Indonesia Butuh Revolusi Penanganan Sampah

PPI Swedia
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Swedia
Konten dari Pengguna
3 Oktober 2022 15:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PPI Swedia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Indonesia menghasilkan 170.000 ton sampah per hari, namun hanya 7,5% saja yang didaur ulang dan dijadikan kompos. Sisanya? Sebanyak 10% dikubur, 5% dibakar, 8,5% tidak terkelola, dan 69% sampah ditimbun di tempat pembuangan terakhir. Solusi penanganan sampah tersebut sangatlah tidak berkelanjutan. Mari coba kita bayangkan apabila tidak ada perubahan dalam beberapa tahun kedepan. Gunung-gunung sampah di tempat pembuangan terakhir akan terus tumbuh setinggi-tingginya.
ADVERTISEMENT
Apa yang bisa kita lakukan untuk menanganinya? Mungkin kita bisa belajar dari salah satu negara dengan sistem penanganan sampah terbaik di dunia, yaitu Swedia. Di tahun 2020, 46% dari sampah rumah tangga di Swedia diproses sebagai sumber energi listrik dan pemanas gedung, sedangkan sisanya didaur ulang. Masyarakat Swedia juga diberi insentif uang untuk mendaur ulang botol dan kaleng minuman bekas, sehingga pada tahun 2019, 84% botol dan kaleng yang dijual di Swedia terdaur ulang. Selain sistem penanganan sampah yang mumpuni, masyarakat Swedia juga memiliki kesadaran yang sangat tinggi terhadap penanganan sampah.
Pendekatan Swedia terhadap penanganan sampah bertumpu pada prinsip hierarki prioritas sebagai berikut: pencegahan timbulnya sampah, penggunaan kembali, daur ulang bahan, daur ulang energi, dan penimbunan sebagai pilihan terakhir. Prioritas utama dalam penanganan sampah adalah pencegahan, atau juga dikenal sebagai prinsip reduce atau pengurangan sampah. Hal ini terdengar mudah, namun pola konsumsi masyarakat Indonesia belum mampu mendukung prinsip pengurangan sampah.
ADVERTISEMENT
Prinsip hierarki prioritas penanganan sampah
Selama pandemi Covid-19, kita bisa melihat peningkatan drastis penggunaan kemasan yang digunakan oleh layanan pesan antar makanan dan belanja online, yang berakibat pada penambahan sampah kemasan di Indonesia. Hal ini didukung oleh riset yang dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung bahwa produksi sampah di Indonesia mengalami kenaikan dari 160 gram / orang per hari menjadi 240 gram/orang per hari selama pandemi. Satu barang kecil saja bisa dibungkus dengan bubble wrap, dilapis kardus, lalu dilapis dengan plastik lagi. Hal ini menyebabkan semakin menumpuknya sampah kemasan di berbagai tempat pembuangan akhir.
Sebagai konsumen, kita bisa berperan aktif dengan mengubah kebiasaan berbelanja. Kita bisa mengurangi pembelian barang dengan kemasan yang berlebihan dan membawa alat makan sendiri saat keluar rumah. Bahkan untuk layanan pesan antar makanan, kita bisa juga meminta pihak penjual untuk menggunakan kemasan seminimal mungkin.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, kita juga harus mengubah pola pikir konsumtif yang ”sedikit-sedikit beli barang baru”. Belajar dari Swedia, misalnya, kita bisa menerapkan konsep minimalis dalam berbelanja dan menata rumah. Setiap perabot rumah tangga memiliki fungsi tertentu, tanpa perlu banyak pernak-pernik yang tidak diperlukan. Tren pakaian juga tidak perlu berganti-ganti terlalu cepat, sehingga satu helai baju bisa digunakan selama bertahun-tahun.
Setelah pencegahan, prioritas di hierarki kedua adalah penggunaan ulang, atau reuse. Sebagai konsumen, masyarakat Indonesia telah dimanjakan oleh alat makan dan minum sekali pakai, seperti sendok dan garpu plastik, wadah makan styrofoam, serta gelas dan botol plastik air minum sekali pakai. Sedangkan di Swedia, jarang ditemukan alat makan plastik sekali pakai, bahkan untuk layanan pesan antar. Selain itu, masyarakat Swedia rata-rata tidak malu untuk membeli barang-barang bekas pakai, baik di toko offline maupun online. Bahkan terkadang orang-orang merasa bangga telah menemukan “harta karun” di toko-toko bekas pakai. Indonesia butuh lebih banyak platform, baik online ataupun offline, yang memungkinkan konsumen untuk menjual dan membeli barang-barang bekas layak pakai.
ADVERTISEMENT
Prioritas yang berada di hierarki ketiga penanganan sampah di Swedia adalah daur ulang bahan dan daur ulang energi. Disinilah pemerintah berperan penting dalam menyediakan infrastruktur penanganan sampah. Masyarakat di Swedia sudah terbiasa memilah sampah. Sampah-sampah kemasan dibersihkan dan dipilah ke dalam kategori karton, plastik, kaca, dan kaleng, lalu dikumpulkan ke pusat-pusat daur ulang terdekat. Khusus untuk botol dan kaleng minuman, pendaur ulang bisa mendapat insentif moneter yang diberikan oleh produsen minuman tersebut. Pemerintah setempat lalu memrosesnya untuk dijadikan bahan baku produksi barang.
Sumber: shutterstock.com
Sampah organik sisa makanan disisihkan untuk dijadikan kompos, baik diproses sendiri maupun secara kolektif lingkungan. Sampah yang tidak bisa dipilah (misalnya tisu bekas, debu kotoran rumah, permen karet, dan sebagainya) dibuang ke tempatnya dan dikumpulkan oleh layanan pemerintah setempat dan dibakar. Alih-alih menimbulkan polusi, pembakaran sampah ini menjadi sumber energi panas untuk penyediaan listrik dan pemanas ruangan untuk masyarakat. Hal inilah yang disebut daur ulang energi.
ADVERTISEMENT
Duduk di hierarki terakhir prioritas penanganan sampah di Swedia adalah penimbunan. Total penimbunan sampah di Swedia adalah 0.8% dari sampah yang diproses. Angka tersebut sangatlah kontras jika dibandingkan dengan 69% sampah yang ditimbun di Indonesia. Lalu apabila kita membandingkan angka populasi kedua negara (penduduk Swedia berjumlah 10 juta orang), kita bisa bayangkan berapa banyaknya sampah yang ditimbun di Indonesia jika dibandingkan dengan Swedia. Timbunan-timbunan sampah inilah yang menimbulkan banyak masalah seperti pencemaran udara, air dan tanah, serta longsoran bukit sampah.
Dari sistem pengolahan sampah di Swedia, ada dua hal yang bisa kita pelajari. Pertama, kita sebagai konsumen bisa belajar untuk mengurangi sampah sehari-hari. Mungkin kita bisa mengurangi pembelian makanan dengan kemasan berlebih, atau membawa alat makan sendiri saat bepergian ke luar rumah. Atau mungkin kita bisa menjadi konsumen yang lebih bijaksana dalam berbelanja dengan mengurangi pembelian barang yang tidak terlalu dibutuhkan atau tidak akan bertahan lama.
ADVERTISEMENT
Kedua, pemerintah Indonesia bisa belajar dari Swedia dalam menyediakan sarana dan prasarana yang memudahkan dan memberi insentif masyarakat untuk mendaur ulang. Hierarki prioritas seperti yang diterapkan di Swedia bisa membantu pemerintah dalam alokasi anggaran pengelolaan sampah. Misalnya, dengan memprioritaskan prinsip reduce dan reuse, pemerintah bisa merencanakan anggaran terbesar untuk program edukasi dan sosialisasi pencegahan timbulnya sampah, atau memberi insentif kepada pelaku bisnis dan masyarakat untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik.
Setelah kedua prioritas tersebut, anggaran bisa dialokasikan untuk mengembangkan teknologi daur ulang bahan, dari sarana pengumpulan hingga pemrosesan. Mungkin bahan hasil daur ulang juga bisa dijual dengan harga yang menarik untuk para pelaku bisnis. Setelah itu, barulah pemerintah bisa mengalokasikan dana kepada sarana pemrosesan sampah untuk dijadikan energi. Namun, investasi harus sesuai dengan kebutuhan yang ada di Indonesia. Jangan sampai daur ulang energi menimbulkan pencemaran ekstra terhadap lingkungan.
ADVERTISEMENT
Revolusi penanganan sampah sangatlah penting bagi Indonesia. Tanpa perubahan besar-besaran yang terencana dengan baik, masalah sampah di negara ini akan terus menggunung. Sudah ada beberapa negara di dunia yang sukses dalam hal penanganan sampah, termasuk Swedia. Maka itu, marilah kita belajar dari mereka demi terwujudnya masa depan yang berkelanjutan.
Profil penulis:
Arnachani Riaseta adalah mahasiswa Indonesia di Stockholm School of Economics, Swedia, yang sedang menempuh program magister jurusan bisnis dan manajemen.
Editor: Nilahazra Khoirunnisa dari PPI Swedia