hambatan. Cepatnya pertumbuhan populasi dan gencarnya mobilitas di daerah urban memberikan tantangan tersendiri untuk menghasilkan solusi modern yang cepat untuk mengatasinya.
Indonesia memang tertinggal jauh dibandingkan Swedia dalam urusan kebijakan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Namun, ada beberapa hal yang bisa dijadikan refleksi untuk bisa mengejar ketertinggalannya dalam mengurangi emisi gas dari transportasi, khususnya masifnya penggunaan kendaraan pribadi. Akibatnya, polusi udara dan suara bisa ditemukan di mana saja, memengaruhi kesehatan hidup manusia dan juga alam.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dimaklumi Naufal, seorang mahasiswa pertukaran pelajar dari Universitas Indonesia yang sedang belajar satu semester di Lund University, Swedia. Ia menganggap kendaraan umum di Jakarta sudah cukup bagus dan kurang lebih sama dengan yang ada di Swedia, untuk memfasilitasi mobilitas sehari-hari karena banyak daerah bisa diakses dengan mudah dengan menggunakan bus atau kereta api listrik.
Namun, ia lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi karena ia tidak ingin berdesak-desakan di transportasi umum. Dilihat dari jawaban Naufal, hal tersebut cukup mencerminkan alasan kenapa masyarakat Indonesia lebih menyukai menggunakan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum. Alhasil, kemacetan bisa dilihat di mana saja, diikuti dengan tingginya tingkat polusi udara, khususnya di daerah perkotaan.
Besarnya jumlah penduduk di daerah urban seperti Jakarta memang menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk menyediakan layanan transportasi umum yang ramah lingkungan berkelanjutan. Banyaknya penduduk yang menggunakan kendaraan pribadi pun turut memperparah keadaan dan akhirnya merusak lingkungan karena emisi gas yang dikeluarkan.
ADVERTISEMENT
Adanya masalah tersebut tidak menyurutkan ambisi Pemerintah untuk menyediakan layanan transportasi umum ramah lingkungan berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan kerja sama bilateral dengan Swedia dalam bidang smart and green transportation, khususnya untuk transportasi wilayah Jakarta.
Kerja sama yang dijembatani oleh Duta Besar RI untuk Swedia tersebut merupakan perpanjangan tangan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang berupa kerja sama pengadaan infrastruktur berskema Public Private Partnership. Dengan adanya kerja sama tersebut, diharapkan kelak akan menciptakan sistem transportasi ramah lingkungan berkelanjutan di Indonesia.
*Penulis: Hamzah Dzikri Fadliansyah dari PPI Swedia